Visi untuk Masa Depan Aceh

(Beberapa Catatan Pemikiran)

Kita tak perlu membahas lagi masalah visi, karena kita telah sama maklum bahwa di kalangan masyarakat Aceh, khususnya beberapa elemen gerakan, memiliki visi tersendiri dalam menatap masa depan Aceh. Tapi, dari semua visi yang ada, dapat diringkas atau diambil suatu kesimpulan, bahwa semua kalangan di Aceh ingin menatap Aceh berada dalam perdamaian abadi sehingga kesejahteraan bukan lagi ilusi apalagi sebuah utopia. Jadi, keinginan berada dalam perdamaian dan kesejahteraan lah yang ingin dicapai oleh semua komponen masyarakat Aceh, meski pada prakteknya, mereka memilih cara yang berbeda dalam menggapainya.

Inti dari proses perdamaian yang sedang dinikmati oleh rakyat Aceh sebenarnya tidak hanya terciptanya perdamaian. Tidak sekedar itu. Meski beberapa bagian dari implementasi MoU Helsinki sesuatu yang penting seperti pemusnahan senjata GAM, penarikan diri TNI/Polri dan terbukanya ruang bagi masyarakat Aceh menikmati perdamaian. Tetapi hal itu belumlah cukup ketika ruang politik yang bebas untuk rakyat Aceh dalam mengaktualisasikan keinginannya membentuk pemerintahan yang bebas, berdaulat dan jauh dari intervensi pemerintah pusat belum sepenuhnya terlaksana.

Katakanlah, beberapa kesepakatan seperti tersebut di atas menjadi bagian terpenting dari MoU Helsinki, tetapi ada hal yang lebih penting lagi, yaitu terbentuknya RUU PA yang sesuai dengan kesepakatan MoU Helsinki. Inilah sebenarnya ruh penting dari MoU Helsinki. Jika ini belum ada atau tidak mencerminkan aspirasi rakyat Aceh maupun MoU Helsinki, sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa perdamaian benar-benar telah tercipta di Aceh.

Karena itu, sebagai bagian dari elemen masyarakat Aceh, SIRA tetap percaya bahwa perdamaian Aceh tidak akan tercipta dalam pengertian yang sesungguhnya ketika RUU PA dan peluang rakyat Aceh membentuk pemerintah sendiri yang kuat tidak diakomodir oleh keputusan politik pemerintah RI dalam bentuk pengesahan RUU PA yang sesuai dengan semangat MoU Helsinki.

Sebab, ketika RUU PA tidak sesuai dengan MoU Helsinki, secara otomatis RUU itu akan ditolak. Dengan demikian, perdamaian di Aceh terancam. Gelombang protes rakyat akan muncul di mana-mana. Sementara, kondisi seperti ini sama sekali tidak kondusif bagi upaya pemulihan Aceh yang masih belum berjalan secara maksimal. Perhatian internasional bisa jadi akan berbelok. Semua orang tau, keberadaan internasional di Aceh sekarang tak lebih dari membaiknya kondisi di Aceh. Jika kondisi berubah dan mencekam, kita tidak bisa menjamin internasional akan tetap berada di Aceh.

Adalah musibah yang lebih besar akan dihadapi oleh rakyat Aceh. Ketika rekontruksi belum selesai, sementara internasional meski menarik diri dari Aceh karena kondisi Aceh yang tidak stabil, bukankah kita bisa membuat sebuah kesimpulan secara tergesa-gesa bahwa keinginan rakyat Aceh seperti telah disinggung di atas hanya mimpi pagi yang dibangunkan oleh azan subuh.

Demikianlah betapa pentingnya RUU PA, tak hanya sebagai intrumen bagi terbentuknya pemerintah Aceh, melainkan juga sarana menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Aceh. Karena, dalam RUU PA itu telah diatus kewenangan pemerintah Aceh untuk mengelola hasil alam Aceh secara luas untuk kesejahteraan rakyat Aceh yang selama beberapa decade tak pernah menikmatinya.

Karena itu, apapun visi kita ke depan, tak akan bermakna ketika RUU PA ternyata tidak sesuai dengan harapan kita, aspirasi rakyat Aceh dan MoU Helsinki. Kita meski harus berjuang lagi, dengan kemampuan yang ada agar perdamaian yang akan menuntun rakyat Aceh menggapai kesejahtaraan benar-benar menjadi kenyataaan, dan bukan mimpi pagi yang dibangunkan oleh adzan subuh!

Post a Comment

Previous Post Next Post