Lampoh Soh

Menyimak Aceh hari ini, saya langsung terbayang teori Lampoh Soh, yang dipopulerkan oleh Sosiolog Dr Ahmad Humam Hamid. Semua kita tahu lampoh soh, sebuah lahan kosong, yang bisa jadi semua tempat memilikinya, apalagi di Gampong kita yang katanya besar ini. Lampoh soh bukan tanpa pemilik, tetapi pemiliknya kehabisan ide untuk menggarapnya. Jadi, dibiarkan saja jadi lampoh soh, tanpa ditanami apa-apa.
Saat kecil, semua kita—khususnya anak-anak kampung—sangat senang jika ada lampoh soh. Sebab, biasanya, lampoh soh bisa kita jadikan sebagai tempat bermain, main perang-perangan, jadi arena sepak bola, atau main bola voli. Tak sedikit juga, pemuda-pemuda kampung memanfaatkannya untuk sekedar tempat paling aman untuk main batu atau main kartu. Sebab, jika bermain di lahan kosong seperti itu, tak mengganggu lingkungan.


Dan jangan berharap di lampoh soh itu cuma jadi arena bermain bagi manusia saja, sebab, binatang juga, terutama lembu dan kambing ikut meurot di dalamnya jika ada rumput hijau. Dengan meurot di sana, tak ada orang yang marah, dan lembu merasa aman dari keunong parang atawa geulawa. Sebab, rumput yang tumbuh di sini, bukan rumput yang sengaja dipelihara, melainkan tumbuh sendiri secara alamiah.


Tak hanya itu, jika ada pohon berbuah tumbuh di lampoh soh, semua orang boleh memetiknya. Karena di lampoh soh, tak berlaku aturan apapun. Tak seorang pun bisa mengklaim, bahwa buah di pohon di lampoh soh tak bisa dipetik. Karena, seperti sudah jadi ‘kesepakatan umum’ bahwa yang ada di dalam lampoh soh sudah merupakan milik bersama. Meski seperti sudah kita tulis di atas, lampoh soh ada pemiliknya.


Ada juga warga Gampong yang letak WC-nya jauh dari rumah, lebih senang membuang hajat di sana. Apalagi jika letak lampoh soh agak ke pinggiran sedikit, jauh dari rumah warga, dan banyak ditumbuhi pohon, sehingga nyaman jika buang hajat. Orang pasti tidak akan melihat saat kita buang hajat, dan tak ada orang yang marah. Sebab, semua orang juga kadang-kadang lebih suka buang hajat di sana. Jika ada yang malu, dan takut dilihat orang, maka cukup aman jika pakai WC terbang atau hasil berak di sebuah kantong plastik dibuang di sana. Tapi hati-hati, jika sudah ada orang yang duluan buang hajat di sana, dalam melempar WC terbang yang berisi berak di dalam plastik, harus sangat hati-hati. Jangan sampai terkena orang. Jika sampai kena orang, yang terjadi pasti perang dunia ketiga.


Nah, bagaimana dengan konteks Aceh sekarang? Saya percaya Aceh sudah ibarat lampoh soh, yang tan soe pakoe. Pascatsunami dan MoU Helsinki, Aceh sangat terbuka, seperti ruang kosong yang ditinggal pemiliknya. Siapa saja boleh menciptakan kekacauan di sini, seperti ada aturan yang membolehkannya. Bom kembali meledak di sana-sini, tanpa kita tahu siapa pelakunya. Selain itu, semua partai—beragam ideologi dan kepentingan—didirikan di Aceh. Ada yang benar-benar berjuang mengembalikan martabat orang Aceh, tapi banyak juga yang mencoba menipu orang Aceh. Yang lebih parah, pertarungan sesama partai—terutama partai lokal—menunjukkan tensi yang meningkat. Jika salah-salah dimenej, Aceh bakal berujung pada perang saudara. Sebab, isyarat seperti itu sudah mulai disulut, yang dimulai dengan penggranatan kantor Partai Aceh (PA).


Namun, seperti halnya lampoh soh, yang tak dihiraukan lagi, meski masih ada pemiliknya, Aceh juga seperti itu. Karena itu, kita perlu mempertegas, bahwa Aceh bukan lampoh soh, yang bebas dijadikan arena membuat kekacauan, bebas jadi tempat buang hajat atau jadi tempat binatang ternat meurot, karena Aceh masih memiliki pemilik, yaitu kita-kita ini orang Aceh. Kita tentu tidak mau Aceh yang kita cintai ini dinodai, oleh dan dengan apapun, sebab kita masih mancintai Aceh. Kita masih ingin menggarap Aceh agar bermanfaat untuk semua orang Aceh, bukan cuma segelintir orang saja. (HA 200908)

Post a Comment

Previous Post Next Post