Hormati Politisi

Setelah membaca sepenggal kisah yang ditulis Eep Saifullah Fattah dalam sebuah kolom yang diberi judul “Menikmati Kekanak-kanakan”, membuat saya tergoda untuk menulis kembali tentang politisi. Kolom itu ditulis Eep saat sedang bersantai di sudut kecil kampus Ohio State University, di bawah rintik hujan di tengah alam Columbus yang sedang berbenah keras menyambut musim semi.

“Saya berbincang dengan salah seorang kawan Korea saya. Kami bicara tanpa tema dan arah sampai kemudian tanpa ragu ia berkata: Satu-satunya cara yang layak untuk menghormati para politisi adalah mencetak gambar wajah mereka di kertas toilet. “Dan saya,” katanya kemudian, “dengan senang dan riang menggunakannya setiap saat.” Begitu Eep mengisahkan.

Kebetulan, tulisan itu dikirimkan kepada saya saat masih intens berkomunikasi via email tahun 2002 silam. Saat itu, saya sering berdiskusi tentang proses kreatifnya dalam menulis sehingga mampu menghasilkan ratusan kolom yang sangat bagus. Banyak tips-tips yang diberikan bagaimana menjadi penulis yang baik.

Cerita Eep di atas teringat kembali ketika tak sengaja seorang teman saya memperlihatkan sampul belakang sebuah bungkus rokok. Sebelumnya, seorang teman juga memperlihatkan stiker kecil yang ditempeli di setiap korek yang dipegangnya. Di beberapa air mineral botol juga sudah mulai dihiasi dengan gambar plus nomor urut caleg. Hampir tak ada media yang tak dimanfaatkan untuk menarik simpati dan dukungan publik, termasuk dalam hal-hal kecil sekalipun.

Saya juga sering memperhatikan gerak-gerik beberapa politisi yang bersemangat menjadi anggota DPR RI, DPRA, maupun DPRK terutama ketika menyempatkan diri ngopi di Solong, Ulee Kareng. Kesan elitis yang sebelumnya begitu kuat, berganti dengan kesan ramah. Seutas senyum tak henti-hentinya terpancar dari wajah, meski kebanyakan terkesan dipaksakan. Tapi satu hal yang patut dicatat, mereka sangat pintar memanfaatkan momen. Kesempatan ngopi di Solong dimanfaatkan untuk tebar pesona dan membangun citra ‘sok akrab’. Semua orang disalami dan tak ada yang tersisa. Bisa jadi dia berpikir, semakin banyak orang yang disalami, peluang membangun citra merakyat menjadi berhasil.

Lalu, haruskah kita muak melihat sepak terjang politisi? Tak juga. Toh, keberanian mereka untuk tampil sebagai pembela hak-hak publik patut dihargai. Karena tak semua orang punya keberanian seperti itu. Masalahnya, benarkah mereka tampil dan menjadi caleg semata-mata ingin memperjuangkan aspirasi rakyat? Tak ada jawaban yang pasti. Sebab, semua orang ketika maju sebagai caleg mengusung hal-hal ideal yang akan diperjuangkan. Mereka terkesan sangat ‘suci’ melebihi orang suci (wali).

Perubahan sikap mereka akan terlihat begitu sudah diumumkan sebagai pemenang karena memperoleh sebuah kursi. Saat itulah kita akan tahu, apakah kesan ramah dan ‘sok akrab’ yang selama ini diperlihatkan benar-benar dari cerminan hatinya atau sekedar dibuat-buat karena sudah dekat dengan Pemilu? Meski kebanyakan dari kita akan menjawab, bahwa mereka hanya berpura-pura saja. Sebab, setelah terpilih mereka semakin tak terjangkau, seperti sering disebut dengan istilah HTW. Han troh wa.

Jika rakyat sudah tahu tabiat para politisi kita seperti itu, kenapa setiap lima tahun masih mau ditipu? Bukankah sudah selayaknya gambar wajah para caleg dan politisi ini dicetak di kertas toilet seperti cerita yang saya kutip di atas, sehingga setiap saat anda menggunakannya. Sebab, di negeri kita, politisi cenderung sudah dikenal dengan politisi busuk dan buruk. Entahlah! (HA 190109)

Post a Comment

Previous Post Next Post