Meurampot

Aceh ka meurampot lom! Kalimat spontan ini lahir begitu membaca sebuah surat haba. Pasalnya, dalam surat haba tersebut, Aceh mendapat jatah dana Rp14 triliun, lebih besar dari dana tahun lalu. Bakal banyak lahir orang-orang kaya baru di Aceh pada tahun anggaran berjalan ini. Aceh diramalkan menjadi negeri makmur dan sejahtera. Tapi, seperti pengalaman anggaran tahun lalu, kemakmuran dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, terutama yang rajin memasukkan penawaran, proposal atau ge-ge (buat usil) kepala dinas minta PL.


Saya minta maaf jika salah menggunakan kata meurampot ini. Sebab, kata meurampot sebenarnya tak cocok disebut untuk Aceh. Pasalnya, kata itu sering dilakabkan pada orang yang kesurupan, kemasukan setan, atau yang mendadak kena penyakit aneh. Namun, kita bisa mengatakan, jika Aceh kembali meurampot, karena secara tiba-tiba mendapatkan dana yang melimpah (tapi tidak ruah), lebih besar dari tahun sebelumnya. Anehnya, dana tahun lalu yang berjumlah Rp8.5 triliun saja tidak mampu dihabiskan, bagaimana dengan sekarang yang berjumlah Rp14 T. Apakah bukan beuhuek peng namanya? Orang Aceh nantinya mirip seperti bunyi sebuah pepatah, “manok mate lam krong pade.”


Lalu, apakah meurampot bisa disembuhkan? Di Gampong saya, dan mungkin di Gampong lain sama juga, orang meurampot biasanya diminta obati sama dukun atau orang-orang yang memiliki kemampuan magic, yang sering disebut juga orang-orang pintar atau paranormal. Tapi di Gampong, orang menyebutnya dengan ureung meurajah. Cara mengobatinya kadang-kadang terlihat sangat aneh, karena ureung meurajah tadi hanya sekedar membaca doa-doa (sering tak pernah jelas ujungnya). Mereka berteriak atau berpura-pura berbicara pada makhluk halus, yang diminta membantunya. Sembuhkah orang yang meurampot tersebut?


Kebanyakan memang bisa disembuhkan. Tetapi, jangan salah, orang yang meurampot tersebut sering bukan sembuh karena doa yang sangat mujarab, melainkan bisa jadi karena makhluk halus yang merasuki tubuh orang yang meurampot sudah tidak tahan lagi dengan bacaan dukun yang terlihat aneh, dan suka teriak-teriak. “Iblih pane ek didungo ureung pungo meuratoh. Leubeh get diplueng jih karena katroh iblih laen,” ujar kawan saya suatu ketika.


Ingat meurampot, saya terbayang seorang teman saya di kantor. Dalam beberapa hari ini, dia terlihat seperti meurampot. Bawaannya tidak seceria dulu. Sering duduk termenung, seperti memikirkan sesuatu yang berat. Kulihat dia juga sudah agak jarang merokok, dan berbicara jika ada yang perlu-perlu saja. Hidupnya mendadak berubah total. Kawan-kawannya menangkap gelagat aneh di balik perubahan itu. Karena biasanya, si kawan tadi lebih suka bercanda dan berbicara sesukanya, dan meledak-ledak, meski sesekali kental dengan humor segar.


Seorang temannya, karena tak tahan, akhirnya memberanikan diri bertanya. “Belakangan, saya lihat banyak terjadi perubahan dalam hidupmu, apa yang sudah terjadi?” begitu tanya temannya. Si kawan yang ‘katanya’ sudah meurampot itu tak menganggap aneh pertanyaan tersebut. Sebagai orang yang tidak pernah mempersoalkan pertanyaan dan meyakini bahwa pertanyaan tak selayaknya dibunuh, menjawab sangat hati-hati. Dia berharap, jawaban yang diberikannya mengurangi (jika tidak menghilangkan) rasa penasaran sang teman. “Begini, kemarin saya membaca berita bahwa Aceh akan mendapatkan dana sangat besar mencapai Rp14 T. Tapi saya ragu karena mereka yang duduk di pemerintahan tidak akan mampu menghabiskannya. Lalu, untuk apa uang sebanyak itu? Bukankah hanya akan membuat orang di Gampong saya menjadi tambah gila, karena terus menerus memikirkan betapa bodohnya orang-orang yang lulus melalui fit and propertest,” jawab si kawan ini sekenanya. Teman sekantornya memilih diam, dan menyibukkan diri dengan rutinitasnnya. Nah! (HA 090109)

Post a Comment

Previous Post Next Post