Publoe Nanggroe

“Nyak, ka croih laju ungkot masen beh, Mak han ek budoh le dari teumpat eh,” (Nak, kamu goreng saja ikan asin ya, Ibu tidak sanggup bangun dari tempat tidur) pinta Ibu Minah dengan suara terbatuk-batuk di kamar depan. “Jeut mak, tapi minyuek kabeh dari baroe supot,” (Iya Ibu, tapi minyak goreng sudah habis dari kemarin sore) jawab sang anak yang sedang membaca buku.

“Pue ayah droekeuh hana geubloe minyuek baroe supot?” (Apa bapak kamu tidak beli minyak goreng kemarin sore? tanya sang ibu lagi. “Geupeugah hana belanja. Mak. Keu rukok mantong hana ngon geubloe,” (Bapak bilang tidak ada duit. Katanya untuk beli rokok saja tidak ada duit) jawab putrinya.
“Munyoe meunan, ka panggang mantong eungkot masen nyan,” (Kalau begitu, kamu bakar saja ikan asin itu) pinta sang ibu, karena harapannya untuk menikmati ikan asin goreng sirna sudah. “Jeut mak,” (Baik, Bu) sahut sang anak, yang barusan ikut UN ini.

Di tempat lain, ceritanya berbeda. “Dapat berapa proyek tahun anggaran 2007 kemarin?” tanya seorang pengusaha muda pada temannya. “Nggak banyak, cuma dua proyek aja. Anggaran juga sedikit, jembatan yang satu di kampung A, dapat untung Rp2,5 miliar. Jembatan satu lagi, belum selesai semuanya, tapi dah dapat laba Rp1,2 miliar,” jawab sang teman. “Kamu sendiri gimana?” tanyanya.

“Aku belum dapat apa-apa sejak pemerintahan Irwandi-Nazar berkuasa. Cuma kemarin ada proyek rehab irigasi di Kecamatan S, itu pun nggak untung, cuma dapat Rp700 juta,” jawab sang pengusaha muda tak kalah semangatnya. “Kemarin ada rehab Mesjid proyek dari RRB, tapi itu juga sama nggak untung, cuma dapat Rp75 juta. Panitia Mesjidnya agak pintar, jadi tak bisa dikibulin,” sambungnya lagi.

Di sebuah kantor partai politik lain lagi. “Tema kampanye apa kita jual lagi di pemilu mendatang?” tanya sang ketua membuka rapat. “Kita tawarkan aja program kesejahteraan untuk rakyat miskin. Mereka pasti tertarik,” timpal salah satu pengurus.

“Kalau menurut saya, kita janjikan aja program kereta api bawah tanah, dari barat ke timur, dari utara ke selatan,” sahut seorang ketua yang rambutnya sudah uban. “Kita tak perlu idealis. Begitu kita menang, kebijakan bisa kita ubah lagi. Kita bisa jual hasil alam di hutan Aceh ke perusahaan asing. Banyak yang bisa dijual, kok! Kalau perlu kita jual aja pulau Aceh dan Sabang, investor asing pasti senang,” sambungnya lagi. Peserta rapat diam.

Begitulah potret Aceh sekarang. Di tengah terjepitnya nasib rakyat, masih ada orang-orang berpikiran busuk menjual Aceh, sejengkal demi sejengkal. Entahlah!
(HA 190508)

Post a Comment

Previous Post Next Post