Aceh Tak Butuh Ujian Nasional

Oleh Taufik Al Mubarak

Sejak dua hari lalu, pelajar tingkat SMU/MA dan sederajat di seluruh Indonesia berjibaku menjawab soal-soal Ujian Nasional (UN) yang rumit. Mereka berjuang mengejar target atau standar nilai rata-rata kelulusan yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,25.
Di Aceh, pelaksanaan UN berlangsung semarak. Para pejabat dari tingkat provinsi sampai kabupaten memantau langsung UN yang tahun ini diikuti oleh 65.635 siswa SMA/MA atau yang sederajat. Aksi para pejabat kembali ke sekolah ini selain untuk memantau agar tidak terjadi kekurangan juga untuk memberi semangat kepada para pelajar agar mampu menyelesaikan berbagai soal-soal UN. Para pejabat juga memberi semangat agar siswa dapat lulus ujian dengan hasil maksimal.

”Kalian harus lulus semua. Tidak ada yang tidak lulus,” ujar Kepala Pemerintah Aceh, Irwandi Yusuf saat memantau UN di SMU 1 Baitussalam, Aceh Besar. Dengan penetapan nilai rata-rata kelulusan sebesar 5,25, apakah menjamin semua siswa di Aceh dapat lulus semua seperti harapan Kepala Pemerintah Aceh? Sulit untuk menjawabnya.

Untuk Aceh, nilai rata-rata tersebut termasuk tinggi. Pada UN 2006/2007 lalu, dengan nilai rata-rata kelulusan sebesar 5.0, sebanyak 9.891 dari total 53.028 atau sekitar 18,65 persen siswa tingkat SMA/MA tidak lulus UN. Sedangkan untuk tingkat SMK dan SPK, angka tidak lulus UN mencapai 22,44 persen atau 1.774 siswa dari tola keseluruhan yang ikut ujian 7.991.

Sementara tahun pelajaran 2005/2006, tingkat kelulusan siswa mencapai 88,71 persen atau melebihi target 70 persen yang ditetapkan Dinas Pendidikan Aceh. Sementara target kelulusan tahun ini yang ingin dicapai oleh pemerintah sebesar 90 persen lebih. Target tersebut terlalu tinggi, mengingat mutu pendidikan di Aceh yang masih rendah dibandingkan dengan di daerah lain.

Belum lagi, penetapan nilai rata-rata kelulusan yang terlalu tinggi, dinilai tidak terlalu adil dan fair diberlakukan secara serentak. Karena mutu pendidikan antara satu daerah dengan daerah lain sangat berbeda. Target tersebut mungkin bisa dicapai oleh siswa-siswa dari sekolah favorit di pulau Jawa, tapi target tersebut belum tentu mampu dijangkau oleh siswa di pedalaman Papua atau di pedalaman Kalimantan.

Makanya sering muncul pertanyaan, kenapa standar nilai kelulusan harus disamaratakan untuk semua daerah? Bukankah mutu pendidikan di daerah masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan mutu di tingkat pusat?

Artinya, ketika nilai standar kelulusan disamaratakan untuk menentukan kelulusan siswa, kebijakan tersebut sungguh tidak adil dan fair. Sarana dan prasarana pendidikan antara di Aceh dan di pulau Jawa sangat tidak sebanding. Sarana pendidikan di sekolah-sekolah kecamatan dengan di kabupaten atau dengan sekolah di tingkat provinsi juga berbeda. Di mana sekolah-sekolah yang terletak paling jauh dari kota mutunya sangat rendah, fasilitas yang tidak mendukung, guru yang sedikit dan kebutuhan praktik siswa yang kurung.

Sebenarnya, Aceh bisa menerapkan sistem sendiri termasuk menentukan nilai kelulusan siswa, dan tak perlu mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah di Jakarta. Merujuk UU No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh, khususnya Bab XXX pasal 215 disebutkan bahwa Pemerintah Aceh mempunyai wewenang menyesuaikan sistem pendidikan Aceh dengan karakteristik, potensi dan kebutuhan masyarakat Aceh tanpa mengurangi makna sistem pendidikan secara terpusat.

Artinya, pemerintah Aceh memiliki wewenang penuh untuk mengatur sendiri sistem pendidikan, termasuk dalam hal menentukan kelulusan siswa. Dengan demikian, Pemerintah Aceh tidak perlu ditawan atau didikte oleh pemerintah pusat termasuk dalam urusan pendidikan. Apalagi, pemerintah Aceh sudah diberi wewenang untuk menjalankan pemerintahan sendiri.

Dengan mengikuti sistem pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, yang sampai kini masih diperdebatkan, sama saja pemerintah Aceh membiarkan pusat melakukan intervensi terhadap pendidikan di Aceh.
”UN tidak perlu di Aceh,” kata Zukhri Mauluddinsyah, anggota Komisi E DPRK Pidie beberapa waktu kepada Harian Aceh.

Menurutnya, UN sama sekali bukanlah standar untuk menilai prestasi siswa. Karena menurutnya, banyak juga siswa pintar tapi tidak lulus ujian. Sementara siswa yang bodoh sering lulus dengan prediket memuaskan. Jika UN tetap dipaksakan, sama saja dengan membunuh karakter siswa.

Selain itu, tambah Zukhri, pelaksanaan UN sama saja membuang-uang dana ratusan juta rupiah secara mubazir karena hanya untuk membeli kertas dan memberikan honor kepada tim independen dalam mengawasi UN. Apalagi, dana tersebut, juga harus ditanggung oleh pemerintah daerah. Padahal, jika tidak ada UN, dana itu bisa untuk meninggkatkan mutu pendidikan, serta dapat digunakan kepada sektor lain yang berhubungan dengan masyarakat.

Jika kondisinya, seperti itu, UN sama sekali tidak dibutuhkan untuk Aceh.**

-------------------------
Perdebatan UN Belum Selesai

Perdebatan masalah UN sudah mencuat saat pertama kali kebijakan tersebut digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. Selalu muncul dua kelompok: mendukung pelaksanaan UN dan menolak UN. Yang mendukung beralasan bahwa UN dilindungi oleh Undang-undang, sementara yang menolak menganggap UN bertentangan dengan UU No.20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Perdebatan tersebut terkait dengan pasal 57 dan 58 UU Sisdiknas. Menurut pasal 57 pemerintah berhak menyelenggarakan ujian nasiona; sementara anggota komisi X DPR RI berpendapat, yang dimaksud dalam pasal 57 bukan ujian, melainkan evaluasi. Sedangkan pasal 58 secara tegas menyatakan sekolah dan guru yang berhak menyelenggarakan ujian. Karena sekolah dan guru yang lebih tahu tentang kemampuan masing-masing siswa.

Ada juga yang berpendapat bahwa UN bukanlah alat yang bisa dijadikan untuk mengukur keberhasilan pendidikan. Sebab, tak bisa dijamin bahwa pelaksanaan UN berlangsung fair, jujur dan bebas dari kecurangan. Karena hal tersebut, banyak pihak mengusulkan agar UN ditinjau kembali.

Tak hanya itu, UN yang sudah berjalan selama beberapa tahun sebagai standar tunggal penentuan kelulusan siswa menunjukkan kurang responnya pemerintah terhadap suara masyarakat. Pelaksanaan UN dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap semangat pendidikan.

Pada 21 Mei 2007 lalu, malah sempat adanya clash action tentang UN di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan akhirnya memutuskan agar pemerintah meninjau kembali pelaksanaan UN. Meskipun saat itu, pemerintah menyatakan akan banding.

Pemerintah sendiri sebenarnya tidaklah konsisten dengan kebijakan yang dikeluarkannya. Hal itu terlihat dari penetapan nilai rata-rata kelulusan yang setiap tahun berubah. Soal nama untuk ujian juga sering berubah-ubah.
Sebelum bernama Ujian Nasional (UN), ada beberapa nama yang diberikan untuk ujian secara nasional tersebut, seperti Ujian Akhir Nasional (UAN). Jauh sebelumnya, ujian tersebut bernama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas).

Bedanya, jika Ebtanas berlaku pada semua level sekolah, sementara UN hanya pada sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), MTs, SMU, MA, dan SMK. Untuk sekolah dasar (SD), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Ebtanas sendiri diganti dengan ujian akhir sekolah.

Pergantian mana tersebut dari Ebtanas ke UAN dan kemudian ke UN, karena pemerintah menilai Ebtanas tidak mendukung penyelenggaraan pendidikan, karena sering memunculkan banyak masalah. Ebtanah hanya mendorong pendidik dan peserta didik berorientasi pada hasil, bukan pada proses. Yang terjadi kemudian, para pelajar dan juga pendidik lebih memfokuskan diri bagaimana mendapatkan nilai evaluasi murni setinggi-tingginya, tanpa melihat apakah sang pelajar mampu atau tidak. Atas dasar itu, pemerintah kemudian mengganti Ebtanas dengan UN.

Soal nilai rata-rata juga sering berubah dari tahun ke tahun. Pada tahun ajaran 2002/2003 pemerintah menetapkan nilai kelulusan 3,01, dan naik menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004. Pada tahun 2004/2005 naik lagi menjadi 4,25, demikian juga pada 2006/2007 menjadi 5.01 dan 5,25 pada 2007/2008. Kenaikan tersebut, sering tidak diikuti dengan evaluasi secara menyeluruh dan meningkatkan mutu pendidikan. Hal sering mencemaskan para siswa dan mengganggu psikologis peserta didik dan orang tua mereka.

Akibatnya, UN menyimpang dari tujuan idealnya, yaitu sebagai kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional. UN berubah menjadi semacam hantu yang menakutkan bagi para siswa, dan terus menerus membebani mereka. Muncul kesan, bahwa lulus dari UN berarti semacam terbebas dari lubang kematian yang mengerikan.

Sementara tujuan dasarnya UN adalah menilai pencapaian kompetensi lulusan nasional dalam mata pelajaran tertentu sesuai kelompok sekolah. Di mana hasil dari UN digunakan untuk pemetaan mutu satuan atau program pendidikan, termasuk seleksi untuk masuk jenjang pendidikan berikutnya. Tak hanya itu, UN juga diperlukan sebagai bentuk evaluasi atas penyelenggaraan pendidikan, sehingga hasil dari UN dapat digunakan untuk merumuskan langkah-langkah yang perlu dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, khususnya dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Masalahnya, seperti tergambar dari sikap koalisi pendidikan, terjadi penyimpangan begitu UN digulirkan, terutama aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Dalam UN, hanya satu aspek yang dinilai, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.

Penyimpangan juga terjadi dalam aspek yuridis, di mana ada beberapa pasal UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas sudah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas isi, proses, komptetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Sementara UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.

Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses.

Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.

Dan masih banyak pelanggaran lainnya yang terjadi terkait pelaksanaan UN. Akibatnya, setiap tahun pelaksanaan UN, setiap tahun pula muncul penolakan dan demo dari para siswa. Sepertinya, perdebatan tentang UN tak pernah berakhir. fik/dbs


NB: sudah dimuat di rubrik fokus Harian Aceh, Kamis 24 April 2008

Post a Comment

Previous Post Next Post