Len 3

Aku ingin bercerita tentang tiga orang teman. Aku ketemu mereka ketika sedang ngopi di Solong Ulee Kareng. Mereka baru saja tiba dari Sigli, dan menyempatkan diri nongkrong di warung, seperti biasanya. Jika mereka ke Banda Aceh, hampir tak pernah absen mengisi ‘daftar hadir’ di warung kopi yang menjadi langganan aktivis, jurnalis, pejabat, kontraktor dan segala profesi lainnya.


Pertemuan hari itu, merupakan yang kedua setelah setahun sebelumnya, di tempat yang sama, kami juga sudah bertemu. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, yang lebih banyak berbicara masalah politik dan kondisi partai mereka, pertemuan tempo hari lebih banyak diselingi canda dan tawa. Mereka tidak lagi bicara berapi-api tentang partai mereka, yang disebut satu-satunya partai yang bisa membawa perubahan di Aceh. Mereka begitu yakin bahwa partai yang didominasi anak-anak muda tersebut akan menjadi senjata melawan hegemoni Jakarta.

Setelah sejam lebih mendengar mereka berbicara, aku justru heran. Karena, mereka sama sekali tidak menyinggung lagi soal partai yang dulu begitu dibanggakannya. Tak ada lagi idealisme yang dulu mereka puja dan mengatur ritme perjuangan mereka. Tapi, mereka tidak mau disebut pengkhianat, sebab tak ada titah perjuangan yang mereka ingkari dan kangkangi. Mereka hanya saja semakin sadar, bahwa mempertahankan idealisme dalam kondisi Aceh yang mirip ureung kuet pade reudok, sama saja seperti orang waras hidup di tengah-tengah orang gila. Dianggap tidak waras juga.

“Kenapa begitu cepat sikap anda-anda ini berubah?” aku coba memancing. Kupandangi wajah mereka satu persatu. Tak ada kesan mereka terkejut ditanya seperti itu. “Idealisme jadi barang basi ketika Aceh menjadi seperti ini,” jawab salah satu dari mereka. “Jika sikap itu masih kita pertahankan, akan jadi bahan tertawaan,” timpal kawan di sebelahnya. Mereka pun bercerita kenapa bisa berubah sejauh itu.

Oya, sebelum lupa. Ketiga orang ini, bukan orang kemarin sore. Mereka dulu menjadi aktivis sebuah lembaga perjuangan sipil di Pidie. Kini, ketiganya memiliki profesi yang berbeda-beda. Yang berwajah hitam dengan rambut keriting sibuk dengan bisnis ponsel, yang berwajah kasar (juga rambut keriting) setahun lalu lulus PNS, sementara seorang lagi yang kulitnya lebih berkilau dengan kondisi perut buncit sudah cukup puas menekuni profesi ‘agen’ proposal.

Dulu, kata mereka, ketiganya adalah orang-orang yang berada di len pertama (line=garis pembatas). Menurut ketua partai mereka, dalam partai yang dipelopori anak muda itu, ada tiga golongan pengurus partai; ada yang berada di len pertama yaitu orang-orang yang masih memegang teguh idealisme. Mereka berjuang melalui partai, tanpa mengharapkan apa-apa. Ada yang berada di len kedua, yaitu orang-orang yang berfikir setengah-setengah: untuk partai setengah dan untuk kepentingan ekonomi setengahnya lagi. Keberadaan mereka di partai dimanfaatkan untuk memudahkan merengguk keuntungan ekonomis. Terakhir, yaitu orang yang berada di len ketiga, yang total memikirkan uang.

Sebagai aktivis idealis, seharusnya mereka memilih berada di len pertama atau kedua, di mana mereka masih bisa berjuang untuk partai. Namun, kata mereka, dalam melakukan sesuatu, kita mesti memikirkan perut juga, dan tidak boleh dilakukan setengah-setengah, karena tidak ada hasilnya. Kata mereka, usia mereka masih sangat muda. Masih banyak hal yang perlu dipersiapkan dan dikumpulkan. Mereka tidak mau menyesali usia muda mereka yang tidak produktif, ketika kesempatan terbuka lebar. Mereka pun sepakat memilih berada di len ketiga, dan menganggap itulah nasib terbaik mereka.

Ketika sedang asyik menyimak celoteh mereka, saya jadi ingat sebaik syair yang digubah Horatius, dan gemar dikutip Soe Hok Gie, penulis buku Catatan Seorang Demonstran dan Lentera Merah. “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Yang kedua, dilahirkan tapi mati muda. Dan, yang tersial adalah umur tua. Bahagialah mereka yang mati muda.” Mereka, tidak seperti yang ditulis dalam syair itu. (HA 070109)

Post a Comment

Previous Post Next Post