Pemerintah

Kemarin saya melihat sebuah foto di sebuah media. Di foto tersebut terlihat beberapa personil polisi yang berjaga-jaga di sekitar Istana Negara, Jakarta merapikan kawat berduri yang dipasang di sekitar jalan masuk Istana. Kawat berduri tersebut selalu menjadi sasaran kemarahan para pendemo, karena menghalangi mereka masuk dalam Istana.


Foto tersebut, setidaknya, memberikan gambaran, betapa takutnya pemerintah terhadap aspirasi yang dibawa rakyat, yang bertamu ke Istana. Para polisi yang berjaga-jaga juga melihat dengan tatapan penuh kemarahan, seolah-olah para pendemo adalah anjing yang mengganggu stabilitas dan keamanan Istana. Berkali-kali, sumpah serapah dikeluarkan: “Setiap hari demo, membuat kita harus selalu berjaga-jaga. Sepertinya kita tidak ada pekerjaan lain, hanya mengurusi orang-orang yang selalu mencaci dan mencerca.” Begitu kira-kira kata-kata yang selalu keluar dari mulut mereka.

Padahal, andai saja pemerintah punya nurani, tipis kemungkinan masyarakat atau rakyat mendatangi langsung Istana. Kedatangan rakyat ke Istana, membuktikan bahwa pemerintah selalu absen terhadap urusan-urusan masyarakat. Artinya, pemerintah tidak pernah memperhatikan nasib rakyat, dan selalu mengeluarkan kebijakan tanpa berkonsultasi dengan rakyat, apakah suatu kebijakan patut dikeluarkan atau tidak.

Nah, ketika suatu kebijakan tidak dikonsultasikan dengan rakyat, jangan heran kalau kebijakan tersebut selalu ditolak. Dan penolakan rakyat ini jangan dipahami bahwa rakyat tidak menyukai pemerintah. Rakyat hanya saja ingin mengingatkan pemerintah, bahwa tanpa rakyat, tidak ada pemerintah. Tanpa rakyat, tak ada Negara.

Jadi, jika kondisinya demikian, kenapa pemerintah takut menemui rakyatnya sampai Istana pun dipasang pagar berduri? Padahal, rakyat yang datang ke Istana sama sekali bukan pengemis, hanya saja mereka ingin agar segala sesuatu dimusyawarahkan, apalagi terkait dengan urusan rakyat.

Saya jadi ingat masa kecil, saat main pet-pet (petak umpet) atau perang-perangan, begitu mendengar pemerintah (Camat atau Bupati) datang ke kampung, kami anak-anak berlari pulang ke rumah masing-masing. Menurut orang tua kami saat itu, pemerintah digambarkan sangat jahat dan suka membunuh. Kami sebagai anak-anak tentu saja terpengaruh dengan pikiran tersebut. Apalagi, saat itu, kondisi kampung kami sedang masa konflik, kehadiran pemerintah sebagai suatu bencana.

Sementara kondisi sekarang, berbeda. Pemerintah (Bupati) yang takut menemui rakyatnya. Padahal, mereka dipilih oleh rakyat, dan saat kampanye sering berada di kampung berbicara dengan rakyat. Namun, begitu duduk di jabatan Bupati atau yang lebih tinggi, mereka enggan bertemu rakyatnya. Memang, dunia berputar, jika dulu rakyat yang takut menemui Pejabat pemerintah (Bupati, Gubernur, dan Presiden), sekarang merekalah yang takut kepada rakyatnya. (HA 110608)

Post a Comment

Previous Post Next Post