Demam

Ada yang bilang, bila seseorang diserang demam, pasti ada yang tidak beres dengan kondisi badan atau tubuhnya. Karena demam sering diartikan dengan memanasnya suhu badan seseorang atau lebih tinggi dari biasanya, yaitu 37’C, bila diukur lewat mulut, atau 37.7’C (suhu rectum), atau lebih dari 37’C bila diukur di bawah ketiak.

Ada juga yang menyebutkan demam sebagai reaksi tubuh saat berperang melawan infeksi bakteri, virus atau parasit. Penyebab demam juga bisa melalui non infeksi, seperti terluka atau cedera. Biasanya setelah vaksinasi dan dehidrasi.

Demam yang kita kenal juga bisa bermacam-macam, dari yang berbentuk penyakit, seperti demam berdarah, atau terkait dengan kondisi mental seseorang, yang menunjukkan ketakberesan, seperti istilah demam panggung. Sering juga demam dikaitkan dengan suatu yang luar biasa dan mendatangkan respon yang tak biasanya, karena semua orang ikut membicarakannya, seperti demam Lady Diana, demam Piala Dunia, atau demam Obama yang melanda dunia, belakangan ini.

Di Amerika, khususnya pascapenyerangan menara kembar WTC, dunia juga diajak untuk ‘berdemam’ perang melawan terorisme, atau demam Al Qaeda. Sebelumnya, ada demam Saddam Husein, yang membuat beberapa masyarakat kita menamakan anak laki-lakinya dengan nama Saddam Husein. Demam tersebut selalu mengikuti trend, dan membuat orang merasa menjadi anggota komunitas dari yang didemamkannya.

Artinya, ada banyak demam di dunia. Dan seperti umumnya demam, sering menghilang, setelah masyarakat atau komunitas merasa hal tersebut menjadi sesuatu yang biasa. Menghilangnya suatu demam, biasanya, setelah digantikan dengan demam yang lain. Itulah dunia, sesuatu mendapatkan tempat tersendiri, dan juga komunitasnya sendiri. Menjadi benarlah apa yang sering diucapkan orang, ‘setiap zaman dan fase ada demamnya sendiri-sendiri. Dan setiap demam, ada masa dan pengikutnya masing-masing’. Ibarat dunia, selalu berputar, dan tak pernah stagnan.

Di tempat kita, soal demam ini—yang tak terkait dengan penyakit—sering kita saksikan dan kita alami. Saat 17 Agustus, misalnya, bocah-bocah pelajar demam dengan lagu Indonesia Raya, panjat pinang, mengibarkan bendera merah putih kecil, serta demam dengan film-film yang membangkitkan spirit perjuangan. Demam 17 Agustus juga sering tak bertahan lama, karena selepas itu masyarakat disuguhkan dengan demam yang lain.

Saya juga pernah melihat demam Darurat Militer beberapa tahun yang lalu, di mana masyarakat Aceh akrab dengan ‘demam ikrar setia’. Di berbagai tempat, orang sering membuat kegiatan ikrar setia, sebagai penanda cinta pada Negara. Tak mengadakan kegiatan ikrar setia, berarti tak berpartisipasi pada demam yang sedang melanda, dan karena itu tak menjadi komunitas dari yang sedang berdemam.

Hal yang sama juga kita saksikan saat tahun 1999 lalu, ketika orang Aceh larut dalam demam Referendum. Di mana-mana, termasuk di pelosok Gampong, kita menemukan ekspresi demam tersebut dalam bentuk lukisan grafiti referendum, penempelan spanduk referendum. Referendum seperti magnit yang mampu menarik perhatian orang untuk membicarakannya. Malah, seperti pernah diulas oleh analis, saat demam referendum melanda Aceh, sukses menghadirkan tulisan referendum di badan jalan, sejak dari Banda Aceh sampai Medan atau di lintas Tengah dan Barat. Grafiti tulisan di badan jalan tersebut disebut sebagai tulisan terpanjang di dunia. Tak hanya itu, massa yang tumpah ruah saat aksi kolosal referendum di Masjid Raya Banda Aceh pada 8 November 1999 dianggap sebagai protes sipil terbesar sepanjang sejarah, mengalahkan aksi yang pernah dibuat oleh Marthin Luther King di Amerika atau menyamai jamaah Haji di Mekkah. Hah!

Nah, seperti ditulis di atas, terjadinya demam karena ada sesuatu yang tak beres. Demam Ikrar Setia, misalnya, karena Aceh dalam ‘cengkeraman’ militer. Demam referendum, karena Aceh ingin menentukan nasib sendiri dan sudah ‘bosan’ dengan Negara Induk, sebab ingin kejelasan status.

Lalu, sekarang rakyat Aceh kembali disuguhi dengan ‘demam’ Wali Nanggroe. Pertanyaan kita, apakah demam Wali yang sekarang ini hinggap di hati orang Aceh, menunjukkan ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di Aceh, atau justru ada yang tidak beres dengan kepulangan Wali? Sebab, seperti disampaikan seorang temam, dulu ketika pengikutnya masih 25 orang, Wali sangat bersemangat memproklamirkan ‘Aceh Merdeka’, tapi kenapa ketika massa pendukungnya mencapai ratusan ribu orang, Wali menjadi sangat pelit bersuara! Entahlah, semoga pernyataan teman saya tadi salah.(HA 131008)

Post a Comment

Previous Post Next Post