Silang

Di setiap persimpangan // di setiap rumah // ada tanda silang berwarna merah // setelah berpaling tanda itu tak juga hilang

Puisi itu dikirim seorang kawan, Ridwan H Mukhtar (kini almarhum). Semula saya tidak begitu paham akan makna dari puisi singkatnya tersebut. Namun, setelah saya coba cerna dan mengaitkan dengan situasi Aceh sebelum damai diteken, saya jadi mengerti tujuan dari puisi tersebut. Pun begitu, saya tak lekas membalasnya, bahkan hingga dia ‘kembali’.

Baiklah, saya ingin mengajak anda kembali ke tahun 2003-2005, ketika di seluruh Aceh diberlakukan keadaan darurat dengan status Darurat Militer (DM). Puluhan ribu tentara dan juga Brimob dikirim ke Aceh untuk menumpas para pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan juga para ‘penyokong’ perjuangan GAM tersebut seperti SIRA, Kontras dan SMUR. Para tentara dan Brimob tersebut tunduk di bawah Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD).

Aceh saat itu digambarkan sebagai wilayah perang yang sama sekali tidak menganut sistem perang yang beradab. Sebab, tak sedikit warga sipil (termasuk anak-anak) yang menjadi korban. Kampung atau desa yang menjadi basis GAM diseragamkan sebagai wilayah hitam. Beberapa rumah penduduk yang ada anggota keluarganya menjadi GAM diberikan tanda silang (X), sebagai penanda bahwa rumah tersebut sebagai musuh dan bisa dibumihanguskan kapan saja, jika dikendaki.

Melalui tanda X tersebut masyarakat dibuat hidup dalam bayang-bayang kematian. Sebab, dalam setiap operasi-operasi militer yang digelar, pasukan tidak perlu bertanya lagi apakah pemilik rumah tersebut pro republik atau pro GAM? Dari tanda di dinding rumah sudah bisa ditebak. Akibatnya, penghuni rumah tersebut kerap menerima perlakuan tidak wajar. Sebagiannya malah bernasib tragis, menemui ajalnya.

Memberi tanda silang sebenarnya juga akrab dan kerap dilakukan oleh masyarakat Aceh, lebih-lebih untuk orang yang bermasalah pada masa lalu. Karena bagi masyarakat Aceh, mengingat dan melupakan hampir dilakukan secara bersamaan dan sangat cepat. Secepat mengingat begitu juga halnya ketika melupakan. Orang Aceh mudah mengingat sesuatu, dan juga cepat melupakannya.

Saya teringat saat awal-awal reformasi, ketika di Aceh muncul fenomena politik yang meminta status Aceh diperjelas. Orang Aceh sangat membenci sesuatu yang berbau Jakarta. Di mana-mana demo menghujat TNI digelar, karena dalam otak orang Aceh, TNI sudah diberi tanda silang sebagai musuh. Situasi itu dimanfaatkan secara baik oleh aktivis GAM untuk menanamkan pengaruhnya di Aceh. GAM dianggap sebagai penyelamat rakyat Aceh. Kematian anggota GAM ditangisi dan berbondong-bondong orang melayat ke rumah duka. Namun, situasi tersebut tak bertahan lama, karena medio Mai 2003, Pemerintah Pusat memberlakukan status Darurat Militer di Aceh. Satu persatu pendukung GAM ditangkap, dibunuh atau ditembak.

Apa yang terjadi kemudian? Aceh mirip parade kekuasaan. Siapa yang berkuasa, dialah yang didukung. Di berbaga daerah kemudian dibentuk front perlawanan GAM, yang memobilisasi masyarakat untuk menyatakan ikrar setia NKRI. Para pengurus front perlawanan GAM tersebut sebagian malah berasal dari para simpatisan GAM atau para aktivis yang membelot. Mereka-merekalah kemudian yang menciptakan tanda untuk para pendukung GAM lainnya.

Kini setelah perdamaian tercipta, bukan tidak ada para pengurus front perlawanan GAM yang mengubah haluan dan menjadi pendukung GAM sejati. Mereka terlihat lebih GAM daripada GAM asli. Malah, mereka juga berani memberi tanda silang untuk orang lain berupa cap pengkhianat. Jika dulu mereka memberi tanda silang warna merah pada rumah-rumah penduduk, kini mereka banyak yang berlindung di bawah tanda berwarna merah.

Selain itu, memberi tanda juga kerap dilakukan orang Aceh untuk tokoh publik atau orang yang dihormati. Misalnya saja Ibrahim Hasan, mantan Gubernur Aceh. Setelah namanya tercemar karena terlibat DOM, Ibrahim Hasan hilang dari memori orang Aceh karena sudah diberi tanda silang. Kini, banyak orang mengelu-elukan Wali Nanggroe Hasan Tiro, dan disambut dengan gegap gempita, karena 30 tahun orang Aceh penasaran dengan sosok pendiri GAM tersebut. Akankah setelah Wali kembali ke Swedia, Wali akan kembali hilang dalam memori orang Aceh, karena sudah pernah melihatnya dari dekat? Jawabannya terpulang pada kita masing-masing.(HA 251008)

Post a Comment

Previous Post Next Post