Surat Malaikat

Kali ini, saya ingin menceritakan sebuah kisah. Kisah ini, tidak terjadi di sini di tempat kita, tetapi di negeri antah-barantah. Sebenarnya tidak ada yang menarik dari kisah yang akan saya ceritakan ini, tetapi karena ada pesan-pesan kejujuran, kisah ini layak untuk diketahui. Menulis kisah kejujuran, bukan berarti kita di sini sudah tidak mampu bersikap jujur lagi. Tetapi, orang jujur sangat meuseukee kita temui di Aceh. Di sini yang banyak adalah orang-orang yang hanya pandai bicara ‘akan’, ‘mungkin’, ‘memang’, dan kata-kata berandai-andai lainnya. Di sini lebih banyak orang yang berbicara dengan bahasa-bahasa kamuflase, untuk menyembunyikan sesuatu yang sebenarnya.

Konon, di sebuah negeri antah berantah, hiduplah seorang wakil rakyat yang rakus dan tamak melebihi para wakil rakyat lainnya. Namanya sebut saja Bapak Teukok. Tahun pertama jadi wakil rakyat, sudah mampu membeli mobil mewah bermerek. Tidak sampai tiga bulan menikmati empuknya kursi dewan, Bapak Teukok mampu membangun rumah, dua unit sekaligus. Rumah pertama di kota antah berantah, dan rumah kedua di luar negeri. Menurut cerita Teukok kepada temannya, rumah pertama untuk tempat tinggal dirinya bersama isteri dan dua orang anaknya, sementara rumah di luar negeri untuk tempat singgahnya jika berkesempatan ke luar negeri. Tapi lebih sering rumah tersebut ditinggali selingkuhannya. Iya, rumor dia punya selingkuhan memang santer terdengar belakangan ini.

Jangan tanya soal keliling dunia, soalnya, dalam setahun Bapak Teukok berkeliling ke luar negeri tiga kali. Selain dalam rangka dinas atau study banding, juga untuk mengunjungi selingkuhannya, pokoknya terkait bisnis ‘tali air’. Kepada kawan-kawan dekatnya, Bapak Teukok bilang, bahwa dalam melakukan sesuatu harus selalu ganjil, sebab, katanya, dalam agama disukai hal-hal ganjil. Tapi, suatu ketika, si kawan sempat protes, “Anda tidak konsisten! Sebab, Anda baru memiliki dua orang isteri.”

Tanpa ingin kalah berdebat, karena soal mbong (sombong), Bapak Teukok tak ada duanya. “Eh…dengar ya, isteri saya yang sah memang dua sekarang, tetapi, ada seorang lagi selingkuhan saya yang belum saya nikahi,” jawabnya enteng. Boleh dibilang, Teukok memang tukang kawin. Bisa jadi ini penyakit turunan. Menurut cerita yang beredar, kakek Teukok dulunya juga beristri banyak.

Para wakil rakyat yang kebanyakan teman-teman dekatnya, mengangguk-angguk saja mendengar penjelasan Bapak Teukok, dan tak rencana membantahnya. Tetapi, gaya hidup yang royal, membuat teman-temannya iri. Maklum, soal kerakusan dan ketamakan, teman-temannya masih di bawah standar. Belum berani korupsi dalam jumlah besar, masih bermain di level anggaran yang kecil-kecil saja, seperti bantuan untuk Meunasah, Masjid dan untuk Dayah (Pesantren), atau bantuan untuk desa.

Sementara Bapak Teukok, jam terbangnya dalam hal korupsi sudah bisa digolongkan sudah dalam ketegori kelas kakap, tapi tak terdeteksi. Dan teman-temannya ingin belajar dari Bapak Teukok, bagaimana selalu bisa survive tanpa terdeteksi petugas Antikorupsi.

“Dalam perkara korupsi, yang penting share (pembagian) harus merata,” begitu Teukok berpesan sama teman-temannya. Menurutnya, jika hasil korupsi harus kita share sama orang lain, maka tindakan kita tidak ada yang berani melaporkan, karena sama-sama tahu, dan sama-sama menikmati. Jika kita dituntut, semua pasti kena. “Yang penting, bukti share itu harus berbentuk kwitansi atau bukti lainnya,” lanjutnya.

Pada tahun ketiga jadi wakil rakyat, tindak-tanduk Bapak Teukok sudah mulai dipantau. Apalagi, setelah membangun sebuah pusat perbelanjaan (mall) terbesar di kawasan Leumoh Sinyal. Rakyat bertanya-tanya, bagaimana Bapak Teukok bisa membangun mall tersebut, dari mana duit dia dapatkan, gajinya tidak lebih dari Rp7,5 juta per bulan. Pihak lembaga antikorupsi punya bukti bahwa Bapak Teukok selalu membangun deal dengan para kepala pemerintahan, kepala dinas, dan para pengguna anggaran. Soalnya, Bapak Teukok duduk di komisi yang mengurusi bagian anggaran. Setiap ayunan palu Bapak Teukok dihargai minimal Rp2 miliar. Teukok kadang-kadang mematok persentase dari jumlah anggaran yang ada untuk sebuah dinas.

Suatu hari, Bapak Teukok tak bisa mengelak, ketika sebuah Koran memuat berita tentang sejumlah uang yang diterimanya dari sebuah kepala dinas. Petugas Antikorupsi mengembangkan berita Koran, dan sukses menjerat Bapak Teukok dengan sejumlah bukti termasuk selembar cek bernilai miliaran rupiah. Bapak Teukok langsung ditangkap, dan selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan untuk proses hukum.

Dalam persidangan yang dihadiri ratusan rakyat, wartawan dan termasuk teman-temannya di dewan, Bapak Teukok membuat sebuah pengakuan jujur, pengunjung sidang pun takjub, sebab, baru sekali ini ada pejabat berbicara jujur tentang alasannya melakukan korupsi.

“Bapak Hakim dan pendengar sekalian, kesalahan yang saya perbuat bisa jadi tidak dibenarkan dan tidak dapat dimaafkan. Tetapi, saya punya alasan, kenapa saya merampok uang rakyat, dan menikah lebih dari satu isteri, termasuk memiliki selingkuhan. Tetapi, yang perlu bapak hakim tahu, sampai sekarang saya masih tetap sebagai manusia. Saya belum mengambil 'Surat Malaikat'. Kalau Malaikat kan tidak makan-minum, tidak memiliki nafsu, sementara saya manusia, ada makan minum, dan punya nafsu.” Pengunjung dan hakim diam. Ruang rersidangan membisu. (HA 220808)

Post a Comment

Previous Post Next Post