Jangan undang Konflik Baru

Belakangan ini aksi teror berupa penggranatan kantor partai politik dan penghilangan atribut partai tertentu semakin sering terjadi. Seperti diberitakan Harian ini kemarin, Jumat (23/1), sasaran teror menimpa kantor DPD Partai Golkar Bireuen yang beralamat di Jalan Malikussaleh, Kota Juang, Bireuen. Aksi teror tersebut seperti menyadarkan kita bahwa tak semua partai dan tempat bebas dari aksi teror.

Aksi penggranatan Kantor DPD Golkar bukanlah yang pertama. Karena aksi serupa sudah pernah terjadi sebelumnya seperti yang menimpa Kantor DPP Partai Aceh (PA) di Banda Aceh, Selasa (13/1). Sementara di Bener Meriah, mobil operasional KPA Wilayah Linge jenis Mitsubishi Estrada Double Cabin BL 8069 AT dibakar orang tak dikenal saat diparkir di depan kantor KPA Simpang Tiga, Redelong, Bener Meriah, Rabu (21/1) sekitar pukul 3.30 WIB.

Di saat bersamaan, sejumlah baliho milik Caleg dari berbagai partai politik di Reuleut, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, juga dibakar.

Tak hanya itu, sebelumnya mobil anggota Partai Aceh (PA) dengan nomor polisi BK 41 IN milik Tgk Banta hangus terbakar setelah dilempar granat oleh orang tak dikenal (OTK) pada Jumat (16/1) dini hari pukul 05.00 Wib. Mobil Fortuner yang bergambar Partai Aceh (PA) tersebut di parkir di depan Hotel UKM, Peunayong Banda Aceh.

Aksi-aksi tersebut semakin menambah keyakinan kita bahwa pesta demokrasi di Aceh bakal berlangsung dalam kondisi yang tidak nyaman. Insiden-insiden kekerasan, termasuk aksi intimidasi dan penghilangan atribut partai semakin marak, terutama menjelang berlangsungnya Pemilu. Padahal, semua pihak berharap, Pemilu di Aceh berlangsung tanpa insiden kekerasan. Namun, kenyataan di lapangan membuat kita ragu, karena Pemilu di Aceh tidak mungkin berjalan aman tanpa diwarnai aksi kekerasan.

Menyimak fenomena kekerasan dan teror tersebut membuat kita heran, karena aksi-aksi teror itu tak pernah mampu diungkap secara pasti. Setiap kasus dan insiden penggranatan selalu tenggelam dengan munculnya kasus lain. Pihak keamanan juga tidak mampu melakukan deteksi dini untuk mengantisipasi meluasnya aksi teror. Seharusnya, ketika tensi kekerasan semakin meningkat, pihak keamanan mampu mengantisipasi dan mendeksi meluasnya kasus teror itu.

Pelaku teror seperti sudah tahu kapan dan dimana aksi teror dilakukan, tanpa mampu dicegah. Mereka seperti mempermainkan aparat keamanan, karena dalam beberapa kali insiden justru terjadi di pusat kota, yang menurut kita kondisinya lebih aman dengan sistem keamanan yang ketat.

Hal ini tentu saja mengundang tanda tanya bagi masyarakat, apakah aksi ini sengaja dibiarkan atau ada pihak yang sedang memancing di air keruh. Karena itu, pengungkapan setiap kasus perlu dilakukan agar aksi serupa tidak meluas, dan tidak ada pihak yang dicurigai sebagai aktor di balik berbagai aksi teror.

Tapi, siapapun pelaku aksi teror tersebut, kita harus menjadikannya sebagai musuh bersama. Sebab, aksi mereka tidak hanya mengganggu jalannya proses demokrasi melainkan juga membuat masyarakat menjadi tidak aman. Padahal, kita sudah sama-sama sepakat menanggalkan sesuatu yang berbau kekerasan dan konflik begitu MoU Helsinki ditandatangani, pada 15 Agustus 2005 silam. Kita berharap tidak ada pihak yang mengundang konflik baru ke Aceh, karena sangat besar harga yang harus dibayar, di mana-mana lebih sering berbentuk nyawa manusia.

Karena itu, tidak ada salahnya jika masing-masing partai yang kerap menjadi sasaran teror meminta perlindungan dari aparat keamanan. Hal ini untuk memperjelas bahwa ‘tidak ada dusta di antara kita’. (HA 250109)

Post a Comment

Previous Post Next Post