Aceh, Semakin Dekatkah dengan Helsinki?

Sejak 18 Mei 2005 lalu, Pemerintah Indonesia mencabut status Darurat Sipil (DS) di Aceh yang sudah berjalan lebih setahun, dan selanjutnya status Aceh berada dalam keadaan 'normal' (baca: tertib sipil). Tapi kabar baik itu justru menyisakan tanda tanya, karena meski status Aceh sudah normal, kekuatan TNI/Polri tidak akan dikurangi. Padahal yang dibutuhkan oleh rakyat Aceh adalah bagaimana kekuatan militer yang dikerahkan secara besar-besaran agar dikurangi, dan jika perlu ditarik total dari Aceh.

Mempertahankan kekuatan TNI/Polri di Aceh dapat dianggap sebagai upaya menjaga dominasi militer di Aceh. Hal ini akan mengancam proses damai yang sedang digagas kedua belah pihak seperti perundingan yang sedang berlangsung di Helsinki ini.

Semula kita berharap, kebijakan mencabut status Darurat Sipil dan pengembalian status Aceh ke kondisi normal dapat mempercepat perdamain, serta semakin mendekatkan Aceh dengan aroma “mesra” perundingan Helsinki, yang sudah memasuki tahap keempat. Tapi nyatanya, kenyataan yang ada justru semakin menutup jalan Aceh ke Helsinki.

Ironi Pencabutan DS
Pencabutan status Darurat Sipil di satu sisi dinilai banyak pihak sebagai kebijakan positif, namun di sisi lain pencabutan status itu menyisakan sejumlah tanda tanya. Karena pencabutan status DS tidak diikuti dengan penarikan pasukan atau pengurangan operasi militer di Aceh.

Hal subtansial sebenarnya adalah kekuatan TNI/Polri yang dikerahkan untuk memperkuat operasi militer semenjak Darurat Militer dan Darurat Sipil agar ditarik dari Aceh. Sehingga kebijakan mencabut Darurat Sipil punya pengaruh yang jelas terhadap perubahan status Aceh. Jika kekuatan militer masih dipertahankan, menunjukkan ketidakseriusan pemerintah RI dengan kebijakannya dalam berunding.

Poin ini kita anggap penting, karena proses rekonstruksi Aceh sedang dimulai, dan upaya penyelesaian Aceh sedang digagas. Mau tidak mau butuh suasana kondusif dan prakondisi yang mencerminkan keinginan untuk menghentikan perang agar proses itu dapat berjalan sempurna. Selain itu, agar kebijakan yang diambil pun tidak dinilai saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Seperti misalnya, jika Darurat Sipil dicabut berarti semua kekuatan TNI yang semula diperuntukkan mendukung status itu harus ditarik. Begitu pula keinginan menciptakan perdamaian, berarti mencoba menghindari hal-hal yang bisa merusak konsentrasi kita untuk berpaling dari perdamaian.

Tetapi apa yang kita lihat pascapencabutan Darurat Sipil menunjukkan ketidakrelaan dari sejumlah elemen di tubuh pemerintah RI, khususnya militer dan ultranasionalis, yang masih menginginkan penempatan kekuatan TNI/Polri yang lebih besar di Aceh.

Kita pun dapat mengambil kesimpulan, bahwa keinginan berdialog masih setengah hati. Ada beberapa kalangan di pihak RI yang tidak senang adanya dialog dengan GAM, apalagi jika poin-poinnya menyentuh hal-hal seperti gencatan senjata atau solusi politik. Akhirnya, perundingan hanya semacam dagelan politik saja, karena apa yang diputuskan oleh perunding mesti bertarung lagi, baik di Parlemen (DPR) maupun di Cilangkap.

Kesimpulan ini bukan mengada-ada. Aboeprijadi Santoso, misalnya merekam bahwa beberapa sumber di Helsinki menangkap ucapan petinggi RI yang ikut ke sana "ngomong sama GAM di sini lebih enak, lebih gampang, ketimbang menjelaskan di Cilangkap atau Senayan" (acehkita, 26/04). Sejak CoHA pun kesimpulan itu sudah terbaca bahwa pihak yang diutus untuk berunding dengan GAM tidak bisa menyepakati apapun sebelum dikoordinasikan dengan Menko Polkam dan Cilangkap. Hasil-hasil yang disepakati masih diperdebatkan oleh Cilangkap, meski mereka diutus secara resmi oleh Pemerintah Indonesia.

Semakin Dekatkah Helsinki?
Pertemuan antara Pemerintah Indonesia dan GAM, 26-31 Mei 2005 ini, sedang berlangsung di Helsinki. Pertemuan ini merupakan pertemuan keempat setelah tiga kali pertemuan sebelumnya belum berhasil merumuskan sebuah kesepakatan untuk menghentikan permusuhan dalam rangka pencarian solusi penyelesaian konflik Aceh secara permanen.

Terbersit harapan, bahwa pertemuan Helsinki IV ini akan menyepakati beberapa hal oleh kedua belah pihak. Pihak pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan beberapa tuntutan GAM seperti Self Government, hak veto bagi anggota DPR Aceh dan lain-lain seperti hak memiliki lagu kebangsaan dan bendera sendiri. Namun, jauh hari pihak pemerintah RI sudah menegaskan bahwa tuntutan GAM itu akan dipenuhi jika tidak melanggar batas-batas konstitusi negara.

Meski kita punya harapan besar dari Helsinki, karena tokoh kedua belah pihak bisa berfikir dengan kepala dingin, tapi tidak halnya dengan di Aceh. Kondisi Aceh seperti semakin jauh dari Helsinki. Beberapa kontak senjata ikut meramaikan proses rekontruksi dan rehabilitasi Aceh yang sedang berjalan. Malah, dalam beberapa kontak senjata antara TNI Vs GAM, dilaporkan ada korban di pihak masyarakat.

Maraknya kontak senjata, khususnya yang terjadi pasca pertemuan Helsinki III membuat kita semakin pesimis Aceh akan semakin dekat dengan Helsinki (suasana keakraban). Apalagi kontak senjata itu terjadi, ketika kedua belah membuat beberapa komitmen seperti keharusan mengontrol pasukan kedua belah pihak di lapangan. Point ini dapat kita anggap gagal dijalankan.

Di Helsinki seperti diberitakan oleh berbagai media, para petinggi kedua belah yang sedang berunding terlihat sangat kompromis dan akrab di luar ruangan (meski di dalam ruang pertemuan terjadi perdebatan yang sangat alot). Di luar ruangan, mereka berbicara tentang kota Helsinki, seperti tidak ada pertentangan apapun di antara mereka. Suasana keakraban seperti ini, jarang bisa ditemui di lapangan.

Selain itu, wacana yang berkembang di DPR bahwa perundingan dengan GAM perlu ada limit waktu, seperti memecahkan gelas di tengah dialog. Pemberian limit waktu, dapat dinilai sebagai sikap yang tidak rasional, mengingat konflik Aceh tidak sesederhana yang dibayangkan. Sebuah solusi menghentikan perang tidak biasa diputuskan dalam waktu singkat. Kadang-kadang kita mesti bersabar, sampai semua proses berjalan. Memberi limit waktu sama seperti membuka harapan bahwa ke depan kondisi Aceh bisa saja dikembalikan penyelesaiannya dengan pendekatan militer, seperi yang sudah-sudah. Apalagi misalnya jika pertemuan Helsinki IV belum juga menemukan solusi yang tepat.

Pemberian limit waktu juga menunjukkan ketidakpercayaan kalangan DPR RI terhadap langkah yang ditempuh oleh pemerintah, dan terkesan seperti memberi tekanan bahwa ada jalan lain yang bisa dilakukan oleh pemerintah, tidak mesti harus berunding dengan GAM. Bagi kita, produksi wacana itu dan kenyataan yang terlihat di lapangan seperti membuat kita pesimis bahwa Aceh tidak semakin dekat dengan Helsinki (untuk tidak dikatakan semakin jauh)? Karena birahi perang masih lebih kencang daripada keinginan untuk berdamai.

*)Penulis adalah Direktur Eksekutif Center for Conflict and Resolution Studies (CCRS)

sudah dimuat di situs www.modus.or.id

Post a Comment

Previous Post Next Post