Membaca Kembali Aceh

Salah satu persoalan paling serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah persoalan disintegrasi. Beberapa wilayah (seperti Aceh, Riau, Papua dan Maluku) berniat memisahkan diri dari Indonesia. Bagi wilayah-wilayah ini, bangsa Indonesia bukanlah sebuah ikatan politik yang permanen. Apalagi jika dihadapkan pada refresifisme negara (melalui sayap militernya TNI/Polri), pengekploitasian hasil alam dan ‘penjajahan’ sistematis yang dilakukan terhadap beberapa wilayah ini menjadi benarlah alasan untuk menggugat balik “bangsa “ Indonesia yang terlalu disakralkan ini. Kasus paling anyar bentuk gugatan terhadap negara adalah pembangkangan rakyat Aceh untuk tunduk dibawah hukum negara yang militeristik. Dimana dibalas dengan pemberlakuan darurat militer oleh pemerintah untuk meredam gejolak kemerdekaan bangsa Aceh hanya untuk mempertahankan sejengkal tanah NKRI (tan ah yang tidak halal bagi RI), militer diberikan payung hukum untuk membunuh manusia di Aceh. Bukan hanya itu, siapa yang paling banyak membunuh rakyat dialah yang sah disebut pahlawan dan diberikan penghargaan sebagai penjaga keutuhan republik. Padahal bagi kita, tidak ada gunanya republik ini didirikan diatas reruntuhan nilai-nilai kemanusian, kubungan darah dan lenyapnya ribuan nyawa manusia jika cinta dibutakan dengan konsep militerisme yang facis. Untuk siapakah sebenarnya republik ini dibangun? Untuk militerkah atau demi segelintir perampok yang menggadaikan nyawa rakyatnya untuk menjadi berkuasa?

Tetapi kebijakan telah terlanjur dikeluarkan. Payung hukum sudah diberikan. Tinggal bagi kita untuk menghitung jumlah matematis korban manusia oleh mesin-mesin pembunuh yang dikirim ke Aceh. pada DM pertama kita sudah menghitungnya, ratusan rakyat sipil tak berdosa menjadi korban diujung moncong senjata, ratusan sekolah dibakar, ratusan rumah lenyap menjadi abu, ratusan anak-anak kehilangan orang tua, puluhan perempuan kehilangan payudara dan mahkota berharga, serta sebagiannya lagi dipaksa untuk meninggalkan negeri dengan tangan dirantai……lalu, untuk tujuan apakah kita memperdebatkannya? Jawabannya tidak untuk siapa-siapa tetapi untuk menantang pemerintah, bahwa berapa nyawa lagi sanggup dimusnahkan untuk menegakkan sisa-sisa nafas NKRI yang hampir runtuh ini?

***

Darurat Militer (DM) II yang dimulai 19 November 2003 secara subtansial berbeda dengan DM I (19 Mei-18 November 2003). DM I semarak dengan ikrar setia kepada NKRI dan antusiasme masyarakat (disuruh mengaku GAM) untuk menyerahkan diri kepada TNI. Tujuan yang ingin dicapai bisa kita tebak, membuat psikologis orang GAM—atau orang simpati pada perjuangan GAM—kalut, terasing dan gagap dan kemudian membunuh karakter militansinya. Pada DM II semarak yang namanya pengorganisiran—lebih bagus disebut pemanfaatan—masyarakat untuk melawan GAM. Dibentuklah front-front anti gerakan separatis GAM disetiap Kabupaten. Bagi mereka—orang-orang yang pro militer—itu merupakan sebuah sikap yang patriotik. Tapi bagi kita—orang-orang yang ingin mengembalikan martabat ke-Achehan—itu merupakan milisi dan politik de vide et impera. Ada semacam sikap antagonik dalam melihat dan membaca Aceh. Masing-masing tentu membacanya menurut versi, kadar pemahaman atau keyakinan politik yang dianut. Tetapi itu sebenarnya sesuatu yang lumrah.

Awal-awal reformasi dan ketika dicetuskan referendum, kita pernah menyaksikan kondisi euphoria serupa. Sama sekali tidak ada yang aneh. Saat itu orang-orang berlomba-lomba membentuk lembaga yang ber-oposan dengan pemerintah Indonesia c/q militer. Dibentuk LSM untuk mengkritisi kebijakan negara yang refresif, dari sekadar empati dan keprihatinan juga untuk kepentingan finansial. Waktu itu, lembaga-lembaga yang pro militer sama sekali tidak berkutik dan tidak bisa bernafas. Jika pun ada, kita tidak akan berhenti melawannya, baik lewat siaran pers, demo atau menuduh mereka cuak dan antek militer. Jikapun ada lembaga yang tidak menghujat militer maka lembaga itu tidak sempurna untuk lahir di Aceh. Dan pasti merasa canggung untuk “bermain” di Aceh.

DM berimplikasi pada lunturnya nasionalisme Aceh. Ketika DM di umumkan, banyak orang Aceh (kemudian diklaim/disuruh mengaku oleh TNI sebagai GAM) menyerahkan diri dan kembali kepangkuan Ibu pertiwi. Tidak hanya itu, rakyat/milisi yang dipersenjatai dimobilisasi untuk melawan GAM. Fenomena ini memang bukan sesuatu yang merisaukan, apalagi sampai membuat kita kalut. Karena, dalam sebuah prosesi pergantian rezim dan kekuasaan hal itu biasa terjadi. Apalagi rakyat kita masih banyak yang bermental partisan—ikut kelompok yang kuat dan punya power. Proses dukung dan mendukung, lawan dan melawan tergantung iklim politik. Kapan dan dimana harus berpihak serta pada siapa? Rakyat memang membaca kalkulasi kehidupan “canggung” seperti ini. Dan itu merupakan jalan pintas jika ingin selamat atau menyelamatkan diri.

Nasionalisme: “panggilan” suci untuk cinta tanah air. Lahir dari proses historis yang cukup panjang. Nasionalisme tidak bisa didesain dalam waktu sekejab karena bukan merupakan produk asal jadi apalagi produk yang dipaksakan. Ia lahir dari rahim hati yang paling dalam dan telah melalui proses dialektika historis yang cukup panjang. Ia lahir kerena panggilan sejarah dan proses yang melingkupinya.

Sebagai produk sejarah, nasionalisme Aceh bukan lahir pasca reformasi 1998 lalu. Nasionalisme Aceh sudah lahir jauh sebelum generasi yang memperjuangkannya lahir. Nasionalisme Aceh lahir sebelum kita lahir! Karena ia adalah produk final sejarah yang panjang serta telah mengalami banyak cobaan dan tantangan. Generasi sekarang hanya meneruskannya apa yang telah digariskan sejarah. Sedangkan tahun 1998-1999 hanya mempertegas garis pemisah antara nasionalisme “indonesia” dengan nasionalisme Aceh. Tahun 1998 hanya mempertegas gejolak kekecewaan terhadap nasionalisme Indonesia yang terlalu dipaksakan.

Nasionalisme tidak akan luntur. Nasionalisme tidak akan berkurang. Apalagi jika karena pergantian rezim, kondisi politik, dan sistem sebuah negara. Karena nasionalisme bukanlah produk gampang jadi. Pertanyaannya kemudian, kenapa nasionalisme Aceh cepat kali luntur seiring diumumkan DM? Jawabannya mungkin terletak pada proses penyadaran akan sejarah yang belum tuntas. Proses ideologisasi Nasionalisme Aceh belum tuntas. Hal itu mungkin karena: orang hanya berpura-pura—padahal seperti ditulis Wali Negara Aceh Dr Hasan di Tiro dalam Demokrasi untuk Indonesia (Th 1958)—dalam perkara nasionalisme dan kebangsaan orang tidak mungkin berpura-pura atau menipu dirinya sendiri. Bangsa Amerika tidak mungkin berpura-pura menjadi bangsa Indonesia, ban gsa Korea tidak mungkin berpura-pura menjadi bangsa Arab, begitu juga bangsa Arab tidak bisa berpura-pura menjadi bangsa Arya dan lain-lain.

Seseorang menjadi bangsa Aceh bukan faktor kebetulan atau karena keinginannya. Apalagi klaim sepihak. Kebangsaan seseorang tidak bisa direkayasa. Hal ini berbeda dengan negara/ kewarganegaraan. Kita bisa mengganti kewarganegeraan setiap atau jika kita sudah bosan dan benci pada negara induk. Kita bisa menjadi warga negara lain. Hari ini menjadi warga negara Indonesia, pada lain waktu kita bisa menggantinya. Tetapi dalam hal kebangsaan tidak bisa segampang itu. Nasionalisme/kebangsaan adalah produk final dari sejarah.

Seseorang menjadi bangsa Aceh bukan karena pemaksaan atau desain orang lain. Oleh karena itu dia harus secara total menjadi bangsa Aceh. Jikapun dia tidak berbuat sesuatu untuk Aceh. Dia tetap dianggap bangsa Aceh tetapi menjadi pengkhianat. Atau orang yang tidak menyadari khittahnya sebagai bangsa Aceh yang militan dan anti penjajahan.

***

Tugas sekarang adalah bagaimana mengembalikan roh rakyat Aceh. Banyak diantara rakyat Aceh yang telah kehilangan roh. Kondisi sulit bukan hanya dialami sekarang di bawah status DM. Tetapi jika dibuka kembali sejarah, hampir sepanjang perjalanan sejarah bangsa Aceh dihabiskan dalam perang dan konflik. Tetapi semangat dan identitas ke-Acehan tidak bisa pudar, bahkan semakin mantap. Kondisi itu jauh berbeda dengan sekarang. Seolah-olah DM adalah isyarat kematian nasionalisme Aceh. Jikapun itu isyarat, tetapi jangan jadikan sebagai terminal terakhir pertarungan nasionalisme Aceh dengan Indonesia. Karena sangat riskan. Perjuangan kita akan kembali dimulai dari nol, dan akan banyak lagi darah, nyawa yang harus dikorbankan.

Roh rakyat Aceh adalah resistensi. Tanpa itu, kita tidak sempurna menjadi bangsa Aceh. leluhur kita sudah menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Aceh lahir dari kubangan darah dan ganasnya medan perang. Puluhan Tahun kubangan itu dibuat Portugis, Belanda, dan Jepang tetapi bangsa Aceh masih tetap eksis sampai sekarang. Orde Lama, Orde Baru, dan rezim sekarang memaksa kubangan darah itu kembali supaya kita membubarkan kebangsaan kita. Haruskah kemudian kita mengalah dan menjadi masyarakat kelas dua direpublik ini?

Selama DM ini memang banyak kerja yang harus kita lakukan. Tetapi jangan sampai terjadi, DM membunuh roh kita dan membuat kita menjadi bangsa budak yang takluk dibawah kaki majikan. Kita harus tetap melawan untuk menghidupkan roh rakyat Aceh yang hampir berhasil dipadamkan oleh peluru-peluru serdadu!!!!

Terakhir, saya ingin mengutip ucapan terkenal Pemimpin Revolusi Islam IRAN, Ayatulluah Ruhullah Khomeinei “Diam terhadap penindasan lebih tidak bermoral dari kejahatan itu sendiri.” Semog ini menjadi spirit bagi kita untuk terus menentang kedhaliman penguasa di Aceh dan dimanapun dibelahan bumi Tuhan ini. “Aku memberontak oleh karena itu aku ada” tegas Albert Camus.

Penulis adalah pengurus Himpunan Aktivis Anti Militerisme (HANTAM)

tulisan ini sudah dimuat di www.asnlf.net

Post a Comment

Previous Post Next Post