Petani

Hari Sabtu (28/6) kemarin, saya duduk di warung kopi Jasa Ayah di Solong. Ternyata di sana sedang ada diskusi yang dibuat Trade Union Care Center Foundation dan FES Aceh. Temanya menarik, “Menggugat Eksistensi Negara di Era Globalisasi.” Sebelum diskusi dimulai, saya ketemu dengan kawan yang dulu pernah membantu kami ketika dalam masa safety house di Jakarta. Dia tanya, kenapa di Aceh, orang suka berkumpul di warung kopi? Saya kaget juga ditanya dengan pertanyaan demikian, karena di Aceh orang sudah biasa berkumpul di warung kopi.

“Di Aceh, banyak ide-ide besar dan brilian lahir di warung kopi,” jawab saya seenaknya saja. Dia hanya menggangguk saja. “Di warung kopi, berkumpul berbagai macam latar belakang orang, ada pejabat, politisi, GAM, pengusaha, dan aktivis mahasiswa,” sambung saya lagi. Warung kopi, sudah menjadi semacam tempat buat bertukar pendapat dan pikiran.

Beberapa kontraktor dan pengusaha menyelesaikan masalah di antara mereka di warung kopi. Ada juga beberapa wartawan menulis berita tentang suatu isu dimulai dari warung kopi. Skandal beberapa pejabat, lebih cepat beredar dan terbongkar dari warung kopi ketimbang dari tempat lain. Makanya, warung kopi sekarang tak lagi dianggap sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang tak punya kerjaan, melainkan tempat melancarkan pemberontakan, tempat berbagai ide dipertandingkan.

Beberapa kasus korupsi pejabat juga terbongkar dari sebuah obrolan ringan di warung kopi, lalu kemudian menjadi bola salju ketika diback-up oleh media. Di warung kopi, diskusi tak pernah dibatasi, karena sudah mirip dengan dunia maya. Orang yang duduk di warung kopi, modalnya jika tidak pandai ngomong, ya…telinga harus selalu dibuka. Karena, informasi bisa datang bertubi-tubi, tanpa mampu kita saring, mana yang penting dan mana yang tidak. Tak heran, jika banyak orang lebih memilih meng-update informasi dari warung kopi, ketimbang membaca Koran. “Membaca Koran membutakan,” ucap beberapa orang yang sudah alergi sama berita koran.

Kawan saya semakin yakin, karena beberapa tokoh partai ternyata duduk minum kopi di warung ini, seperti Thamren Ananda, Taufik Abda, Ridwan H Mukhtar, dll. Bagi sebagian orang, warung kopi seperti rumah, tempat untuk melepaskan penat dan beban kerja yang menumpuk. Di sini orang bisa rileks, dengan saling tukar pendapat sesama kawan atau orang yang baru dikenalnya.

Tapi, yang membuat saya menarik, bukan itu, melainkan sebuah pernyataan yang dilontarkan seorang panelis diskusi tersebut. “Petani tidak butuh Negara, sementara Negara butuh para petani,” ujar Andito dari GMII. Pernyataannya sangat provokatif.

Menurutnya, para petani yang menggarap sawah sama sekali tidak pernah memikirkan Negara. Mereka sudah puas hidup sebagai petani. Keberadaan Negara juga sama sekali tidak banyak memberi manfaat untuk mereka. Bagi mereka, tanpa Negara juga mereka masih bisa bertani.Tetapi, tanpa padi dan beras hasil produksi petani, bisakah Negara bisa hidup?

Saya hanya mengangguk-angguk saja. Pernyataan itu memang benar. Karena sebagian besar masyarakat petani menganggap Negara tidak pernah hadir dalam kehidupan mereka. Mereka merasa seperti tidak memiliki Negara. Negara hanya butuh mereka ketika datang masa Pemilu. Saat itu, semua orang ingin dekat dengan para petani. Tidak dekat dengan petani, berarti keinginan berkuasa laksana jauh panggang daripada api.

Makanya, sang panelis tadi heran, ketika ada rakyat (sebagian besar petani) senang dekat dengan Negara. Dia mencontohkan, ada rakyat yang senang memakai baju TNI/Polri dan jadi PNS. Ada juga orang yang memotong rambut cepak, biar keliatan mirip aparat, sehingga membuat orang takut. Kondisi ini sering kita temui saat kondisi Aceh sedang panas-panasnya. Dekat dengan aparat, di satu sisi jadi kebanggaan, tetapi banyak juga yang jadi sumber malapetaka. Karena tak semua orang Aceh saat itu suka sama aparat, lebih-lebih bagi tentara GAM. (HA 300608)

Post a Comment

Previous Post Next Post