Melon

Tiba-tiba saya teringat pada buah melon. Sebab, di warung-warung kopi sebelah kampung saya, orang-orang ramai membicarakannya. Kata mereka, seorang pengusaha di gampong tersebut sedang panen melon. Selain pengusaha melon, ada juga tokoh di sana yang tiba-tiba anjlok pamornya, karena masyarakat tidak mau lagi memberi atau menjawab salam dari tokoh yang ingin membangun kerajaan baru di Gampongnya.

Dalam sebuah obrolan santai di keude kupi, seorang pemuda bercerita tentang nasib pengusaha melon. Menurunya, sang pengusaha sudah merintis usaha bertani melon cukup lama dan baru kini dia mendapatkan hasilnya. Dulu, ketika melonnya baru keumang, dia berharap bisa memanen hasilnya. Namun, dia sempat gagal, karena pohon melonnya membusuk dimakan kambing ketika berusia beberapa minggu. Kegagalan itu disebut oleh orang-orang di Gampongnya, karena dia menanam melon di kebun orang lain. Kini, cita-citanya menjadi pengusaha melon sudah tercapai. Kerja kerasnya untuk menjadi pengusaha melon tidak sia-sia. Sebab, sekarang ini, semua orang memanggilnya pengusahan melon.

Menurut cerita warga di kampung itu, selain munculnya pengusaha melon, di sana juga terdapat mantan pejabat yang mendadak bangkrut. Rakyat di sana sudah tidak mau memberi ‘salam’ untuk dia. Modal untuk keperluan ikut tender sudah banyak diberikan untuk warga, akibatnya, dia kehabisan modal. Sementara ke depan, perjuangannya masih sangat berat, banyak tender yang dibuka di dinas-dinas. Jika modal tidak kembali, dia bakal sulit bertarung dengan para kontraktor muda yang muncul bak jamur di musim hujan.

Dia harus bekerja keras untuk mendapatkan simpati warga, termasuk memulihkan kepercayaan masyarakat, sehingga mau memberi salam lagi untuknya. Sebab, di Gampong kita yang besar ini, sudah lazim berlaku rumus, penghormatan dan penghargaan hanya untuk mereka yang punya banyak uang. Memiliki banyak uang, tak sulit mencari teman, baik teman lama maupun teman baru. Malah, kita tak perlu bersusah payah, karena teman-teman tersebut datang sendiri, dengan berbagai basa-basi. Tetapi, teman seperti itu biasanya tak langgeng, dan juga tak pernah tulus. Teman seperti itu layaknya jelangkung, datang tak diundang, pergi tak diantar.

Selain dua tipe manusia tersebut, masyarakat tetangga Gampong saya juga bercerita, jika warga di sana sudah tak mau mengkeramatkan gambar ‘ka’bah’ lagi. Padahal, dulunya gambar tersebut begitu sakral, sangat ideologis, dalam pemikiran politik. Namun, kini, mereka lebih memilih berpaling dari ‘ka’bah’ dan bangga jadi petani melon saja. Menurut mereka, bertani melon lebih menjanjikan untuk mempertahankan kanot bu, ketimbang ilusi-ilusi yang dibawa pada pendakwah, tentang hal-hal yang belum pasti. Manusia sudah bosan diajak terbuai dengan mimpi-mimpi indah yang membuat mereka lupa pada misi awal sebagai manusia bumi.

Dua sisi manusia, yang satu pengusaha melon, dan satu lagi lebih banyak bergelut dengan tender, kerap mengundang kontradiksi. Keduanya sangat jauh bertolak belakang. Jika pengusaha melon lebih banyak bergaul dengan masyarakat bawah, maka pejabat yang berhubungan dengan tender, pergaulannya dengan orang-orang yang selevel dengannya atau masyarakat kelas menengah atas. Mereka berdua akan bergulat untuk merajut mimpi, siapa sebenarnya yang paling dibutuhkan warga, pengusaha melon yang memperkerjakan petani, atau pejabat yang hanya melayani segilintar tokoh yang punya pengaruh di Gampong tersebut. Kita tunggu saja hasilnya. (HA 011108)

Post a Comment

Previous Post Next Post