Kalender

Dokaha jadi kolektor kalender sekarang. Padahal dua hari lalu dia masih menarik sewa dengan sepede motor kredit yang belum lunas dibayarnya. Menurut Dokaha, menekuni profesi sebagai kolektor kalender lebih menggiurkan daripada sebagai penarik sewa.
Jika dari menarik sewa Dokaha bisa mendapatkan Rp40 ribu per hari, dari profesi barunya malah dapat lebih. Setiap kalender yang didapatkan dari calon legislatif (Caleg), Dokaha minimal mendapatkan Rp50 dari masing-masing caleg. Jika ada 10 orang caleg yang menggunakan jasa Dokaha, berarti dalam sehari dia bisa mengumpulkan Rp500 ribu. Uang sejumlah ini lebih dari cukup untuk menutupi uang sisa kredit sepeda motornya.

Jika menarik sewa, Dokaha harus antri dan menunggu lama, maka sebagai kolektor kalender Dokaha hanya perlu menstanby-kan hp-nya. Soalnya nama Dokaha sudah sangat dikenal oleh para caleg yang lahir dalam hujan kemarin. Para caleg yang nantinya menghubungi Dokaha jika ada kalender baru yang harus diedarkan. Memakai jasa Dokaha memungkinkan kalender sampai ke sasaran yang berhak memberikan suara. Tapi, Dokaha sama sekali tak berpikir tentang siapa yang dipilih orang rakyat yang diberinya kalender, baginya mendapatkan jerih dari hasil keringatnya sendiri sudah membuatnya lega.

Profesi baru Dokaha bukan tidak punya tantangan. Setiap hari Dokaha menerima sumpah serapah dari warga yang menjadi pengikut fanatik sebuah partai atau caleg tertentu.
“Dokaha dukung caleg atau partai mana sih?”tanya seorang warga.
“Soal dukung mendukung itu rahasia,dong!”jawabnya singkat.
“Dalam berpolitik itu kita tidak boleh plin-plan,harus ada yang didukung,”protes mereka.
Dokaha diam saja, dan menjawab singkat.
“Ini politik. Siapa pun yang kita dukung tak penting karena mereka nanti tetap menipu kita,”'begitu argumen Dokaha. Dokaha wajar mengatakan itu, sebab dua lima kali dia mengikuti pemilu, tetapi nasib Gampongnya tak pernah berubah. Jalan-jalan di desanya masih belum diaspal seperti zaman Jepang atau saat baru merdeka. Warga di Gampongnya juga masih hidup dalam kemiskinan. Warga belum merasakan hadirnya penerangan dari PLN. Padahal, kata Dokaha, saat masa kampanye, para caleg dan jurkam partai sampai berbuih-buih liurnya saat mengikrarkan janji (palsu) akan membuat daerahnya bermartabat dan menjadi kota idaman.

Tapi, selepas kampanye dan terpilih jadi anggota dewan terhormat, mereka lupa dengan nama Gampong Dokaha tempat mereka dulunya memproduksi buih-buih liur karena janji yang diikrarkan.

“Nah mumpung lagi ada kesempatan, kita manfaatkan saja mereka sebagai lahan bisnis kita. Ada uang kalender kita edar, tak ada uang kalender kita bakar,” katanya memelesetkan bait sebuah lagu: ada uang abang sayang, tak ada uang abang kita tendang.

Orang seperti Dokaha merasa beruntung saat musim kampanye seperti ini. Karena, inilah kesempatan mereka menguras kantong pejabat atau orang-orang yang berhajat memiliki sebuah kursi. Sebab, jika menunggu janji itu ditunaikan, sampai duroh oek tidak akan kesampaian. Dokaha sudah sangat hafal dengan perilaku politisi seperti yang dirasakannya kini.

Senyuman manis, kesan ramah dan pembicaraan yang seperti membela nasib rakyat hanyalah tipuan sesaat saja, sebab selepas itu, mereka kembali menjadi orang ‘terhormat’ yang tak tersentuh. Dokaha sudah begitu yakin jika para politisi itu semuanya penganut paham big lie (kebohongan besar) seperti dikhutbahkan Paul Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi. “sampaikan kebohongan berulang kali sehingga orang-orang percaya kebohongan itu suatu kebenaran,” begitu titahnya. Menurut Goebbels, hal tersebut tidaklah salah, karena menurutnya, kebohongan adalah kebenaran yang diubah sedikit saja. Dan kini para politisi dan caleg mempraktekkannya, membius rakyat dengan janji-janji bohongnya yang seolah-olah benar. homhai (HA 060209)

Post a Comment

Previous Post Next Post