Berak

Saya tak begitu heran, kalau mahasiswa memprotes kenaikan BBM, karena itu menyangkut hajat hidup orang banyak. Saya juga menanggapi biasa saja, jika masyarakat memprotes tidak kebagian dana Bantuan Langsung Tunai (BLT), karena itu memang hak yang harus diterima. Lalu, bagaimana kalau ongkos toh ek (berak) dinaikkan?


Mau tak mau, saya harus tersenyum kecil. Pembaca mungkin sudah membaca SMS di HA (21/7). Judulnya aneh, “Berak itu mahal.” Yang lebih aneh, justru protes si pengirim SMS, “kenapa ongkos toh ek yang dulunya Rp1.000 sekarang jadi Rp2.000. Apa karena BBM naik, peng toh ek juga naik?” demikian protesnya kepada pengurus Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Itulah rakyat kecil…lugu, polos dan sering melakukan protes pada hal-hal yang lebih kecil. Sementara orang-orang besar (bukan besar perut), sama sekali tak meributkannya, karena mereka biasanya berak dari satu hotel ke hotel lain. Makan dari satu restoran ke restoran lainnya. Harganya bisa jutaan karena sudah diakumulasikan dalam harga kamar.

Tapi, zaman sekarang mana ada yang gratis. Di kota-kota besar, berak juga tidak gratis. “Toh iek, tok ek dikira.” Yang gratis malah kentut (buang angin). Namun, meski gratis, jangan coba-coba kentut sembarangan, sebab soal urusan satu ini, pendengar atau penikmat kentut (yang tak sengaja mencium baunya) sangat sensitif, apalagi jika bau yang dikeluarkan lebih menyengat dari bau hewan yang mati membusuk. Jika saat kentut, posisi pantat tepat di wajah orang, jangan harap dapat terima kasih, karena sudah pasti bakal keunong tapak.

Lalu, bisakah kita mengatakan bahwa protes pembaca HA atas kenaikan ongkos berak merupakan cerminan penolakan terhadap praktik bisnis berak yang dipraktekkan pengurus Masjid? “Memang zaman sudah akhir, tempat ibadat pun jadi lahan bisnis,” tudingnya yang mengaku seorang dhuafa dari Lambhuk.

Saya sendiri tidak sepakat juga, jika masalah berak di Masjid dipersoalkan dan lalu dibesar-besarkan (bukan berarti saya setuju berak di Masjid). Saya jadi bertanya, sejak kapan Masjid berubah menjadi tempat orang membuang hajat, dan lalu ada pemberlakuan pengutipan ongkos untuk siapa saja yang buang hajat di Masjid?

Biasanya orang ke Masjid kan untuk beribadah, dan sama sekali tak ada niat untuk berak. Meski zaman sekarang lagi ngetrend berak di Masjid. Menurut saya, niatnya yang harus benar dulu. Lain soal jika sesampai di Masjid, orang jadi pingin berak. Itu beda, karena kecelakaan, bukan sejak berangkat dari rumah sudah ingin bisa buang hajat di Masjid. Meski pengguna jalan raya sering memanfaatkan Masjid sebagai tempat paling aman dan nyaman untuk buang hajat.

Jadinya, seperti sudah pernah saya tulis di kolom ini, bahwa banyak orang sekarang ke masjid sekedar mau berak. “Hai, ho kameujak?” tanya seorang kawan pada kawannya. “Lon jak u masjid dilee siat,” jawabnya sang kawan enteng. Si kawan yang bertanya tadi aneh saja mendengarnya, soalnya, selama dia kenal sama si sang kawan, tak pernah sekalipun ke Masjid. “Peu buet u Masjid?” tanyanya karena heran. “Lon jak toh ek dilee,” jawab sang kawan. Orang yang mendengar pasti timbul pikiran macam-macam, apa Masjid sudah jadi tempat berak? Sejak kapan bisnis tinja berlaku di Masjid?

Trus, yang jadi masalah sekarang apa? Ya…tidak ada masalah memang.Tetapi, jika hanya karena harga berak naik, lalu ada orang protes berarti sudah melegalisasi masjid sebagai tempat berak. Itu perlu hati-hati, sebab sekarang lagi zaman demo. Coba, jika para jamaah yang tak setuju ongkos berak di Masjid naik jadi Rp2.000 dan melakukan demo. Kan berabe namanya. Wartawan yang meliput juga aneh, kok masalah buang hajat jadi masalah besar. Apa kata dunia? Belum lagi, jika sampai petugas Masjid protes kenapa orang buang hajat tidak menyiram dengan bersih. Jawaban para pembuang hajat pasti begini: adak kutoh, na kubayue…! (HA 220708)

Post a Comment

Previous Post Next Post