MoU

Karena hari ini, Jumat (15/8) merupakan peringatan tiga tahun perdamaian Aceh, atau 3 tahun MoU Helsinki ditandatangani, saya mencoba menulis seandainya. Sebab, orang sekarang lebih suka bicara seandainya atau andai saja. Orang suka berandai-andai, termasuk yang mustahil sekalipun. Padahal, mengubah sesuatu tak pernah cukup hanya karena sekedar berandai-andai. Mengubah sesuatu butuh kerja konkret. Pun, begitu saya ingin bicara seandainya. Itu saja.



Seandainya MoU Helsinki tidak ditandatangani, apakah perdamaian di Aceh akan terjadi? Sebab, seperti kita tahu, perdamaian sulit didapatkan di Aceh. Damai sesuatu yang meu-sukee (sulit didapat) di Aceh. Sepanjang perjalanannya, Aceh selalu dirundung duka dalam bentuk perang. Orang Aceh terus menerus berperang, dengan lawan berbeda. Akibatnya, orang Aceh tak pernah benar-benar menikmati hidup aman dan damai. Makanya, wajar ketika orang Aceh dapat gelar sebagai bangsa yang gemar berperang.

Seandainya MoU Helsinki tidak ditandatangani, apakah akan ada yang namanya Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU PA)? Kita bisa langsung menjawab tidak. Sebab, UU PA adalah amanat MoU Helsinki, meskipun, suara-suara serak mulai muncul belakangan, bahwa banyak point-point dalam UU PA tidak mengadopsi isi MoU. Seperti dilansir Harian ini sebelumnya, ada sekitar 15 amanah MoU yang tidak diadopsi dalam UU PA.
Seandainya dulu GAM secara institusi menolak UU PA karena tidak sesuai MoU Helsinki, apakah kehidupan politik di Aceh akan separah seperti sekarang? Seperti kita tahu, baru satu PP yang dikeluarkan pemerintah sebagai turunan dari UU PA, yaitu PP Partai Lokal. Bukankah UU PA yang ada sekarang belum dapat disebut cukup maksimal sebagai payung bagi jalannya pemerintahan sendiri di Aceh? Soalnya, di sana-sini masih banyak bentuk intervensi pemerintah pusat, seperti tercermin dalam kata-kata …akan ditetapkan dengan peraturan yang lain, atau kata-kata sesuai norma, standar dan prosedur. Artinya, Jakarta tetap masih memegang gagang pisau, sementara orang Aceh dikasih ujungnya.

Seandainya saat UU PA disahkan oleh DPR RI ditolak secara tegas oleh masyarakat Aceh, khususnya GAM, sudah pasti banyak hal yang bisa berubah. Sebab, dulunya, interupsi dari GAM pasti akan didengar. Apalagi, UU PA merupakan pertaruhan bagi perdamaian Aceh. Nyatanya GAM menerima UU PA, tanpa protes, kecuali pernyataan pribadi. Jika saat itu GAM menolak UU PA, bakal banyak suara sumbang dari Senayan yang menggugat hasil MoU. Bisa-bisa perdamaian Aceh akan terancam.

Lalu, bagaimana soal Partai Lokal? Bukankah kelahiran Partai Lokal merupakan kemurahan hati para petinggi GAM saat menandatangani MoU Helsinki? Dalam MoU sudah disebutkan bahwa “…memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi Dewan Perwakilan Rakyat…” (baca point 1.2 Partisipasi Politik, butir 1.2.1 MoU Helsinki). Hasil yang dicapai ini, dapat disebut sebagai kemurahan hati GAM memberikan peluang bagi orang Aceh mendirikan partai politik. GAM seperti hendak menyampaikan, bahwa perjuangan GAM bukan hanya untuk orang GAM saja, tetapi hasil perjuangan GAM dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Aceh.

Tetapi, pernyataan Juru Bicara Partai Aceh, Adnan Beuransah seperti dilansir Harian ini kemarin, yang meminta semua partai lokal meleburkan diri menjadi satu dalam Partai Aceh, seperti ‘pengkhianatan’ GAM terhadap niat suci saat MoU ditandatangani. Oke, jika disampaikan bahwa dengan satu partai akan lebih mudah mengalahkan partai nasional. Tetapi saya ingin bertanya satu hal saja, apakah Partai Aceh diterima oleh seluruh orang Aceh? (HA 150808)


Post a Comment

Previous Post Next Post