Bale Jaga

Oleh Taufik Al Mubarak

Bale Jaga. Semua orang pasti pernah mendengarnya. Istilahnya juga macam-macam. Di kampung saya (khususnya di Pidie), Bale jaga sering disebut dengan Blukoh. Di tempat lain ada yang menyebut Bale saja. Saat konflik dulu, sering dikenal dengan Pos Kamling (Posko Keamanan Lingkungan) atau Pos Jaga. Tak sedikit juga yang menyebut rangkang. Meski punya banyak istilah, saya lebih senang menyebutnya Bale Jaga saja.




Lalu, apa yang menarik dari Bale Jaga? ”Tak ada yang menarik,” jawab seorang teman. Benar juga, memang tidak ada yang menarik dari pos jaga. ”Tapi, meski tidak menarik, banyak loh orang yang rela menghabiskan waktu di pos jaga,” jawabku spontan. Malah, di kampungku sekarang, masih ada orang yang tidur di pos jaga sambil berdesak-desakan. Mareka tiduran sambil mengusir nyamuk dan rebutan bantal kayu yang sudah licin. Belum lagi udaranya juga dingin, pasti sangat tidak enak. Jadi, aneh kalau ada orang mau saja tidur di bale.

Menariknya, setiap hari Bale Jaga tak pernah sepi. Ada saja orang yang duduk di sana. Orang-orangnya juga nggak berubah, itu-itu saja. Yang pasti topik pembicaraan merakyat banget. Dari persoalan dasar masyarakat sampai obrolan politik. Topik-topik itu dibahas dan dianalisis menurut logika masyarakat awam, yang kadang-kadang lebih ilmiah dari kupasan lulusan perguruan tinggi.

Tak hanya itu, banyak persoalan yang muncul di masyarakat, mampu dipecahkan sendiri oleh mereka. Sebut saja masalah perselihan dalam rumah tangga, pembagian harta warisan, dan masalah kasus pencurian di kampung. Semuanya, mampu diselesaikan dari obrolan di Bale Jaga. Padahal saat itu, pemerintah absen atas nasib mereka.

Itu baru sebagian kecil saja hal yang menarik dari Bale Jaga. Tapi kalau mau dikaji, setidaknya menurut saya, ada tiga fungsi yang membuat Bale Jaga menarik. Tiga fungsi ini juga bukan muncul secara kebetulan melainkan ada prosesnya. Pertama, kalau pada masa DOM (Daerah Operasi Militer), Bale Jaga berfungsi sebagai sarana menjaga keamanan lingkungan. Masyarakat, entah sukarela atau terpaksa, menjaga kampungnya dari pos jaga. Setiap malam ada petugas piket yang ditugaskan. Banyak juga cerita seram yang muncul dari Bale Jaga ini. Jika ada petugas piket kedapatan sedang tiduran saat tentara tiba di Bale, mereka akan dihukum. Ada yang diminta merayap di sawah, ada yang diminta merendam di sungai/lueng. Tak sedikit juga yang harus menghisap rokok 10 batang sekaligus.

Kedua, Bale Jaga berfungsi sebagai tempat melakukan update fitnah. Istilah ini saya adopsi dari seorang teman. Maksudnya, memperbaharui fitnah. Jika sesekali sempat singgah di Bale Jaga, kita akan menjadi akrab dengan fungsi ini. Masyarakat yang duduk di Bale Jaga ini sering membicarakan kejelekan dan keburukan orang lain. Sifat kepala desa yang tidak disenangi juga diomongin di sini. Tentu saja yang buruk-buruk, seperti suka memangkas bantuan untuk orang miskin, suka gangguin anak gadis atau isteri orang. Pokoknya, kalau sudah menyangkut orang lain, cerita yang beredar di Bale Jaga ini sudah tidak benar. Artinya, jarang yang diomongin tentang kebajikan orang lain. Sangat pantang, mungkin. Bahkan, proses pemecatan seorang kepala desa juga berawal dari fitnah di Bale Jaga.

Ketiga, Bale Jaga juga bisa digunakan sebagai media mendengar aspirasi masyarakat bawah. Apa keinginan masyarakat bisa diketahui dari obrolan yang berkembang di Bale Jaga ini. Artinya, topik yang dibicarakan sering menyangkut kondisi aktual masyarakat. Masyarakat sedang membicarakan nasibnya. Sebut saja soal kenaikan harga sembako, lebih mudah dibahas di sini.

Nah, jika ada pejabat, wakil rakyat atau orang yang ingin mengetahui kondisi aktual masyarakat, mereka tak perlu repot-repot. Mereka bisa menemui masyarakat di sini. Informasi yang didapatkan juga bisa lebih valid ketimbang lewat forum-forum diskusi atau seminar. Soalnya, kalau lewat forum-forum diskusi atau seminar yang membahas tentang masyarakat sering tidak valid dan tak aktual. Aspirasi yang didapatkan juga lebih banyak bumbu kamuflasenya, apalagi jika seminar atau diskusi itu dibuat oleh lembaga pemerintahan. Pasti yang banyak muncul aspirasi atau informasi Asal Bapak Senang (ABS). Sementara kondisi sesungguhnya tidak tercover.

Kalau mau populis, tak salah, jika para pejabat atau anggota dewan berkunjung ke Bale Jaga ini. Syaratnya, ya harus berlagak seperti rakyat juga. Jika tetap seperti pejabat, apalagi bawa pengawal yang rame, jelas tidak akan mendapatkan informasi tentang kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Masyarakat menjadi sangat tertutup.
Jadi, tunggu apa lagi? Pemilu 2009 sudah di depan mata. Jika ingin dipilih, mulai sekarang harus turun ke kampung-kampung dan berkumpul dengan masyarakat di Bale Jaga. Sebab kalau hanya saat kampanye saja mau turun ke kampung-kampung, itu lebih banyak bumbu politiknya. Karena ada mau-nya. Entahlah!

sudah dimuat di rubrik Cang Panah Harian Aceh, Rabu 19 Maret 2008

Post a Comment

Previous Post Next Post