Kursi

“Katuleh tentang kursi sigo hai,” ujar seorang kawan, ketika saya kehilangan judul untuk menulis pojok. Ya…saya sering tidak memiliki judul untuk menulis pojok, terutama saat-saat genting, ketika deadline tinggal sebentar lagi. Jika sudah begitu, saya harus putar-putar di kantor antara tempat redaktur dengan layouter. Sering juga harus turun ke bawah melihat mobil yang melintas di jalan, agar muncul judul. Tidak punya judul atau kehilangan judul yang lupa dicatat cukup menyakitkan.


Lalu, saya pikir-pikir, menarik juga menulis tentang kursi. Apalagi, sekarang kan lagi musim kampanye (tertutup). Di mana kebaikan sebuah partai politik, politisi atau pengurus sebuah parpol, bukan kebaikan yang berangkat dari hati yang bersih: tidak ikhlas. Sebab, saat menjelang pemilu atau pada masa-masa kampanye (tertutup) seperti ini, sangat sulit menemui orang yang benar-benar ikhlas. Semua pemberian selalu mengharapkan sebuah kompensasi berupa suara. Semakin besar suara yang bisa dikumpulkan, semakin mudah meraih sebuah kursi.

Zaman sekarang, jadi anggota dewan (saya ragu menyebutnya wakil rakyat) punya kebanggaan tersendiri. Status sosial langsung berubah, karena sudah jadi pembawa aspirasi rakyat. Begitu jadi anggota dewan, rakyat bisa dijual, dipolitisir, dikibulin, diberi harapan, dan dimanfaatkan, yang penting menguntungkan. Aspirasi rakyat yang mendukung kekuasaannya, akan diperjuangkan. Tetapi, tak sedikit juga yang tak dipakoe, karena mengancam kursinya.

Kursi, bagaimanapun akan dipertahankan. Tak hanya empuk dan nikmat diduduki, melainkan juga memuluskan semua keinginan dan harapan, termasuk mengatur soal distribusi dana untuk pembangunan daerah: masalah wuek tumpok antara eksekutif dan legislatif (dengar-dengar banyak anggota dewan jadi calo proyek). Tugas lainnya ya mengontrol jalannya pemerintahan. Sedikit saja salah eksekutif pasti dikritik, apalagi kepala-kepala dinas. Jadi, kritik urusan dewan, meski tak jarang juga kritik itu karena perkara wuek tumpok dan sharing anggaran yang tidak lancar, seperti tidak lancarnya air PDAM selama ini.

Tawaran nikmat seperti itu yang membuat orang berlomba-lomba mendaftarkan diri sebagai caleg (calon legislatif). Kursi, akhirnya jadi rebutan. Untuk mendapatkan kursi, semua cara akan dilakukan, termasuk yang tidak halal sekalipun. Jangan tanya soal berbohong, karena untuk menjadi anggota dewan juga harus pandai berbohong. Sebab, jika lurus-lurus saja (teupat that), tak usah jadi anggota dewan, karena bakal dipeunguet oleh anggota dewan lainnya.

Tapi, yang namanya kursi tetap menarik. Apalagi, jumlah kursi untuk jadi anggota DPRA Aceh pada Pemilu 2009 ini diperkirakan berjumlah 69 kursi. Jumlah tersebut akan diperebutkan oleh 40 partai peserta pemilu di Aceh (lokal dan nasional). Agar mendapatkan kursi yang banyak, mereka pasti akan menjual isu-isu yang membuat rakyat teu-taho-taho gante, saling perang spanduk dengan bahasa-bahasa cet langet. Bila perlu dengan menjagal kawan seperjuangan. Kursi tetap nomor satu, sementara pertemanan urusan belakangan. Yang penting mendapatkan kursi dulu, perkara teman belakangan. “Nyan perkara putoh mareh, han kubloh lon keunan,” ucap kawan saya yang kebetulan berniat tak mencoblos saat pemilu nanti.

Membayangkan pertarungan saat pemilu nanti, saya jadi ingat saat minum-minum kopi di Solong, Ulee Kareng. Kebetulan ada seorang kawan datang belakangan, dan sudah kehabisan kursi untuk duduk. Sementara kawan-kawannya yang duluan datang sebagian memang pengurus partai, sudah punya tempat duduk. “Gohlom pemilu ka hansep kursi,” ujarnya. Kami yang sedang asyik ngobrol mau tak mau harus tertawa. “Kiban cara dilee, kursi-kursi bak warung kopi pih han meurumpok,” lanjutnya lagi. Homhai. (Ha 250708)


Post a Comment

Previous Post Next Post