HT

Dulu, saat duduk di kelas II MTs (Madrasah Tsanawiyah), saya sama sekali tak mengerti ketika orang-orang di Gampong menyebutkan pengikut HT dengan sebutan awak ateuh atau AM. Mereka mewakili kelompok minoritas yang memperjuangkan hak dan martabat orang Aceh. Mereka sangat misterius, tertutup, dan tidak seramai sekarang. Jika sesekali turun ke Gampong, mereka jadi pembicaraan masyarakat, selepas mereka pergi, secepat itu pula cerita menghilang.

Sebab, mengenal awak ateuh mendatangkan duka dan bala. Potret mereka ditempel di mana-mana, di sekolah, di kantor camat, polsek, koramil, dan di pos jaga. Mereka laksana Hero, bagi warga yang simpati pada perjuangannya, sementara bagi kelompok lain, yang berseberangan, mereka adalah racun kehidupan, yang perlu ditumpas sampai tuntas. Di mana-mana spanduk yang mengutuk mereka dipajang, dan jadi bacaan sehari-hari, terutama bagi kami anak-anak sekolah yang selalu ingin mengetahui apa saja.

Saya sendiri tidak pernah tahu, kenapa untuk pengikut HT disebut awak ateuh. Belakangan saya baru tahu, ternyata mereka mendiami Gle yang ada di Aceh. Jumlahnya sedikit, dan jarang turun ke Gampong, kecuali jika ada keperluan. Itu pun secara sembunyi-sembunyi. Keterangan dari orang-orang tua, juga jarang saya dapatkan. Kecuali dari bisik-bisik. Itu pun jika orang yang berbicara tersebut tidak mengetahui jika pembicaraan mereka ada yang mengintip.

Dan di bangku kelas II MTs saya jadi tahu, saat seorang guru sejarah mengupas tentang peristiwa DI/TII, karena memang ada di kurikulum. Perkataan dia yang sempat saya ingat adalah, Daud Beureueh memiliki seorang pengikut dan murid yang cerdas dan berani yaitu HT. Saat itu, kami, tentu saja penasaran, sebab dari keterangan ‘resmi’ dan dari foto-foto yang banyak ditempel di pos jaga Gampong kami, HT merupakan musuh pemerintah. Kami mencoba menanyakan, apakah HT masih hidup? Jika masih, di mana sekarang? Sebab, seperti penjelasan guru saya, jika HT masih hidup, nasib Aceh tidak seperti ini.

Sejak itu, saya tak lagi penasaran, kenapa di setiap foto-foto yang ditempel di Gampong kami itu selalu tercetak tulisan, ‘Dicari hidup atau mati’. Kepada penduduk diminta untuk melaporkan keberadaan pengikut HT jika bersembunyi di Gampong-gampong, karena keberadaan mereka membuat masyarakat sengsara. Yang saya fikirkan saat itu, bagaimana figur seorang HT sampai dia begitu dicari dan ramai dibicarakan. Dari beberapa tulisan yang sempat saya baca, HT juga sampai diisukan meninggal dunia, meski beberapa hari kemudian berita tersebut diralat sendiri oleh media yang memuat berita meninggalnya tersebut.

Bermula dari bangku kelas II MTs tersebut, ide-ide radikal membuncah, hingga melahirkan peryataan kritis, “Jika HT masih hidup, Aceh yang kaya raya dengan hasil melimpah, dapat berdiri sendiri.” Guru kami yang mendengarkan tak mampu mengucapkan apa-apa, selain berpesan, bahwa diskusi seperti ini hanya sampai di ruangan ini saja, tak boleh dibawa keluar. Kekaguman pada sosok kharismatik itu bertambah saat DOM (Daerah Operasi Militer) dicabut, di mana dari satu Gampong ke Gampong lain, ceramah-ceramah radikal yang mengobarkan perjuangan HT dikumandangkan. Pemuda Gampong satu persatu merapatkan barisan, dan menjadi tentara HT.

Sejak itu, saya mengerti betapa besar pengaruh seorang HT, sampai-sampai banyak ulama memberi dukungan pada perjuangannya. Meski, dukungan itu tak lebih sebagai bentuk euphoria pencabutan DOM. Namun, ideology yang ditanamkan HT benar-benar kuat, mengakar, terutama terkait nasionalime Aceh. “Dalam perkara nasionalisme, orang tidak bisa berpura-pura,” tulisnya dalam sebuah buku. Akibatnya, ribuan pemuda Aceh rela menggadaikan nyawa demi sebuah cita-cita, meski sekarang cita-cita tersebut bagaikan sebuah ilusi.

Tapi hal itu tak membuat kekaguman kita pada sosok keturunan dinasti Tiro itu berkurang, malah makin bertambah. Keteguhan dan konsisten merupakan sikap yang perlu dijaga oleh seorang pejuang. Sikap konsisten dan teguh, meski salah, akan dikenang dan dihormati orang sepanjang zaman. Tak heran jika HT, hingga kini masih memiliki kharisma dan dihormati oleh segenap orang.

Apalagi, HT sudah membuat mata orang Aceh teubluet, terutama tentang sejarah negerinya sendiri. Saya ingin mengutip satu paragraf saja, bagaiman HT mendidik orang Aceh dengan pertanyaan kunci, “pakriban geutanjoë atjèh tangiëng droëteuh? Njoë keuh saboh sueuë njang rajek that keu geutanjoë bansa Atjèh bak masa njoë, njang wadjéb tapham uroë dan malam. Sabab bak djeunaweuëb geutanjoë ateuëh sueuë njoë meugantung nasib bandum geutanjoë bak masa njoë, nasib keuturônan bak masa ukeuë, dan nasib Nanggroë Atjèh njoë ateuëh rhuëng dônja."

Dari sana terlihat jelas bawah HT bukan berjuang untuk suatu kelompok dan menjadi milik kelompok tertentu, dan tak bisa dimonopoli oleh suatu golongan, karena HT milik seluruh rakyat Aceh. Karenanya, jika tanggal 11 Oktober 2008, HT jadi pulang ke Aceh setelah 30 tahun lamanya, hendaknya membawa perubahan di Aceh dan mempersatukan anak bangsa yang sedang bersiap-siap menumpahkan darah sesamanya pada Pemilu 2009 nanti. Sebab, meski tidak ada agenda politik, jika kepulangannya ke Aceh dipolitisir dan dimonopoli oleh kelompok tertentu, maka kepulangan tersebut menjadi tidak bermakna, karena kepulangan itu bukan keinginan HT. Semoga Allah merahmati perjuangannya. (HA 250908)

Post a Comment

Previous Post Next Post