Palestina

Suatu ketika Bill Gates, si pendiri Microsoft pernah berkata, bahwa salah satu rahasia suksesnya di bidang komputer adalah kita musti berada di tempat yang tepat pada saat yang tepat. Kini, petuah salah satu orang terkaya di dunia itu dimanfaatkan secara baik sebuah partai politik saat Israel secara membabibuta membombardir setiap sudut pemukiman rakyat Palestina. Solidaritas sesama umat Islam dimanfaatkan untuk kepentingan jangka pendek: demo untuk kampanye Pemilu 2009.


Demo menjadi senjata ampuh partai yang didirikan para aktivis dakwah kampus itu. Mereka seperti sangat menguasai ilmu marketing, khususnya dalam menjual ‘merek’ partai. Cara mereka sangat berhasil karena didukung ribuan massa, yang meneriakkan slogan yang sama. Besoknya, Koran sudah pasti mengutipnya di halaman depan. Lalu, apa yang berubah dengan demo itu? Apakah Israel menghentikan serangannya terhadap rakyat yang tak berdosa di Palestina? Apakah setelah demo-demo itu digelar, PBB bertindak cepat menghukum Israel? Sama sekali tidak.

Dunia (khususnya Barat) sudah klo prip. Mereka tak akan pernah bertindak hanya karena satu kelompok berdemo. Demo yang digelar itu, bisa jadi ditanggapi dingin, mirip sebuah pepatah: anjing menggonggong kafilah berlalu. Tidak punya pengaruh. Meski banyak orang bilang, demo salah satu bentuk pressure (tekanan). Masalahnya, siapa menekan siapa? Apakah setelah tekanan itu, ada kebijakan yang berubah? Jawabannya tetap tidak ada.

Akhirnya demo itu hanya berbuah kutukan. Demo partai itu di Jakarta, misalnya, sudah disumpah serapah karena memacetkan jalan raya, menghentikan denyut perekonomian, dan mengotori kota. Sebab, sehabis demo, sampah-sampah berserakan di mana-mana. Selain itu, demo tersebut juga seperti mempertegas jurang pemisah antara partai itu dengan masyarakat. Seolah-olah, merekalah pemilik utama isu Palestina. Sepertinya hanya Islam merekalah yang memiliki hubungan emosional dengan umat Islam Palestina.

Jadinya, demo mereka seperti ditujukan untuk kepentingan sendiri, yaitu kampanye merek. Padahal, jika mereka ingin membantu Palestina, bukankah sebaiknya mereka berperang di sana. Jika mereka ingin berjihad bersama umat Islam Palestina, bukanlah dengan cara menggembor-gemborkannya melalui corong microfon. Sebab, cara seperti itu hanyalah dikenang sehari, yaitu masuk Koran. Selepas itu, rakyat Palestina tetap berjuang sendirian melawan tank-tank dan pesawat tempur Israel. Ya…rakyat Palestina cuma berjuang sendirian.

Padahal, jika ingin membantu Palestina, tak ada cara lain kecuali menggunakan strategi yang pernah digunakan Hitler: bantai umat Yahudi di mana saja. Hitler dulu tak hanya mengeluarkan doktrin bahwa Yahudi menjadi penghambat misi bangsa Arya menguasai dunia, melainkan juga melaksanakannya. Hasilnya, tak kurang dari enam juta kaum Yahudi tewas dibantai. Luar biasa.

Saya sendiri ragu, apakah demo-demo itu mampu menghentikan aksi brutal Israel atau tidak. Sebab, seperti kita tahu, di mana-mana umat Islam hanya berdemo, tanpa melakukan aksi nyata, kecuali pernyataan boikot produk Yahudi. Padahal, jika dunia Arab saja bersatu, tak sulit menaklukkan Yahudi. Selama ini, kenapa Yahudi begitu congkak, karena Negara-negara Arab tidak ada yang berani melawan Israel, kecuali rakyat Palestina sendiri. Yang musti dilakukan sekarang, ya mengajak Negara-negara Arab melawan Yahudi, tanpa itu janganlah berharap Yahudi akan berhenti menyerang Palestina.

Dalam masalah Palestina, saya percaya pada keyakinan teman saya, bahwa ada rahasia Tuhan di sana. Palestina, katanya, tak perlu dibela. “Jika konflik Palestina-Israel berakhir, dan Israel berhasil dikalahkan, dunia akan kiamat,” katanya. Saya diam saja, sambil membayangkan sebuah partai yang mengambil manfaat dari konflik Palestina-Israel.(HA 030109)

Post a Comment

Previous Post Next Post