GAM dan SIRA

Pada edisi pertama, saya menulis di rubrik editorial SUWA tentang “Siapa Musuh Kita?” Ide tulisan tersebut muncul terkait dengan pertarungan pasangan Irwandi-Nazar (SINAR) dan Humam-Hasbi (H2O) dalam perebutan kursi menjadi orang nomor 1 di Acheh. Pertarungan itu berimplikasi negatif terhadap harmonisasi GAM dan SIRA. Hubungan SIRA dan GAM meruncing, khususnya di Pidie.
Hubungan GAM dan SIRA yang begitu harmonis selama konflik melanda Acheh, hancur begitu saja di Pidie. Bahkan mulai muncul stigma SIRA sebagai pengkhianat perjuangan. Padahal saat Aceh dibalut konflik, SIRA menjadi satu-satunya lembaga perjuangan sipil yang mengakui GAM sebagai Pemerintahan Negara Aceh. Tak hanya itu, SIRA juga memback-up secara maksimal perjuangan GAM dengan cara-cara damai dan demokratis, seperti mobilisasi massa untuk menentang kebijakan militeristik Jakarta, kampanye HAM di luar negeri, dll.

Harmonisasi itu terjadi saat Aceh dilanda konflik dan pertikaian. Saat di mana kita masih memiliki musuh yang sama. Saat di mana kita masih melihat perjuangan sebagai tugas yang suci. Saat itu, kita belum berpikir tentang kekuasaan dan uang memperkaya diri.

Lalu, pertanyaannya, kenapa di Aceh menikmati kondisi damai, kita tak bisa bersatu? Kenapa, ketika perjuangan memasuki tahap-tahap akhir kita tak bisa memelihara persatuan? Padahal, perjuangan kita belum berakhir, perjuangan kita hanya baru sampai setengah jalan. Masih banyak tugas dan tanggung jawab kita di masa mendatang.

Tahukah kita bahwa banyak pihak diuntungkan dengan adanya konflik dan disharmonisasi di antara sesama lembaga perjuangan. Musuh-musuh kita sama sekali tak diam dengan kondisi seperti ini. Mereka terus bekerja, dengan berbagai cara agar kita tak lagi kompak. Bahkan, mereka berusaha memperdayakan kita, sampai kita lupa siapa diri kita, kawan kita bahkan kita juga dibuat lupa siapa lawan kita.

Haruskah kita membuka lagi lembaran hubungan harmonis GAM dan SIRA? Bagaimana tokoh-tokoh GAM dan SIRA bersama-sama mengunjungi Wali Neugara Hasan Tiro di Sweden. Bagaimana tokoh-tokoh GAM dan SIRA membuat berbagai seminar di luar negeri untuk memperjuangkan nasib rakyat Aceh? Bukankah para pimpinan GAM mengakui bahwa SIRA adalah aneuk meuh? Lalu, kenapa kita bisa lupa sejarah harmonisasi itu sekarang?

Memang, seperti sudah sering kami tulis di rubrik ini, bahwa kondisi saat konflik dan damai sangat jauh berbeda. Jika saat konflik, kita mengenal (sangat dekat) siapa saja musuh-musuh kita dan juga kita mengetahui dengan detail siapa kawan kita. Kondisi demikian berubah saat Aceh memasuki kondisi damai. Dalam kondisi damai, musuh menjadi abu-abu dan malah kabur. Sementara, kita cepat sekali lupa pada kawan seperjuangan maupun kawan se-ideologis.

Ingat kondisi seperti ini, saya teringat sebuah pepatah bahwa, teman sejati adalah kawan di saat kita dalam kondisi sulit. Melihat kenyataan hari ini, kita bertambah percaya akan kebenaran pepatah ini, sekaligus tak yakin. Pasalnya, saat kondisi normal dan damai seperti sekarang, kita berusaha menjauhkan diri dengan teman yang sama-sama 'menikmati' sulit tersebut. Kita berusaha melupakan mereka. Tak jarang kita memvonis mereka dengan label para pengkhianat.

Lalu, sampai kapan kondisi saling bermusuhan seperti ini kita langgengkan? Bukankah masa-masa seperti ini hanya sebentar saja? Bukankah kita masih harus bekerja keras di masa-masa mendatang, tak hanya memenangi Pemilu legislatif 2009, melainkan mempersiapkan kader untuk Pilkada 2012. Bahkan yang lebih penting, kita mesti berjuang bersama-sama memperjuangkan apa yang sudah dirumuskan dalam MoU Helsinki. Kita masih harus berjuang memperbaiki UU PA yang merugikan kita. Artinya, ke depan masih banyak tugas yang harus kita lakukan. Ke depan, kita masih butuh sebuah kekompakan, khususnya di antara sesama organisasi perjuangan.

Jika kita tak bersatu, jangan harap kita dengan mudah memenangi Pemilu 2009, apalagi Pilkada 2012. Semua pihak, khususnya para musuh kita, berusaha memecah-belah kita, dengan berbagai cara termasuk dengan menyusup dalam tubuh kita. Target mereka tak sekadar menghambat kemenangan kita, melainkan juga menghancurkan basis ideologis yang selama ini kita sakralkan. Mereka tak pernah diam.

Karena itu, lewat kolom kecil ini, saya ingin mengingatkan kita bahwa perpecahan seperti yang terjadi pada Pilkada 2006 lalu, sama sekali bukan isyarat positif untuk kita. Jika kita tak membentengi diri dengan semangat perjuangan dan kesadaran ideologis, kita akan semakin tercerai-berai pada Pemilu 2009. Jika pada Pilkada 2006 kita terbelah dalam dua kubu, maka pada Pemilu 2009 mungkin perpecahan ini menjadi lebih parah. Dan kita akan dirugikan dengan kondisi seperti itu.

Jadi, bagaimana seharusnya sikap kita terhadap Pemilu 2009? Berapa partai politik lokal yang kita butuhkan? Saya sama sekali tak berminat menjawab pertanyaan ini. Yang harus kita pertanyakan adalah, apa kepentingan kita terhadap Pemilu 2009? Sekadar menjadi anggota parlemenkah atau mengembalikan kedaulatan Aceh? Entahlah! (fiek)

Post a Comment

Previous Post Next Post