Monyet

Saya ingin bercerita tentang sebuah kisah yang terjadi di Gampong saya. Sudah lama sekali, sehingga orang-orang lupa mengingatnya. Dulu sekali, hiduplah seorang tokoh ‘karbitan’ memimpin Gampong kami. Tokoh tersebut sama sekali tak memiliki skill dan kemampuan dalam memenej masyarakat, kecuali modal harta peninggalan orang tuanya.
Hidupnya serba mewah. Pakaiannya necis. Tak boleh ada orang yang melebihi kekayaan yang dimilikinya. Jika pakaiannya sama warna saja dengan pakaian seorang anak petani, si tokoh ini langsung membuang pakaian itu, dan sering juga membakarnya. Di depan rumahnya, sengaja dibuat tempat pembakaran pakaian atau benda-benda di rumahnya yang sudah dimiliki orang penduduk Gampong.

Ketika pemilihan peutua Gampong, si tokoh karbitan ini yang sama sekali tak fasih mengucapkan mukadimah terpilih jadi pemimpin Gampong kami yang baru. Tak usah mencari jawab, bagaimana dia bisa menang dan terpilih. Soalnya, hingga kini tak ada orang yang mempersoalkannya. Hanya saja, meski tokoh karbitan, dia dikenal baik dengan semua pemuda Gampong dan juga orang tua. Di warung kopi dia sering membayari minum, siapa saja. Syaratnya hanya satu: tak boleh mendebat atau memprotes omongannya. Agar dibayari kopi, kita cukup menghidupkan mesin “oe” (iya, benar).

Sampai suatu hari, tibalah saat-saat yang menentukan bagi Gampong saya. Pelantikan pemimpin baru. Acara pelantikan dibuat sangat meriah, tempatnya bukan di Meunasah seperti sebelumnya. Pastinya, acara pelantikan si tokoh karbitan itu paling meriah sepanjang sejarah berdirinya Gampong. Tak ada tokoh adat yang memprotesnya. Pasalnya, sebagian dana pembangunan Meunasah dulunya berasal dari keluarganya. Orang-orang Gampong memilih diam. Jika ada yang tak suka, hanya cukup mengomel dalam hati: “Dipike nyoe Gampong ma jih, dipeulaku pue-pue heut jih”.

Yang aneh, isi sumpah bukan seperti kebanyakan sumpah para peutua sebelumnya, yang berisi keinginan peutua mensejahterakan masyarakat dan mengutamakan kepentingan umum ketimbang pribadi. Sumpah kali ini sungguh berbeda. Si tokoh karbitan ini dibiarkan berbuat sesuka hatinya demi kepentingan Gampong. Inilah dagelan pertama, yang beralamat petaka bagi Gampong.

Ketika tiba giliran kata sambutan, si tokoh dengan pede-nya maju ke mimbar. Gayanya tak jauh berbeda dengan para caleg yang kita lihat hari ini. Serba necis dan sok pejabat. Salam pembuka, diucapkan dengan lancar, termasuk mukadimah yang baru dibelajarnya semalam. Namun, keanehan mulai muncul saat si tokoh berbicara berbuih-buih tentang visinya membangun Gampong. Masyarakat yang hadir menyaksikan prosesi pelantikan mulai gaduh. Pasalnya, wajah si tokoh karbitan itu tampak seperti muka babi. Sebagian warga melihat seperti seekor anjing, dan tak sedikit yang melihat kepala leumo.Tampilan si tokoh itu bermacam-macam, tergantung siapa yang melihatnya.

Kisah itu terkenang kembali, ketika sebuah media melansir berita tentang gambar seorang Caleg diganti dengan wajah monyet. Membaca itu, mau tak mau membuat kawan saya mengomel. “Kegilaan di Gampong saya tak juga berakhir, malah semakin menjadi-jadi,” ujarnya menanggapi gambar monyet itu. Menurutnya, apa yang diperbuat si pelaku mengganti wajah orang dengan wajah monyet dapat disebut keterlaluan. “Itulah kreativitas yang overdosis,” demikian bunyi SMS yang dikirim kawan saya yang lain.

Komentar kawan saya sangatlah wajar. Pasalnya, akibat tindakan si anak nakal, wajah orang cantik menjadi sangat jelek. Hal itu berpengaruh pada performa Caleg yang sedang ingin tampil manis. Bayangkan,agar wajahnya tampil manis,si Caleg harus menyewa desainer untuk mempermak wajahnya menjadi lebih cantik dari wajahnya asli. Sebab, sudah jadi tren, untuk menjadi wakil rakyat yang terhormat,wajah harus terlihat cantik. Rakyat kita yang sudah kecanduan sinetron pastilah memilih orang-orang yang cantik dan ganteng. Sedikit sekali yang mau memilih wajah jelek tapi pintar.

Makanya tak heran, banyak Caleg yang memiliki wajah lagee ek kubue ujuen trom (seperti taik kerbau ditendang hujan) alias bopeng kayak bulan,dibuat halus melalui sarana olah digital (oldig). Tindakan mengganti wajah orang dengan monyet seperti terjadi di Aceh Utara, dapat dibaca juga bentuk kekesalan. Pasalnya, tak sedikit Caleg berwajah pas-pasan tapi begitu pede-nya jual tampang di setiap simpang jalan dan di gedung-gedung. Saya tak tahu, apakah tindakan mengganti wajah dengan gambar monyet itu karena kesal atas ulah caleg yang mempermak wajah jeleknya menjadi cantik? Tak ada penjelasan resmi.

Atau bisa jadi, karna sekarang orang lebih senang melihat monyet seperti iklan sebuah operator GSM di TV, dan berharap rakyat tak melihat di TV anggota dewan yang dipilihnya berubah wajah, bermacam-macam, seperti kisah di Gampong saya dulunya. Hom hai!

Post a Comment

Previous Post Next Post