Prospek Dialog RI-GAM Pascatsunami

Oleh Taufik Al Mubarak

Riwayat perundingan RI-GAM sebenarnya adalah riwayat kegagalan. Perundingan tidak pernah benar-benar berjalan mulus. Sejak tahun 2000 sudah beberapa perundingan digelar, tetapi kemudian macet di tengah jalan. Sebut saja Jeda Kemanusiaan, Moratorium Permusuhan, Damai Melalui Dialog, dan terakhir yang cukup menjanjikan bagi perdamaian di Aceh adalah CoHA. CoHA juga hanya efektif dua bulan setelah itu juga tidak dapat berjalan, dan berakhir dengan perang (Darurat Militer).

Wacana perundingan yang mulai bergulir pascatsunami 26 Desember lalu sebaiknya perlu dikelola dengan hati-hati. Kita takutkan wacana itu akan mentah kembali jika dikacaukan oleh berbagai pandangan dan komentar yang sebenarnya tidak perlu diutarakan sebelum rencana dialog digelar secara pasti. Agar dialog dapat berlangsung sebelum gagal dalam tahap wacana.

Seperti diketahui, pihak pemerintah melalui Desk Aceh Kantor Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan, Irjen Pol. Demak Lubis (Sinar Harapan, 20/01) memberikan beberapa syarat kepada GAM sebagai upaya mencari solusi damai. Pertama, GAM harus mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bila syarat ini tidak diakui oleh GAM, tentunya tidak pernah ada titik temu. Kedua, GAM sebaiknya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi untuk bersama-sama pemerintah membangun Aceh. Ketiga, otonomi khusus Aceh merupakan solusi yang sudah ditawarkan oleh pemerintah.

Tentu saja syarat seperti ini tidak dapat diterima oleh pihak GAM. GAM, dalam hal ini tentunya punya pandangan yang berbeda dengan sikap pemerintah. Mereka punya sikap politik sendiri seperti keinginan untuk merdeka. Seharusnya, pemerintah RI memahami sikap politik GAM ini.

Bukankah hakikat sebuah dialog adalah bagaimana memahami diri sendiri apa adanya dan dalam waktu yang bersamaan juga dapat menerima sikap pihak lain yang berbeda dengan kita. Jadi bukan mencoba mereduksi peran dan sikap politik mereka, sehingga sesuai dengan keinginan kita, apalagi jika sampai memaksa mereka harus seperti kita. Harus juga dipahami, bahwa jika proses seperti ini terjadi tak akan pernah dicapai hasil yang benar-benar objektif.

Kilas Balik Dialog
Sejarah baru perkembangan konflik Aceh sebenarnya sudah ditorehkan oleh RI-GAM ketika menandatangani Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) 9 Desember 2002 silam. CoHA dilihat dan dibaca sebagai pintu menuju perdamaian permanen di Aceh.
Karena, perundingan itu bukan hanya melibatkan tokoh-tokoh RI dan GAM melainkan juga tokoh-tokoh internasional yang cukup berpengaruh seperti Anthony Zinny, Rupert Smith, Lord Avebury, Martin Griffist dan lain-lain. Selain itu, Sekjen PBB Kofi Annan dan para presiden dunia seperti George W. Bush, memberikan ucapan selamat yang menandainya betapa pentingnya hasil CoHA yang ditandatangani RI-GAM di Jenewa.

Sebagaimana diketahui, antara pemerintah RI dan GAM dicapai sebuah kesepakatan penghentian permusuhan. Kesepakatan itu difasilitasi oleh Henry Dunant Center (HDC), sebuah LSM Internasional yang juga berkedudukan di Swiss. HDC telah terlibat dalam penyelesaian konflik Aceh sejak Januari 2000 mulai dari Jeda Kemanusiaan sampai CoHA yang menghasilkan beberapa keputusan penting, di antaranya: Pertama, Demiliterisasi (Relokasi TNI, Reformulasi Brimob dan penempatan senjata GAM). Kedua, pelaksanaan All Inclusive Dialogue (AID), suatu dialog yang melibatkan seluruh komponen masyarakat Aceh untuk melakukan tinjauan terhadap UU NAD yang dijadikan starting point dari dialog. Ketiga, pemilihan pemerintahan demokratis di Aceh. Pemilihan ini sendiri baru dapat dilakukan setelah pelaksanaan AID.

Namun kenyataannya, perbedaan penafsiran antara pemerintah RI dan GAM dalam menerjemahkan klausal-klausal CoHA, serta dipertajam oleh komentar-komentar kedua belah pihak di media, membuat situasi menjadi panas. Semua ini memberi isyarat bahwa CoHA tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Rasa saling percaya yang terbangun antara RI dan GAM untuk menyelesaikan Aceh secara damai selama CoHA mulai luntur dan mulai muncul sikap curiga.

Apalagi mulai muncul kecaman-kecaman terhadap HDC sebagai lembaga yang tidak memiliki cukup wibawa untuk menekan kedua belak agar mematuhi hasil CoHA. Kondisi menjadi tidak menentu, ketika kantor Joint Securty Committee (JSC) di Aceh Tengah dibakar.

Puncaknya adalah ketika gagalnya pertemuan Tokyo April 2003. Kegagalan itu disebabkan adanya syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak GAM, seperti peletakan senjata GAM, menerima otonomi khusus, kembali ke pangkuan ibu pertiwi serta dialog harus dalam kerangka NKRI.

Substansi
Dalam kerangka ini, syarat-syarat yang diajukan oleh RI seperti disebutkan di atas harus diletakkan dalam posisi “ancaman” terhadap masa depan perundingan antara RI-GAM. Andai syarat-syarat itu terus dipaksakan untuk dipatuhi oleh GAM sebagai kompensasi berdialog dengan GAM, maka itu merupakan isyarat yang tidak baik bagi rencana dialog selanjutnya. Dialog itu akan gagal pada tahap wacana sebelum dialog digelar. Kemungkinan dialog mengalami deadlock jauh lebih besar jika wacana seperti ini terus dimunculkan.

Padahal gagasan pertama munculnya dialog adalah semata-mata karena derita yang dialami rakyat Aceh pasca-gempa dan tsunami. Baik RI maupun GAM menjadikan musibah itu sebagai isyarat pentingnya membangun perdamaian di Aceh, agar rakyat Aceh tidak semakin menderita. Agar proses rehabilitasi dan rekontruksi Aceh tidak dikacaukan oleh kontak senjata antara pihak TNI dan tentara GAM.

Pantas dan wajar jika kedua belah pihak menggunakan logika kemanusiaan. Bagaimana bencana Aceh yang menewaskan ratusan ribu jiwa menuntun pihak RI dan GAM mempersembahkan sesuatu kepada masya-rakat Aceh agar derita rakyat Aceh tidak semakin menjadi-jadi. Tapi, dengan kondisi sekarang ini, di mana pihak RI masih berkutat pada logika semula bahwa dialog dengan GAM harus dalam kerangka NKRI dapat menjadi langkah awal terciptanya perdamaian di Aceh?

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan oleh kedua belah pihak sebagai langkah membuka jalan bagi perdamaian permanen di Aceh. Pertama, perlunya pemahaman terhadap penderitaan rakyat Aceh akibat tsunami. Pemahaman itu harus direalisasikan dalam bentuk gencatan senjata, sebagai penghormatan terhadap kerja-kerja pemulihan Aceh yang sedang dilakukan masyarakat internasional di Aceh. Kedua, sama-sama memiliki pandangan bahwa pasca-tsunami rakyat Aceh harus hidup dalam kondisi normal, tidak ada lagi konflik maupun beban hidup yang membuat mereka semakin menderita. Kiranya hal ini yang paling realistis untuk Aceh sekarang.

Penulis adalah Staf Riset pada The Human Rights Institute (HRI) Jakarta.

Post a Comment

Previous Post Next Post