Persepsi Eropa tentang Timur

(Belajar dari kasus Zidane)

Meski Piala Dunia 2006 sudah lama berakhir. Namun, perbincangan tentang tragedi saat laga final antara Perancis dan Italia sampai sekarang masih berlangsung, khususnya terkait kasus yang menimpa Zidane dan Marco Materrazi.

Berita terbaru seperti dilansir harian Kompas (Senin, 20/08) memuat tentang pengakuan Materrazi (korban tandukan Zidane), tentang kalimat yang dilontarkannya terhadap Zidane yang berakhir dengan tandukan. ”Awalnya, saya menarik baju Zidane. Dia kemudian berbalik melototi saya dengan pandangan begitu arogan dan emosi. Dia melototi saya mulai dari kepala sampai ke kaki, dan berkata ’jika kamu inginkan baju saya, kamu bisa dapatkan setelah pertandingan usai,” cerita Materrazi. ”Saya kemudian meresponnya dengan mengatakan, ’sebaiknya kamu berikan saja kepada saudara perempuanmu yang pelacur.”

Lewat tulisan ini, saya tak akan memperdebatkan siapa yang bersalah dalam kasus tersebut, serta layak-tidaknya Zidane menerima kartu merah. Saya hanya ingin melihat dari perspektif lain, khususnya provokasi Materrazi yang menghina Ibu dan Kakak Perempuan Zidane sebagai pelacur. Saya ingin menyimpulkan, meski akan menimbulkan perdebatan, bahwa provokasi terhadap Zidane merupakan perspektif Eropa dalam memandang Afrika (tentu saja Asia dan Amerika Latin), yang pernah popular pada masa kolonialisme. Tulisan ini coba menunjukkan bahwa dalam sejarah Eropa, bangsa selain Eropa selalu dipandang rendah dan hina, khususnya dalam perspektif kolonialisme.

Sulitnya Menghapus Rasisme
Sebelumnya, tak lupa saya kutip kembali motto yang dijadikan cita-cita dari Piala Dunia 2006 lalu di Jerman. Pertama, A Time to Make a Friends (Saat yang tepat untuk persahabatan), dan Kedua, Say No To Racism (Katakan tidak untuk rasisme).

Dua motto ini sudah memberi kepada kita gambaran tentang apa yang hendak dicapai melalui Piala Dunia yang lalu. Motto ini mengandung keinginan penyatuan dunia di bawah nilai-nilai universal, tanpa memandang ras, agama dan budaya. Tidak ada perbedaan antara ras Afrika, Asia dengan Eropa. Semua sepertinya hendak disatukan dalam paham egaliter (kesetaraan), bahwa semua sepakat trofi Piala Dunia milik siapa saja, termasuk dari ras Afrika dan Asia yang belum pernah merasakan indahnya menjadi kampium dunia jika mampu memenangi pertandingan demi pertandingan.

Motto seperti ini tak muncul secara kebetulan belaka, melainkan dilandasi oleh kenyataan-kenyataan di lapangan hijau, bahwa rasisme menjadi masalah terberat bagi dunia sepak bola. Meski FIFA berungkali menyampaikan sangat anti terhadap rasisme, tetapi persoalan rasisme selalu muncul di lapangan. Kita bisa sebutkan kasus yang selalu menimpa Samuel Eto'o, Liliam Thuram, Thierry Henry dan lain-lain yang selalu diteriakin seperti monyet, dengan cara meniru suara monyet, setiap kali mereka membawa bola.

Kenyataan-kenyataan seperti inilah yang kemudian memaksa FIFA menetapkan motto seperti disebutkan di atas. Namun, persoalannya tak serta merta dengan motto tersebut FIFA bisa membendung persoalan rasisme. Toh, persoalan demikian tetap muncul meski dalam bentuk yang lain. Sebutlah kasus yang menimpa Zidane.

Zidane, yang selalu disebut berpembawaan tenang dan pemalu tiba-tiba menjadi begitu buas. Kenapa Zidane begitu marah? Pertanyaan ini yang menghinggapi semua otak manusia yang menyaksikan laga final Piala Dunia 2006 di Berlin, Jerman. Sampai laga final itu usai, tak ada jawaban pasti atas pertanyaan demikian. Banyak pengamat dan komentator bola hanya mereka-reka bahwa sudah terjadi provokasi luar biasa terhadap Zidane. Sehingga tidak mungkin Zidane begitu marah dan menanduk Materrazi sampat terjatuh.

Beberapa pendapat, dan tentu pengakuan Zidane sendiri membenarkan asumsi beberapa pengamat, bahwa telah terjadi penghinaan luar biasa terhadap kehidupan keluarganya. Penghinaan itu membuat Zidane sangat marah. Pengakuan Zidane diperkuat lagi dengan pengakuan Materrazi seperti dikutip di awal tulisan di atas.

Perspektif Eropa
Dalam perspektif Eropa, khususnya pada masa kolonialisme, muncul anggapan bahwa Eropa-lah ras yang paling sempurna, dan tentu saja berkuasa atas ras yang lainnya. Sehingga selalu muncul kesimpulan bahwa sejarah Eropa berkuasa dari semua sejarah yang ada.

Jika Eropa dipandang baik, maka Asia, Afrika dan Amerika Latin adalah buruk. Jika Eropa mewakili ras yang unggul dan tanpa cacat, maka selainnya adalah ras yang rendah. Anggapan demikian bukan tidak memiliki dampak. Salah satu alasan kolonialisme dan invasi bangsa Eropa ke Asia, Afrika dan Amerika Latin adalah disebabkan oleh anggapan demikian.

Dalam Orientalism, Edward Said, mengkaji hal itu secara mendalam, dengan perspektif kolonial. Said kemudian berkesimpulan bahwa kolonialisme dilandasi oleh anggapan yang keliru, khususnya dalam memandang dunia selain Barat. Muncul dikotomi di mana satu pihak lebih unggul dari pihak yang lain. Ada dikotomi, "Kita" (Eropa) dan "Mereka" (Asia, Afrika dan Amerika Latin) dalam persep Barat. Persepsi ini kemudian menyihir bangsa Eropa berlomba-lomba datang ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, untuk tujuan penjajahan. Meski saat itu yang didengungkan adalah membuat mereka berperadaban seperti peradaban Eropa.

Analisis demikian, kian terasa khususnya dari kasus yang menimpa Zidane, berwarganegara Perancis tapi berlatar belakang Aljazair. Zidane hanyalah anak imigran yang kemudian mengadu nasib di Perancis. Otomatis, Zidane sama sekali tidak mewakili ras Eropa yang sesungguhnya. Makanya, pelecehan terhadapnya tak terelakkan.

Dalam wacana kolonial, muncul penggambaran dan kontruksi-kontruksi pemikiran terhadap pihak lain. Pada abad kedua belas dan tiga belas, misalnya, menurut Said muncul penggambaran oleh Eropa terhadap Islam seperti Islam itu biadab, tidak bermoral, tiranis dan mengumbar nafsu.

Tak hanya itu, Said lebih jauh mencoba memetakan konsepsi-konsepsi Eropa, yang kemudian menjadi dasar perlawanan terhadap kekuasaan Eropa. Eropa memposisikan diri sangat agung, over confident, ketika diperlawankan dengan Asia, Afrika dan Amerika Latin. Dalam konsepsi-diri Eropa, sebut Said, jika rakyat terjajah itu irasional, maka orang Eropa rasional. Jika yang pertama tidak beradab, sensual dan malas, Eropa adalah peradaban itu sendiri.

Sehingga muncul pertentangan-pertentangan di antara yang dikenal (Eropa, Barat dan kita), dengan yang asing (Orient, Timur, Mereka). Dikotomi demikian sengaja dibuat oleh Eropa untuk tujuan pembedaan. Jika Timur itu statis, Eropa dilihat berkembang dan maju ke depan; Timur harus feminim agar Eropa bisa menjadi maskulin. (Ania Loomba, Colonialism/Postcolonialism; 2000)

Penggambaran demikian menjadi penting bagi Eropa untuk menentukan strategi-strategi dan cara mengendalikan mereka (orang timur). Stereotipe demikian lumayan berhasil, karena tak sedikit kemudian warga pribumi (Non Eropa) merasa dirinya rendah, dan tidak berani melakukan perlawanan. Pikiran mereka telah dihegemoni oleh Eropa.

Kembali ke kasus Zidane, misalnya, bagaimana provokasi-provokasi yang dilakukan Marco Materrazi terhadap Zidane berhasil memancing kemarahan, sampai Zidane bertindak bodoh dan menanduk Materrazi. Hal ini sengaja dilakukan oleh Materrazi hanya agar Zidane tidak lagi berkonsentrasi pada permainan, sehingga dengan demikian Perancis bisa dikalahkan. Yang terjadi kemudian bukan hanya Perancis berhasil dikalahkan, melainkan juga karir Zidane yang sebenarnya bisa berakhir dengan manis menjadi berantakan.

Penindasan-penindasan pemikiran demikianlah, memberi kesadaran yang kemudian melahirkan perlawanan melawan kolonialisme di berbagai Negara Asia, Afrika dan Amerika Latin terhadap dominasi Eropa. Meski di samping itu banyak alasan lain yang melatarinya.

Pertanyaannya kemudian, masihkah fikiran merasa rendah diri itu masih hinggap dalam masyarakat Timur, atau masihkah Eropa memandang rendah terhadap bangsa selain Eropa?

Entahlah!

Post a Comment

Previous Post Next Post