BRR

Kantor yang beralamat di Jl Mohd Thaher No 20 Lueng Bata kembali bikin berita. Tak ada angin, tak ada hujan, BRR mendukung kongres PWI XXII yang kebetulan berlangsung di Aceh. Dukungan itu, bisa saja tak hanya berbentuk ‘pemberian dana’ yang bisa jadi menembus angka miliaran rupiah, melainkan juga dalam paket yang dikemas Tsunami Tour ala BRR. Cibiran pun mengalir, bahwa langkah tersebut merupakan upaya menutupi kebobrokan kinerja BRR dengan memperlihatkan yang bagus-bagus. Harian ini langsung menulis tajam: som gasien peulumah kaya.

Tak hanya itu, mantan punggawa BRR juga ngamuk dan berantam sesama. Karena dikirim ke semua email, jadinya kita orang di luar rumah aib (istilah ini saya kutip dari kawan saya) jadi tahu bahwa sesama pekerja BRR sudah saling meudawa-meudawi gara-gara sebuah rilis. Malah, email Harian Aceh dalam dua hari ini penuh dengan perkara dakwa-dakwi tersebut. Perkaranya sepele saja, soal dukungan BRR kepada kongres PWI.

Nah, rilis BRR yang berisi dukungan tersebut diprotes secara halus oleh Yuswardi, yang setahu saya juga bekerja di bagian komunikasi BRR (sekarang saya tidak tahu apakah masih bekerja atau tidak). “Mau nanya nih, berapa uang korban tsunami yang digelontorkan untuk acara dukung-mendukung ini? Apa perlu kami bikin rilis wartawan dukung BRR, biar impas,” ujar Yuswardi memulai protesnya, sambil tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Fakrurradzie, orang yang dipercayakan mengolah rilis BRR.

Saya tidak mau berprasangka, tetapi jika pertanyaan Yuswardi benar, dan ada dana jatah korban tsunami ‘disisihkan’ untuk menyukseskan kongres PWI, berarti BRR sudah keterlaluan. Kita tahu, BRR hanya mau tampilan luarnya saja bagus, sementara korban tsunami bah meu-apak. Kongres PWI bisa jadi moment untuk membersihkan citra BRR yang jatuh di mata para korban tsunami. Dengan mendukung kongres-nya—biasanya diikuti dengan dukungan dana—BRR berharap para wartawan yang tergabung dalam PWI akan menulis yang baik-baik saja tentang kinerja BRR. “Tulislah yang baik-baik saja, karena kami akan membayar anda,” begitu kira-kiran slogannya.

Lain soal jika menyangkut perkara korban tsunami. BRR yang punya visi mewujudkan masyarakat Aceh dan Nias yang amanah, bermartabat, sejahtera dan demokrasi, tak begitu peduli, termasuk permintaan seorang Gubernur dan Ketua DPRA yang meminta agar BRR membayar jatah dana rehab rumah seperti yang dijanjikan. Sikap BRR seperti bunyi pepatah: anjing menggonggong kapilah tetap berlalu. Jatah biaya rehab rumah korban tsunami dari Rp25 juta menipis dan meletus “nol”-nya sehingga menjadi Rp2,5 juta saja.

Karena perkara begitulah, seorang pekerja BRR akhirnya protes kepada rekannya yang dulunya satu korps. Lalu, tak mau kalah, Radzie yang diberi tugas membuat rilis-rilis BRR juga merasa tak nyaman dengan protes Yuswardi, dan lalu membalas yang tak kalah kerasnya: “Alah hai…Ikah Yus, lagee hana pernah ka kerja di BRR…” balas Radzie. Ketika para murid ini bertengkar, ‘guru’ yang sedang bertapa terpaksa turun tangan dan menghentikan pertengkaran sesama muridnya. “Radzie dan Yuswardi... bek ka meukap sabe keudroe-droe gara-gara rilis nyoe saboh,” minta Nurdin Hasan, yang setahu saya juga bekerja di BRR dan lebih senior (dari segi umur) dengan kedua orang yang sedang bertengkar ini. “Omen, Abu Nurdin ka geubela korps. Peu na sihat...?” timpal Yuswardi tak mau kalah. Mudah-mudahan dengan tulisan ini, inbox email Harian Aceh tak lagi penuh dengan dakwa-dakwi tersebut. Karena, mereka yang meudawa ini pasti sedang minum kopi di Solong dan saling tertawa. Sangat keras. (HA 290708)



Post a Comment

Previous Post Next Post