Wali Nanggroe Tentang Sebuah Ingatan

Kruu…Seumangat!!!
Akhirnya, Tgk Hasan Muhammad di Tiro, atau yang populer dengan Hasan Tiro, pulang ke Aceh. Meskipun, kepulangannya tidak terkait lagi dengan perjuangan akan cita-citanya, namun peutuah Wali Nanggroe tetap ditunggu oleh rakyat Aceh. Dari beberapa tempat, ribuan orang mulai berdatangan dan sebagiannya sudah membanjiri kota Banda Aceh, untuk menyambut figur yang paling berpengaruh dalam sejarah Aceh, dan layak disandingkan seperti Sultan Iskandar Muda, Cut Nyak Dhien, Cut Meuti, Malahayati Syiah Kuala, Hamzah Fansuri atau Muhammad Daud Beureueh.

Kepulangan Wali Nanggroe ke Aceh, setelah 30 lebih bermukim di luar negeri, membenarkan sebuah pepatah yang sering dikutip orang, setinggi-tinggi punai terbang, pasti kembali ke sarangnya jua. Kerinduan yang mendalam terhadap tanah yang dicintainya tersebut, mengakhiri misteri sosok cucu Tgk Chik Ditiro ini. Aceh merupakan tanah kelahirannya, yang selama beberapa tahun diperjuangkannya agar kembali menjadi wilayah yang bermartabat. Dan kini, ketika keinginannya pulang, tercapai, sudah tentu membuatnya sangat bahagia, meski cita-citanya belum tercapai.

Kehadiran Hasan Tiro hari ini ke Aceh juga mengakhiri spekulasi tentang kesehatannya yang sering diberitakan memburuk. Sejak kemunculan di media-media di Aceh dan Nasional, sosok Hasan Tiro terlihat sangat segar bugar dan begitu bersemangat menjawab setiap pertanyaan dari wartawan. Kemunculannya tersebut membantah tentang misteri Hasan Tiro yang selama ini ditutupi dan rahasia.

Di kampung-kampung, di setiap warung kopi, atau di mana saja, orang ramai membicarakan sosok Wali Nanggroe ini. Hal ini wajar terjadi, sebab Hasan Tiro-lah yang berjasa menghidupkan kembali ingatan orang Aceh akan sejarah negerinya. Hasan Tiro menulis berbagai buku dan catatan betapa besarnya pengaruh Aceh dalam percaturan politik dunia.

Kepulangan Hasan Tiro sangat dielu-elukan oleh pengikutnya maupun oleh rakyat Aceh. Sebab, selama puluhan tahun lebih, Rakyat Aceh disuguhi berita simpang siur soal keberadaan Wali. Sering diberitakan terkena penyakit stroke dan malah pernah diisukan meninggal dunia. Meskipun, hal itu bagian dari pys war dalam sebuah peperangan untuk melemahkan mental pejuang GAM di lapangan. Namun, bagi pendukung dan pengikutnya, Hasan Tiro tak pernah tergantikan. Setiap titahnya menjadi peunutoh yang dijalankan dengan penuh pengabdian. Ceramah dan tulisan-tulisannya yang membangkitkan spirit perlawanan, selalu didengar dan menjadi bacaan wajib bagi anggota GAM. Melalui media tersebut, Hasan Tiro menanamkan pengaruhnya untuk merawat ingatan anak buahnya tentang sejarah perlawanan.

Namun, dapatkah kita membayangkan kepulangan Wali hari ini ke Aceh, seperti kisah kepulangan pemimpin revolusi Islam Iran, Ayatullah Ruhullah Khomenei dari Paris setelah bermukim 15 tahun lebih tahun 1979 dulu? Pernyataan ini layak diajukan, mengingat situasi Aceh sekarang ini sama sekali tidak mirip dengan kondisi politik di Iran, sebelum Khomenei pulang.

Seperti ditulis dalam berbagai buku sejarah, sebelum Khomeinei pulang ke Iran, situasi politik di Iran sedang memanas terkait dengan upaya penggulingan penguasa Iran, Syah Reza Fahlevi yang pro Amerika. Setiap hari, lebih dari 40 kali terjadi demonstrasi yang dilancarkan oleh berbagai kekuatan politik dan rakyat Iran yang benci pada kepemimpinan Syah, yang dituding menggadaikan negeri kepada Imperialis Barat.

Ribuan rakyat berkumpul di lapangan-lapangan terbuka untuk menentang Syah Iran. Kekuatan militer yang dianggap terbesar ke lima, tak mampu meredam amarah rakyat untuk sebuah revolusi. Tentara sama sekali tak berkutik dan mengalah di hadapan semangat rakyat yang butuh sebuah perubahan. Sebab, rakyat menanti sosok kharismatik yang bermukim di Paris.

Provokasi rezim penguasa untuk menghambat kepulangan sang Imam juga dilancarkan seperti ancaman pembunuhan. Hal ini semakin membuat kepulangan Sang Imam benar-benar sebuah perjuangan berat dan menegangkan. Sebab, ada isu pesawat yang membawanya pulang akan ditembak jatuh jika mendarat di Iran. Terkait adanya isu ini, Khomeini memilih menggunakan pesawat reguler yang dirahasiakan dan disertai puluhan wartawan internasional. Akibatnya, tentara Syah yang lumpuh semangatnya oleh antusiasme warga tak mampu berbuat apa-apa. Dan seperti ditulis di berbagai buku sejarah, 1 Februari 1979, Revolusi yang mengakhiri kekuasaan Syah Reza Fahlevi berlangsung tanpa penumpahan darah.

Meskipun jumlah masyarakat Aceh yang menanti kepulangan Wali sangatlah besar, tapi Wali pulang bukan untuk membuat revolusi, seperti halnya Imam Khomeinei. Sebab, kondisi politik di Aceh ini sangat berbeda dan tak seperti saat GAM diproklamirkan dulu. Sebab, MoU Helsinki sudah ditandatangani, dan GAM-RI sudah berdamai. GAM sudah menanggalkan tuntutan kemerdekaan yang puluhan tahun diperjuangkannya. Pun begitu, kepulangan Wali tetap akan memberikan pengaruh, khususnya terhadap perjalanan Aceh ke depan. Wali pulang untuk merawat ingatan rakyat Aceh akan sejarah dan status politik yang belum selesai.

Karena itu, kita berharap tak ada darah yang tumpah di Aceh, terkait kepulangan Wali. Meski kita yakini, berbagai provokasi mulai dilakukan, seperti penempelan spanduk yang menolak Wali pulang, atau upaya penghadangan yang dilakukan di beberapa daerah, hingga menjatuhkan korban.

Kita harus mengingatkan siapa saja yang berniat mengacaukan Aceh, bahwa Wali pulang bukan untuk menciptakan revolusi. Sebab, seperti sering disampaikannya kepada Media, Wali pulang murni karena kerinduannya akan tanah kelahiran. Jadi, tak ada revolusi, dan karena itu tak elok jika ada penumpahan darah.

Sebab, kepulangan Wali hanya untuk memberi ingatan kepada rakyat Aceh, bahwa Aceh punya sejarah. Dalam berbagai tulisannya, Wali sering menekankan betapa pentingnya sejarah, terutama bagi genarasi muda. Dalam pengantar buku Atjeh Bak Mata Donja, Wali menulis, ‘risalah Atjèh BAK MATA DÔNJA njoë ka ulôn susôn keu ureuëng muda dan aneuk dara Atjèh bak watèë njoë, sibagoë saboh tutuë njang peusambông masa njang ka u likôt deungon masa ukeuë, sibagoë seunambông taloë njang ka putôh deungon masa djameun, supaja ureuëng muda Atjèh, agam dan inong, geupham keulai pakriban dônja njang ka geupeudong Ié éndatu, pakriban keumuliaan njang ka geuteumeung, dan pakriban bak watèë njan geutanjoë Atjèh gob thèë na ban saboh dônja’.

Dalam kata pengantar bukunya tersebut, Hasan Tiro juga mendoktrin pengikutnya dengan pertanyaan-pertanyaan, yang membuat mereka merenung, tentang masalah yang diajukannya. Seperti terbaca dalam kalimat-kalimat berikut, Pakriban geutanjoë atjèh tangiëng droëteuh? Njoë keuh saboh sueuë njang rajek that keu geutanjoë bansa Atjèh bak masa njoë, njang wadjéb tapham uroë dan malam. Sabab bak djeunaweuëb geutanjoë ateuëh sueuë njoë meugantung nasib bandum geutanjoë bak masa njoë, nasib keuturônan bak masa ukeuë, dan nasib Nanggroë Atjèh njoë ateuëh rhuëng dônja.”

Perkara tersebut menjadi penting, untuk membangkitkan spirit, dan membuka front konfrontasi dengan Jakarta. Melalui doktrin inilah, nasionalisme Aceh yang puluhan tahun kehilangan tuahnya, seperti hidup kembali. Dan, di puncak Gunung Halimon, Pidie, 4 Desember 1976, ideologinya mengkhistal, saat Gerakan Aceh Merdeka diproklamirkan. Gerakan yang dibangun Hasan Tiro tersebut, jelas berbeda dengan DI/TII yang dimotori Tgk Daud Beureueh. Jika gerakan Daud Beureueh masih berpijak dalam bingkai RI, maka Gerakan Hasan Tiro mencoba mengubah Aceh menjadi sebuah Negara tersendiri yang terpisah dari Indonesia seperti sebelumnya. Bagi Hasan Tiro, Aceh tak memiliki hubungan apapun dengan Indonesia. Menurutnya, Aceh hanya memiliki permasalahan dengan Belanda. Karena itu ada tuntutan agar Belanda mencabut maklumat perang dan memulihkan kedaulatan Aceh seperti sedia kala.

Sementara Pemerintah sudah mengekalkan bahwa Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Indonesia. Apapun akan dilakukan jika demi mempertahankan sejengkal tanah NKRI ini. Klaim Indonesia terhadap Aceh sudah final: Aceh merupakan bagian dari Indonesia yang harus dipertahankan. Akibatnya, banyak darah yang tumpah di Aceh, ketika pemerintah memberlakukan operasi jaring merah atau Daerah Operasi Militer.

Namun, semua itu, kini tinggal kenangan dan menjadi sejarah kelam yang tak dilupakan oleh siapa saja yang masih memiliki nurani. Apalagi, di kota Vantaa, MoU Helsinki yang mengakhiri konflik Aceh dicetuskan. Permusuhan yang puluhan tahun mengental antara RI dan GAM pun mereda.

Pun begitu, kepulangan Wali hendaknya membawa pesan-pesan penting, bahwa selayaknya sejarah tak boleh dilupakan, sekarang dan pada masa mendatang, meski suatu saat Wali sudah tiada. Sebab, seperti disampaikan warga Aceh di Sweden, dalam setiap berjumpa dengannya, Wali sering menyampaikan tentang romantisme sejarah Aceh, dan juga tekad beliau untuk format Aceh di masa mendatang. “We will Independence” ujar Wali kepadanya.

Selain itu, kita berharap, agar kepulangan Hasan Tiro mampu meredam benih-benih permusuhan yang mulai tersemai seiring lahirnya partai lokal. Wali harus menjadi tokoh pemersatu bagi rakyat Aceh, dan bukan sekedar tokoh untuk satu kelompok saja. Kita tak ingin Wali yang begitu dinantikan oleh rakyat Aceh itu dimonopoli oleh suatu kelompok saja, sebab, dari dulu Wali berjuang bukan sekedar untuk kelompoknya saja, melainkan untuk kemaslahatan rakyat Aceh. Kita dapat menemukannya dalam buku sejarah Aceh yang ditulisnya, jika kita masih meragukan cita-citanya. (HA 111008)

Post a Comment

Previous Post Next Post