Dana

Dulu ada seorang teman ngomong begini, “Orang Aceh itu tidak ada yang berhak menerima yang namanya zakat fitrah”. Karena penasaran, aku mencoba bertanya, “Kok bisa! Bukankah orang Aceh itu banyak yang tergolong orang miskin, kurang mampu, dan malah banyak yang fakir?” tanyaku. Lalu, dengan gaya bicaranya bak orator, dia bilang singkat saja, “Tanah Aceh itu kaya. Hasil alam melimpah, dan sekarang memiliki APBA yang sangat besar dan lebih dari cukup untuk membantu memulihkan perekonomian Aceh. Jika kekayaan dan dana triliunan rupiah itu dikelola, tak ada orang Aceh yang hidup sebagai keluarga miskin.”


Nyatanya, ketika dana dalam jumlah besar mengalir ke Aceh, orang di Aceh jadi mabuk, dan tak tahu membuat terobosan apa-apa kecuali sekedar cuap-cuap di media. Berapa jumlah dana yang dititipkan melalui BRR? Tetapi, sudahkah membuat Aceh berubah, dan menjadi macan Nusantara? Kemudian, berapa dana yang diplotkan ke Aceh melalui APBA dan APBN? Apa yang terjadi? Dana tersebut tak seluruhnya mampu dikelola, dan akhirnya harus kembali lagi ke kas Negara, atau hangus sendirinya. Masih ingat anggaran tahun 2007 lalu, sekitar dua triliun lebih dana harus kembali ke Pusat.

Lalu, bagaimana dengan sekarang? Apakah Aceh masih kekurangan dana? Ternyata juga tidak. Malah, Aceh surplus dana. Selain dana melalui BRR, APBA Aceh 2008 ternyata sangat besar, untuk ukuran kita orang kampung, sekitar Rp8,5 triliun. Dengan dana sejumlah itu, hampir tidak ada yang tidak mungkin dibangun di Aceh. Tetapi sayangnya, seperti dilansir sebuah Koran terbitan Aceh, sekitar Rp7,6 triliun APBA 2008 belum terpakai. Sejak disahkan pada Mei lalu, baru 10 persen atau sekitar Rp850 miliar dana yang terserap. Pertanyaan kita, tidakkah orang Aceh bodoh? Masak dana yang sudah ada, tetapi tidak tahu cara menghabiskannya.

Padahal dulu, orang Aceh ribut-ribut ketika distribusi dana ke Aceh kecil, sampai memberontak segala. Tetapi, ketika giliran dana melimpah-ruah, sudah tidak tahu mau diapain dana tersebut. Kita tahu, hal itu terjadi karena pengesahan APBA ‘sedikit’ terlambat, tetapi itu juga mencerminkan lemahnya koordinasi dan sumberdaya manusia di Aceh, sehingga memperlambat proses penetapan program-progam pembangunan yang dituangkan dalam APBA. Namun, itulah hasil fit and propertest para kepala dinas yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh. Artinya para SKPA atau pengguna anggaran belum mampu menunjukkan kapasitasnya yang lulus melalui fit and propertest, karena di beberapa dinas masih ada tender proyek yang belum diumumkan, termasuk siapa yang sudah memenangkan tender.

Kita jadi pesimis dana yang tersisa sekitar Rp7,6 triliun mampu dihabiskan, sebab masa implementasi proyek hanya tinggal beberapa bulan lagi. Dengan waktu yang tersisa tidak mungkin semua proyek terkejar. Otomatis, ke depan bakal banyak proyek luncuran. Lalu, siapakah yang rugi? Bukan SKPA, bukan kontraktor atau bukan pula para pembesar, melainkan orang kampung yang masih menganggap uang Rp5000 masih terlalu berharga ketimbang dana triliunan rupiah.

Jika sampai tahun anggaran 2008 berakhir dan dana sejumlah Rp7,6 triliun belum dihabiskan, secara otomatis dana tersebut harus dikembalikan lagi ke kas Negara. Orang Aceh yang sebenarnya sudah menatap masa depan yang cerah harus gigit jari. Sebab, uang banyak beredar di Aceh, tetapi hanya aromanya saja yang dapat dihirup oleh orang Aceh. Atau orang Aceh hanya mendengar saja bahwa ada triliunan rupiah dana yang diplotkan untuk Aceh, tetapi dana tersebut seperti tak nyata, karena tak memberi manfaat. Kita hanya bisa berucap, sinis, bahwa orang Aceh sebenarnya tidak layak menjadi miskin, tetapi karena para pengelola anggaran tidak becus, Aceh jadi bersimbah kemiskinan. Jatuh miskin. (HA 210808)

Post a Comment

Previous Post Next Post