Po Nanggroe


Di kesampatan ini, ada dua kalimat menarik yang ingin saya kutip. Pertama, kalimat yang pernah diucapkan Bang Joni alias Bang Kapluk dalam komedia Eumpang Breueh: Nyang gasien meukuwien lam tika. Kedua, salah satu bait lagu Dedy Dorres: Yang kaya tertawa berpesta pora.

Keduanya, bicara tentang dua nasib anak manusia. Yang satu diberi nikmat kemiskinan, sementara yang kedua dikasih nikmat kaya. Jika yang miskin, nasibnya begitu sedih, tak berdaya dan pasrah. Sementara yang kedua begitu congkak dan gagah. Hidupnya dibalut dengan kesenangan-kesenangan.

Kedua manusia beda nasib itu sering kita temui. Coba, kalau ada waktu keliling kampung-kampung yang ada di Aceh. Pemandangan seperti itu sangat kontras terlihat. Jika, anda tak punya waktu terjun ke kampung, baiklah, saya ceritakan saja nasib masyarakat di kampung saya. Biar anda dapat gambaran utuh.

Saya ingat, saat pulang kampung beberapa waktu lalu, suasananya cukup berbeda. Jika dulu, saya sering nongkrong di warung kopi sampai larut malam. Sementara sekarang, jam sebelas malam, warung-warung pada tutup. Saat saya tanya, kenapa malam tak lagi semarak seperti dulu? Banyak dari masyarakat menjawab bahwa mereka tak mampu membeli membeli segelas kopi. Hah! Saya tentu saja kaget. Mereka harus menunggu musim panen padi, agar bisa berkumpul lagi larut malam di warung kopi.

Tapi kan, pemerintah baru sudah meluncurkan Kredit Peumakmu Nanggroe? Seharusnya kehidupan masyarakat sudah cukup makmur sekarang. Tak ada jawaban. Hanya saja, mereka mengaku sulit mendapatkan kredit tersebut. Urusannya sangat berbelit-belit, apalagi jika tak ada backing.

Tak heran, jika Kredit Peumakmu Nanggroe (KPN) mulai dieja Kredit Peumakmu Po Nanggroe. Kita bisa saja disalahkan karena sudah memplesetkan kalimat itu. Tapi, bagi kita ejaan kedua sepertinya lebih tepat. Namun, Po Nanggroe di sini jangan dipahami rakyat kecil yang punya nasib seperti disebut oleh Bang Joni, melainkan elite politik, kontraktor dan lain-lain yang tak pernah mengerti bagaimana meukuwien lam tika.

Malah, jika boleh cerewet, saya ingin bilang: jalan menuju kampung saja seperti gelombang air laut. Kalau kita bawa kereta terlalu cepat, badan kita bergoyang seperti bergelombang. Sementara, di beberapa bagian, meski baru diaspal sudah muncul rumput siap menyapa matahari pagi.

Nah, apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah? Kan tak gampang mewujudkan perubahan secara instan! Ya...yang penting bukan program-program cet langet lah. Wujudkan dulu kesejahteran dan kemakmuran (prosperity). Jika tak ada yang tahu apa itu kemakmuran, baiklah kita ingatkan lagi. Kemakmuran, sering disebut sebagai keadaan di mana kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan wajar secara mantap dan terus menerus.

Pertanyaannya kemudian, jika untuk membeli segelas kopi masyarakat harus menunggu musim panen padi, sudahkah itu wajar? Sudahkah kebutuhan terpenuhi secara terus menerus? Entahlah...yang penting, jangan sampai gara-gara kemiskinan dan kelaparan, orang Aceh memberontak lagi. Itu saja. Perkecil saja kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin setipis mungkin.

Kita hanya berharap, jika rakyat mengungkapkan kekecewaan, jangan dipahami sebagai bentuk kebencian, apalagi sebagai ancaman. Pertanyaan rakyat—yang bernada kritis—jangan dipahami sebagai ancaman terhadap legitimasi kekuasaan. Pemerintah tak perlu alergi dengan sejumlah pertanyaan itu, meski tak enak untuk didengar. Ingat, orang lapar itu sering lebih punya banyak ide (untuk memberontak) ketimbang orang-orang kenyang. Tak percaya?


ilustrasi: taurisma

Post a Comment

Previous Post Next Post