Hom Hai

Hari-hari ini, yang paling sibuk bukan rakyat, melainkan politisi. Banyak yang harap-harap cemas, apakah partainya lolos verifikasi atau tidak. Malah, tak sedikit yang jantungan, ketika partainya tidak memenuhi syarat, dan dinyatakan tidak layak mengikuti Pemilu 2009. Sementara rakyat, biasa-biasa saja, dan sibuk dengan urusan masing-masing.


“Jinoe baro peurele keu geutanyoe, barosa kon diblie teuh,” ujar Apa Suman di sebuah Gampong di Pidie. ”Pane ek tapike politek, peng BLT mantong sampe inohat hana troh-troh lom,” timpal Syik Uma. Menurut mereka, energi untuk ikut memeriahkan politik melemah. Ada yang bilang tak bermanfaat, hanya “peu-lumak (maaf) boh gob.”
Lalu, mereka pun mengeluarkan sumpah serapah. “Ka lheuh takalon, mandum diseumike keu pruet droe, pruet gob bah soh.” Umpat Apa Suman yang kebetulan sedang duduk di bale jaga. Apa Suman mencontohkan, beberapa waktu lalu pemerintah pernah memberi angen syuruga, bahwa pengobatan untuk orang miskin gratis, tetapi, dirinya harus membayar harga obat yang jumlahnya ratusan.
“Tapi kita harus memberi kesempatan sekali pada Pemilu 2009 ini,” pancing saya. Apa Suman dan Syik Uma saling berpandangan. “Partai!” jawab mereka serentak. “Han ek le meu partai, karena le pancuri dum bak partai,” kata Apa Suman menjawab duluan. Saya hanya mengangguk pelan, antara yakin dan tidak apa yang disampaikan orang tua ini, yang bagi saya pasti sudah sering ditipu oleh para politisi.
Menurut mereka, kehadiran Partai Lokal tidak memberikan banyak manfaat. Belum pemilu saja, sudah bertengkar sesama. Padahal, kehadiran Partai Lokal untuk membuat masyarakat sejahtera dan bermartabat. Tetapi, kata mereka, kehadiran partai seperti ajang untuk “peu hayue-hayue droe.”
Lalu, keduanya menunjuk ke rumah salah seorang petinggi Partai, di mana di halaman rumahnya dua mobil mewah berdiri berjejer. “Nyan misue dilewat bale jaga, hantom dibri saleum, moto dibalab teuga-teuga,” beber mereka.
Padahal, kata mereka, jika Partai ingin memenangkan Pemilu, masyarakat harus dirangkul. Jika rakyat tidak memilih, bagaimana mungkin partai bisa memenangkan pemilu. Suara pengurus dan anggota partai sama sekali tidak cukup. Suara rakyat yang lebih menentukan. Makanya, keduanya berharap, agar saat meminta KTP masyarakat harus sopan, tidak boleh main bentak dan ancam. Rakyat tidak boleh disakiti.
Saya kemudian teringat nasehat Mao Tse Tung, tokoh pergerakan China. “Rakyat mirip dengar air,” demikian Mao Tse Tung memberi nasehat untuk pasukannya. “Kita harus berenang di dalamnya seperti ikan. Pertama kali kita harus belajar dari massa dan kemudian mengajari mereka.”
Jika nasehat Mao dipraktekkan oleh para pengurus Partai, saya percaya, masyarakat pasti akan antusias ikut pemilu. Tetapi, jika praktik arogan masih menjadi baju para pengurus partai, maka sudah saatnya Partai jak lam pague. Makanya, kita berharap, masyarakat sebagai ureung Nanggroe harus dilibatkan dalam urusan pugot nanggroe. Bek watee duek mantong tingat keu rakyat, sementara ketika senang rakyat kembali dilupakan.
Jangan sampai kita mendengar rakyat bernyanyi dengan irama yang berbeda: ”Udep beusare mate beusajan, watee na bagian hana bagi-bagi,” yang dipelesetkan dari pepatah endatu, ”udep beusare mate beusajan, sikrak gaphan saboh keureunda.” Hom hai...! (HA 010708)

Post a Comment

Previous Post Next Post