Memaafkan Media

Media massa—cetak dan elektronik—memiliki peran yang sangat besar dalam penyelesaian konflik Aceh. Jangankan untuk menyelesaikan konflik Aceh, untuk menjatuhkan rezim otoritarianisme saja media mampu melakukannya. Tinggal sekarang bagaimana media menyikapinya?

Inilah yang disampaikan oleh J Kristiadi dalam diskusi yang diselenggarakan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) tentang “Adakah Peran Media dalam Penyelesaian Konflik Aceh” di Hotel Sahid Jakarta (23/12/03). Hadir dalam acara ini praktisi Media Agus Sudibyo (ISAI), Tariq Hadad (Tempo) dan dari media alternatif Dhandy Dwi Laksana (acehkita.com). Mereka bersepakat, kalau media memiliki peran dalam upaya menyelesaikan konflik Aceh. Mereka juga mengungkapkan kondisi media yang banyak memiliki kendala dan hambatan dalam melakukan tugasnya di Aceh. Pembatasan-pembatasan yang diberlakukan oleh PDMD membuat media tidak leluasa menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Disamping itu, tantangan kerja dilapangan Aceh dan akurasi berita membuat jurnalis sedikit terbebani untuk menghasilkan produk jurnalistik yang idea l.

Pembicara dari ISAI memaparkan hasil penelitian dan pengamatannya terhadap media-media massa nasional—baik cetak maupun elektronik. Menurutnya, sejak Oktober berita-berita tentang Aceh sedikit menurun padahal perang masih berlangsung di Aceh. Kondisi ini mungkin dipengaruhi oleh euphoria pemberitaan tentang Aceh pada awal-awal DM sehingga media kehabisan energi ketika DM berjalan beberapa bulan. Hal itu kemudian mempengaruhi pada kwalitas dan kuantitas berita itu sendiri.

***
Mungkin menarik untuk disimak pernyataan Tuan Keuner dalam cerita Bertholt Brecht sebagaimana dikutip dalam buku konflik Multikultur terbitan LSPP Jakarta “Jika koran di pandang sebagai sarana membuat kekacauan maka koranpun dapat di gunakan sebagai sarana membangun perdamaian.” Ungkapan ini selalu relevan untuk menggambarkan tentang peran media (baca; koran) dalam sebuah konflik. Dualisme peran media seperti ini, sering tidak bisa berjalan beriringan atau ada salah satu yang ditinggalkan. Kemudian adanya kenyataan seperti ini memaksa pihak-pihak yang punya power dan akses ke kekuasa an untuk memanfaatkan media bagi kepentingannya. Sehingga peran media selalu berkutat pada dua hal, pertama, mencoba memolopori penyelesaian sebuah konflik atau benturan kepentingan. Kedua, merangsang pihak-pihak yang memiliki basis permusuhan kultural untuk mengencangkan konflik mereka. praktis akibat dua peran antagonik ini membuat media menerima tudingan-tudingan dan kritikan.

Disamping peran diatas, ada beberapa peran alternatif yang bisa dimainkan oleh media dalam meliput atas memediasi sebuah konflik. Pertama, sebuah media hendaknya tidak mengobarkan api (memprovokasi) peperangan, tetapi menyiramkan air perdamaian. Kenyataan empiris dilapangan sangat berbenturan dan cenderung antagonik. Awal-awal DM, seperti yang mengemuka dalam diskusi tersebut bahwa media terjebak dalam alur berfikir pemerintah dan elite penguasa. Media cenderung mengkondisikan publik bahwa opsi militer adalah satu-satunya jalan untuk penyelesaian konflik Aceh. Yang terjadi kemudian, berita-berita dimedia diwarnai dengan adu kekuatan dari kedua belah pihak untuk menaklukkan lawan-lawan mereka. Tergambar kemudian bahwa perang sudah duluan terjadi di media ketimbang fakta dilapangan. Status DM sudah duluan berlangsung ketika peme rintah belum memutuskannya.

Kedua, Menjadi saluran alternatif penyampaian pernyataan-pernyataan (media komunikasi) yang menyejukkan dari kedua belah pihak, khususnya tentang adanya keinginan dan peluang untuk berdamai. Media bisa menjadi saluran alternatif untuk menyiarkan keinginan dari pihak-pihak yang bertikai apa yang menjadi keinginan mereka. Pihak media kemudian menyiarkannya. Sehingga pihak lain dan publik tau apa yang menyebabkan mereka sampai bertikai dan berperang. Sehingga, mereka tahu harus melakukan apa dan bagaimana kemudian memediasi kedua kelompok itu untuk kembali ke meja perundingan.

Ketiga, berita-berita yang dimuat dimedia harus menjadi sarana penyeru perdamaian. Berita-berita sebisa mungkin menghindari adanya “pesan” atau m enjadi corong propaganda. Media perlu memposisikan diri sebagai mediator yang memediasi dua kelompok yang saling konfrontatif menjadi kompromis. Berita-berita yang dimuat dimedia tidak provokatif dan memancing kemarahan salah satu pihak bertikai. Karena implikasinya jelas, mengekalkan penggunaan kekerasan dan mempermanen permusuhan. Model pemberitaan awal penandatangan perjanjian damai CoHA 9 desember dua tahun lalu perlu terus dilestarikan dimana media memuat keinginan yang “ikhlas” dari kedua belah pihak untuk saling menjaga perdamaian dan memupuskan permusuhan klasik.

Tugas ini agaknya kurang dijalankan oleh media yang bertugas di Aceh khusus ditengah perberlakuan DM. Umumnya mereka terjebak pada skenario pemerintah. Apalagi ada kebijakan khusus dari pemerintah yang meminta supaya media harus memiliki jiwa nasionalis dan patriotik. Yang terjadi kemudian, berita-berita dimedia lebih didominasi oleh talking news, minim hasil investigasi dan liputan langsung serta hanya cukup mengutip keterangan di media center PDMD.

Keempat, hasil liputan media bisa menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang bertikai untuk menggunakan nurani kemanusiaan serta masukan untuk pemerintah agar menilai kembali kebijakan yang dikeluarkan. Ot okritik media terhadap pemerintah perlu terus diperbanyak sehingga pemerintah dapat berfikir rasional atas kebijakan yang dikeluarkannya.

***
Sebuah media (disadari atau tidak) mengandung—meminjam istilah Daniel Dhakidea (2003)—Fascinatio ketika menggambarkan tentang cendekiawan, sesuatu yang menarik perhatian, pada gilirannya dalam makna asli justru mengandung dua arti sekaligus yaitu, selain yang lebih dari sekedar menarik perhatian karena sangat memukau, akan tetapi juga mengandung arti kedua: hantu! Artinya, bahwa sebuah media dalam menjalankan peran idealnya dihadapkan pada dua kenyataan ini. Diterima karena daya tariknya tetapi juga menjadi hantu yang menakutkan bagi yang menjadi sasaran kritiknya.

Kasus Tempo menarik untuk diteliti dalam masalah ini. Pemberitaan Tempo tentang penembakan warga sipil di Peusangan pada awal DM dianggap sebagai sebuah langkah yang berani. Pegiat LSM, kalangan prodem dan bahkan wartawan menganggap berita itu sudah sesuai dengan peran yang harus dilakukan oleh sebuah media. Tetapi ternyata menjadi hantu bagi pihak lain seperti Koops TNI yang menganggap itu suatu kecerobohan. Makanya Tempo dipermasalahkan dalam perkara ini. Kasus serupa yang laik untuk dikaji adalah penyerbuan kantor Tempo oleh anak buahnya Tommy Winata gara-gara sebuah berita yang dimuat di Tempo. Kondisi-kondisi seperti ini membuat media sulit untuk bersikap. Memberitakan apa adanya tidak disenangi, jika ngotot ya…kekerasan yang bakal diterimanya.

Dalam memperjuangkan fungsi-fungsinya, sebuah media terjebak dan cenderung terpaku pada pragmatisme. Tetap eksis memperjuangkan misi kebenaran atau memilih diam untuk mempertahankan eksistensi. Banyaknya kritikan yang ditujukan ke media harus dimaknai sebagai bentuk kepeduliaan publik terhadap independensi media. Publik ingin agar pers tetap menjaga posisinya sebagai lembaga pengontrol dan pembela kebenaran. Tentu posisi tidak selalu dapat dipertahankan oleh sebuah media. Media (pers) masih tidak berdaya menghadapi penguasa. Kesendirian pers dalam melakukan kritik dan protes terhadap pemerintah menjadi problem tersendiri. Apalagi, kekerasan fisik kerap menghantau pihak pers.

Di Indonesia masih banyak ditemui kelompok-kelompok yang tidak ramah pada media. Kelompok itu bisa berasal dari pemerintah—lewat—kebijakan-kebijakannya, pengusaha—lewat—teror dari orang-orang bayarannya ataupun dari massa sebuah partai maupun lembaga. Berita-berita yang disiarkan oleh media menimbulkan implikasi baik secara langsung maupun tidak langsung baik terhadap yang menjadi sasaran kritikannya maupun untuk dirinya sendiri. Kasus penyerbuan Tempo, gugatan untuk pers dan penembakan wartawan (kasus ersa siregar) baru-baru ini mampu menjelaskan hal ini. Kasus-kasus itu bisa jadi membuat media menjadi ciut nyalinya dan memilih “mengurangi” daya kritisnya.

Pihak media masih rentan menjadi sasaran kekerasan. Ini sangat mempengaruhi pada kualitas produk dan akurasi pemberitaan serta mempengaruhi pada kasus-kasus yang seharusnya menjadi berita namun dengan berbagai pertimbangan tidak disiarkan. Sehingga banyak kasus penting mengendap dimeja redaksi tidak berani disiarkan.

Yang hendak disampaikan disini adalah, peran-peran ideal yang seharusnya dijalankan oleh media terbentur pada hal-hal seperti ini. Ada kekuatan lain diluar media yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Hendaknya ini menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa sulit untuk memujudkan sesuatu yang ideal. Harus dimaklumi juga mengapa media kurang berperan dalam upaya membangun solusi damai di Aceh. “kurang” disini sama sekali bukan keinginan media itu sendiri tetapi ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Ada yang terbentur pada frame umum kebijakan redaksional yang juga dipengaruhi oleh pemilik modal.

Kembali ke konteks Aceh. Perang masih akan berlangsung lama. Gerakan-gerakan yang menentang perang harus kecewa. Pemerintah lebih melihat militer sebagai solusi penyelesaian konflik Aceh. Padahal kenyataan empiris dilapangan menunjukkan fakta lain. Opsi militer hanya akan membuat masalah menjadi pelik dan sulit diselesaikan. Sementara problem lain sebagai turunan dari opsi militer semakin nyata terlihat. Korban sipil terus berjatuhan, rusaknya tatanan kehidupan, rusaknya fasilitas publik dan problem lain yang lebih mencerminkan kegagalan solusi militer. Disamping itu, peluang munculnya masalah baru juga sama besarnya dengan kegagalan penyelesaian versi militer. Ketika semua pihak nampaknya pesimis, bagaimana media menempatkan diri dalam konflik Aceh? untuk menghentikan perang rasanya sulit jika hanya mengandalkan media. Tetapi media punya poten si membentuk dan mengempanyekan opini bahwa penyelesaian secara militer telah gagal dilapangan.

Pembentukan opini itu menjadi penting untuk menarik simpati dari pihak lain bahwa ada solusi lain yang lebih cerdas dan diterima oleh semua pihak. Media perlu membuka wacana perlunya sebuah dialog politik untuk Aceh. Peluang ke arah itu masih terbuka dan butuh support dan dukungan. Tinggal sekarang pihak lain yang menindaklanjutinya. Media hanya menjadi corong penyeru perdamaian. Kesempatan untuk itu masih terbuka apalagi menjelang pelaksanaan pemilu, dimana semua orang berharap proses demokrasi itu menghasilkan sesuatu yang berguna untuk negeri ini. Egoisme untuk terus bertengkar (perang Aceh) akan kekurangan gaungnya ditengah gema Pemilu.

Disamping itu, pengungkapan background konflik secara benar juga perlu lebih ditonjolkan oleh media. Pengungkapan itu menjadi penting karena pihak diluar konflik akan mengetahui alasan-alasan pihak bertikai begitu bersemangat berkonflik. Disamping untuk menjelaskan akar permasalahan juga membantu mempertimbangkan akan perlu sebuah solusi yang benar-benar “mujarab”. Selama ini yang terjadi adalah kesalahan menawarkan solusi tanpa mempertimbangkan aspirasi yang berkembang dan alasan-alasan yang mendasari lahirnya konflik. Sehingga solusi itu keluar dari konteks dan permasalahan. Padahal, peluang munculnya solusi minimal masih dibutuhkan. Dan itu bisa jadi diterima oleh semua pihak.

***
Berlanjutnya konflik Aceh tidak semata-mata kesalahan media. Banyak faktor yang mempengaruhi kenapa media gagal memanfaatkan potensi untuk terlibat lebih jauh dalam resolusi konflik. Media tentunya punya keterbatasan-keterbatasan yang tidak terduga. Tetapi, sebenarnya media juga punya empati dan berharap konflik Aceh selesai. Namun, media seperti gamang harus melakukan apa. Tekanan-tekanan dan kekerasan yang kerap dialami media membuat kerja media kurang maksimal. Padahal mereka ingin berbuat banyak, namun ada pihak-pihak yang membatasi gerak mereka.

Atas keterbatasan ini, publik hendaknya mau memaafkan media. Bukan menumpahkan kekecewaannya pada media. Ada banyak problem misteri yang tidak terungkap seputar media sehingga cenderung tidak mampu menjalankan tugas dengan baik. Kendala-kendala ini tidak hanya dimiliki oleh media. Lembaga-lembaga semisal NGO, LSM juga kadang-kadang terikat pada kontrak dengan lembaga funding sehingga mengurangi kreatifitas dan bobot kerja. Hal ini menjadi kebiasaan umum dan mewarnai profile negara kita yang identik dengan negara pengutang dan harus mematuhi intruksi dari negara-negara donor.

Penulis mahasiswa S1 Komunikasi IAIN Ar Raniry Banda Aceh, Pemerhati masalah politik dan sosial Kemasyarakatan

Post a Comment

Previous Post Next Post