Entahlah

Saya ingin bercerita tentang negeri antah-berantah, sebuah negeri yang dulunya dilanda perang. Dahsyat, lama, dan melelahkan. Meski setiap saat penduduk negeri itu berdoa menolak bala, dan meminta permusuhan diakhiri, namun gejolak tak juga berhenti. Malaikat seperti lupa menyampaikan doa dari penduduk negeri antah-berantah tersebut kepada Tuhan. Tapi, seperti kita yakini bersama, Tuhan tak pernah tidur. Melalui air bah, setinggi pohon kelapa dikirim untuk membenamkan negeri yang tak pernah berhenti bergejolak tersebut. Saat itulah penduduk itu sadar, bahwa Tuhan sudah sangat murka. Sambil berlari menyelamatkan diri dari air yang berwarna sangat hitam, beracun, dan ganas, tak henti-hentinya penduduk negeri antah-berantah mengumandangkan doa, puja-puji pada Tuhan, serta memohon dijauhkan dari bala, barulah air bah itu surut ke laut, diserap oleh pohon dan kembali ke tanah. Selamatlah negeri itu.


Masalahnya, perang tak juga diakhiri. Sebab, di tengah kebimbangan penduduk mencari sanak saudaranya, senjata masih menyalak, orang masih ada yang mati. Masyarakat dari benua lain yang coba membantu, tidak bisa mengirimkan bantuannya, karena negeri antah-berantah telah diisolasi, dan dihapuskan dari ‘peta’ dunia oleh saudaranya yang iri-hati.

Lalu, sebuah konsensus politik ditandatangani, tanda perang harus diakhiri. Bantuan warga dunia kemudian mengalir tak henti-hentinya. Meski sebagian tak jelas alamatnya, apakah sampai kepada korban atau tidak. Tak ada audit resmi. Hanya saja, semua penduduk negeri itu maklum, ada bantuan yang dikorupsi dan diselewengkan. Pun begitu, mereka tak juga memprotes.

Kini, setelah suasana damai dirasakan oleh penduduk negeri, sebagian pecinta perang malah mencoba mengobarkan perang kembali. Menurut mereka, lebih gampang mencari uang saat kondisi lagi perang, ketimbang sekarang. Sekarang, mencari uang susah. Jika tidak punya skil, panjang lidah, dan tak berani memukul serta membunuh, sulit bisa mendapatkan uang. Akibatnya, aksi kriminalitas meningkat, pembunuhan semakin sering terjadi.

Hal itu kemudian berpengaruh terhadap kondisi politik, di mana kekacauan politik semakin sering terjadi. Terakhir, dilaporkan, kantor sebuah partai yang memonopoli suara rakyat dibakar di mana-mana. Padahal dulunya, para pengurus partai tersebut merupakan orang-orang yang diharapkan mampu mengembalikan kedaulatan negeri antah-berantah. Namun, saat damai, mereka malah berubah, dan menjadi tirani mayoritas. Hidup sudah dibuat berkelompok-kelompok. Yang bukan bagian dari mereka, adalah pengkhianat, dengan risiko harus dihapuskan dari negeri antah-berantah.

Tak hanya itu, ketidakpuasan pada suasana damai kemudian dilampiaskan dengan mencoba mengembalikan negeri antah-berantah sebagai wilayah perang. Perdamaian, seolah-olah belum memberi arti untuk mereka. Mereka pun berharap, negerinya kembali dipancing jadi arena perang. Menurut mereka, jika ingin damai, maka harus berperang, seperti punyi pepatah yang menghinggapi Jerman pada perang dunia dulu, si vis pacem para bellum (Jika menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang). Pepatah itu muncul saat masyarakat Jerman begitu antusias dan menggebu-gebu menyambut perang.

Rakyat semakin sering dikorbankan. Petinggi negeri itu, yang sebelumnya orang-orang terasing karena hidup dari satu hutan ke hutan lain, menjadi penguasa baru. Mereka sama sekali tidak mengindahkan amaran, bahwa rakyat perlu diselamatkan. Mereka tak lagi mendengarkan petuah Mao Tse Tung, bahwa, rakyat ikut memainkan peran yang luar biasa dalam sebuah revolusi atau dalam perang gerilya. “Rakyat mirip dengar air,” demikian Mao Tse Tung memberi nasehat untuk pasukannya. “Kita harus berenang di dalamnya seperti ikan. Pertama kali kita harus belajar dari massa dan kemudian mengajari mereka.”

Mereka lupa, bahwa pengorbanan rakyat sudah cukup banyak. Meski saat itu, rakyat hanyalah penonton dari sebuah kekalutan politik, namun merekalah korban potensial. Sebagiannya, malah, tak jelas di mana letak kuburan. Jika ada yang coba bertanya, untuk siapa sebenarnya rakyat berkorban atau dikorbankan, kita tak dapat jawaban pasti. Namun, secara samar-samar bisa kita ketahui bahwa mereka berkorban dan dikorbankan untuk sebuah cita-cita. Meski pada akhirnya, cita-cita hanyalah ilusi belaka.

Jika dulu, ada rakyat di negeri antah-berantah tersebut berdoa, yang meminta agar diberi kekuatan untuk mengalahkan sang garuda (simbol pembawa luka), maka sekarang, mereka sudah lupa dengan doa tersebut. Malah, banyak yang lupa pada doa tersebut. Anehnya, meski secara diam-diam, ada juga yang berdoa, dan meminta diberikan kekuatan agar mereka bisa melihat gerakan kacamata gelap phang-phoe.

Entahlah…saya tidak habis pikir suasana di negeri antah berantah, karena di Gampongku juga terjadi hal seperti itu. Saya hanya mampu bertanya, bagaimana mungkin, perdamaian yang dulu begitu didamba, kini malah dikoyaknya?

Apakah mereka sudah dihinggapi ‘penyakit’ seperti ditulis Erich Fromm saat menggambarkan perlombaan senjata nuklir dulunya, antara blok barat dan blok timur, bahwa manusia hancur karena konsensus kebodohan. “Jika kita akan binasa dalam perang Nuklir, hal itu bukan karena manusia tidak mampu menjadi manusia, atau karena manusia pada dasarnya memang jahat; tetapi karena konsensus kebodohan telah mencegahnya untuk melihat realitas dan bertindak atas dasar kebenaran.” Entahlah! (HA 180908)

Post a Comment

Previous Post Next Post