Doa

Inilah zaman penuh parodi. Orang-orang berdoa secara berjamah dengan tujuan masing-masing. Meski tempat berdoa beda-beda, ada di rumah, di meunasah, masjid, gereja atau di tempat-tempat yang dianggap layak untuk berdoa, mereka berdoa dengan nada yang sama: supaya terpilih jadi anggota dewan. Saya heran dengan fenomena ini, apalagi dilakukan saat-saat menjelang Pemilu 2009. “Wah, ternyata berdoa serentak ada musimnya juga,” simpul kawan saya.

Tak hanya itu, selain rajin berdoa, orang-orang juga senang berbuat baik, seperti menyumbang sajadah untuk meunasah, semen untuk masjid, peralatan sekolah, kitab untuk dayah. Kita seperti melihat parade gerombolan manusia menuju syurga.

Di Gampung saya, hal-hal seperti itu: berdoa dan berbuat, sudah biasa terjadi dan sering dilakukan. Dulu, saat konflik, orang-orang tak henti-hentinya berdoa meminta dijauhkan dari bala dan juga dari kematian tak wajar, seperti melalui peluru atau penyiksaan. Makanya, muncul ungkapan dalam masyarakat Aceh (saya tidak tahu apakah ungkapan ini masuk kategori hadih maja atau tidak), “meudoa watee saket, meuratep watee geumpa (berdoa ketika sakit, berzikir ketika datang gempa)”.

Ketika tsunami menggulung Aceh, orang-orang tak henti-henti melafazkan zikir dan doa penyerahan diri. Manusia tampak tak kuasa melawan kuasa Tuhan. Manusia mengemis meminta belas kasih Tuhan. Betapa tak berdayanya manusia. Meski selepas itu, mereka menjadi seperti biasa, dan merasa ‘lebih hebat’ dari Tuhan.

Ungkapan ini bukan mengada-ada. Sebab, tak sedikit manusia yang berlagak ingin 'seperti' Tuhan: membunuh manusia lain seenaknya saja. Manusia memakai baju kesombongan yang seharusnya kesombongan itu hanya milik Tuhan.

Kini musim berdoa datang lagi, meski ini bukan lagi zaman konflik. Ini zaman di mana orang-orang berdoa supaya dilempangkan jalan untuk memiliki satu kursi di DPRK, DPRA dan DPRI. Ini zamannya orang-orang berpikir materialisme, karena doa juga kini dimaterialkan.

Andai kita bisa melihat doa-doa yang dilafazkan itu, tentu kita akan sangat terkejut. Pasalnya, doa-doa yang dikirim seperti proposal yang perlu proses seleksi dan rekomendasi, apakah disetujui atau tidak. Doa-doa itu, baik doa si polan dan doa si polen, akan bertanding di langit menunggu ‘registrasi’ sebelum dikabulkan.

Membayangkan ini, saya teringat sebuah anekdot ‘pasrah’ saat konflik dulu. Ada kawan bercerita, kenapa tahun 1999 Aceh tidak jadi merdeka. Menurutnya, karena doa orang Aceh kalah ‘berduel’ dengan doa-doa masyarakat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan termasuk juga doa-doa saudara-saudaranya sesama masyarakat Sumatera lain.

Kini, zaman doa berduel kembali terjadi. Meski bukan lagi doa berbau separatisme. Doa-doa para caleg berduel ingin duluan sampai agar segera dikabulkan oleh pemilik segala keagungan. Andai (jika kita masih dibolehkan berandai) kita bisa menyaksikan doa-doa itu berduel, kita tentu akan tertawa sendiri. Soalnya, si pendoa ingin agar doanya segera yang pertama dilayani dan dipertimbangkan untuk dikabulkan. Untung saja doa itu soal abstrak, hanya pendoa dan orang tempat mengadu yang tahu.

Saya ingin berandai-andai. Jika saat para caleg dari semua tingkatan berdoa dan doanya diterima oleh Tuhan, tentu saja tidak cukup kursi yang tersediai. Pasalnya, alokasi kursi untuk Propinsi Aceh saja berjumlah 69 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), 645 kursi untuk anggota DPR kabupaten/kota, dan 13 kursi untuk DPR RI dari jumlah pemilih sementara 3.010.752 jiwa dari total penduduk Aceh 4.459.431. “Munyoe Tuhan geukabulkan mandum doa caleg, pat tacok keurusi lom untuk awak dewan nyan?” tanya kawan saya ragu. Saya diam saja. Ka meuramah! (HA 030309)

Post a Comment

Previous Post Next Post