Kegilaan

Pascapemilu, tema ‘stres’ atau ‘gila’ jadi topik dominan. Di mana-mana kita mendengar orang-orang berbicara tentang nasib para caleg gagal bakal stress. Malah, di warung kopi ‘terkenal’ Solong, pengunjung tak henti-hentinya bertanya tentang para caleg yang gagal terpilih. Pasalnya, sebelum pemilu digelar, para caleg ini adalah pengunjung favorit, dan sering dikerubungi orang-orang, dari sekedar berharap kopi+rokok gratis, sampai ‘dana operasional’ untuk memenangkan sang caleg.
Kini, ketika pemilu usai, mereka-mereka ini sudah jarang terlihat. Solong ‘sepi’ dalam artian tak ada lagi tawa caleg. Sudah gilakah mereka? Hanya mereka saja yang tahu.

Saya mencatat kesan, khususnya beberapa hari pascapemilu. Di Solong kini terbentuk semacam tertib sosial: ada pemenang dan ada pecundang. Para pemenang tertawa terbahak-bahak atau pok-pok dada, sementara pecundang, jadi bahan tertawaan. Mereka terpisah dari topik diskusi, dan lebih sering jadi pihak yang tersudutkan. Persoalan kemudian, yang lebih parah bukan menjadi gila benaran, melainkan terpental dari komunitas. Terkucil. Bisa jadi secara fisik atau pikiran mereka tidak gila, tetapi secara mental mereka akan menjadi ‘gila’. Fisik mereka boleh saja tidak dikerangkeng, tapi secara internal mereka mengerangkeng dirinya lewat moralitas yang diciptakan, katakanlah oleh para pemenang. Wajar saja, jika para caleg gagal, jadi jarang ke Solong.

Mari kita memahami fenomena ini berdasarkan hasil penelitian Foulcault. Menurutnya, definisi kegilaan datang dari suatu lapisan masyarakat yang biasanya disebut kaum elite. Maka elite dalam definisi kita adalah mereka-mereka yang kini jadi pemenang, dan juga komunitas-komunitas baru yang dibentuknya.

Mereka inilah kemudian yang membentuk komunitas eksklusif dan dengan sendirinya mengucilkan pihak lain. Akhirnya, kegilaan menjadi semacam kebutuhan sosial. Untuk memahami hal ini, cukup mudah. Coba perhatikan, apakah kita pernah mengajak orang gila untuk bersama-sama mendiskusikan sesuatu yang serius? Saya rasa tidak pernah. Malah, dari jauh kita sudah membuat sekat, “Ooo…dia itu orang gila”. Melalui label seperti itu, si orang gila itu dianggap bukan bagian dari kita.

Padahal, jika kita mau jujur, orang gila sering jadi rujukan. Karena, ada saat-saat tertentu, kita membutuhkan orang gila. Jika tak percaya, coba tanyakan sama orang-orang yang doyan beli togel atau buntut. Mereka, meski sekali, pernah meminta pendapat sama orang gila, minimal menanyakan nomor berapa yang harus dibeli. Dari kondisi seperti ini, siapakah yang sebenarnya gila?

Kini, para caleg yang gagal itu dianggap bukan lagi bagian dari komunitas, terutama komunitas pemenang. Caleg yang gagal, meski sebenarnya tidak gila, tetapi sudah diperlakukan sebagai orang gila, dan tak diajak ikut menikmati kesenangan bersama-sama. Secara sosial, jika merujuk definisi Foulcault, para caleg gagal itu sudah dipersepksikan sebagai orang gila.

Yang ingin saya sampaikan, para caleg yang gagal, hendaknya tak merasa terkucilkan, atau mengucilkan diri. Kebiasan minum kopi di Solong, atau nongkrong di tempat-tempat yang biasanya disambangi sebelum pemilu, perlu tetap dilakukan. Sebab, gagal menjadi anggota dewan bukan berarti dunia besok sudah kiamat. Jangan menjauhkan diri dari teman-teman, hanya karena gagal mendapatkan satu kursi di Gedung Dewan. Yakinlah, untuk soal kursi, kita masih bisa membikinnya lebih banyak, dan tentu lebih bagus.
Mengurung diri di rumah, menon-aktif-kan HP, jelas bukan solusi. Jika sebelumnya kita bisa membagi kegembiraan bersama-sama, kenapa sekarang kesedihan itu tak bisa dibagi. Yakinlah, ada banyak orang yang mensyukuri kesedihan, dan merasa ‘palak’ dengan euphoria kesenangan. Menjauhkan diri dari komunitas, meski tidak menjadi gila, sebenarnya kita sudah memperlakukan diri kita sebagai mengidap kegilaan.

Pada Abad Pertengahan, kata Foulcault berdasarkan penelitiannya, kegilaan dikaitkan dengan orang-orang yang dianggap tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat. Menurutnya, kegilaan adalah penyakit sosial yang paling destruktif di antara penyakit-penyakit lainnya. Karena itu, perlu dijauhi, sebelum benar-benar menjadi gila.

Jangan biarkan Negara, yang sering dipahami sebagai penjaga ketertiban, mengerangkeng kita yang dianggap gila, dalam bentuk merumahkan kita di Rumah Sakit Jiwa. Sebab, bakal banyak air mata yang akan menangisi kita. Maka, tetaplah menjadi tidak gila. Gagal, hanyalah satu kata, untuk menyebut tidak berhasil. Karena, mereka yang menang bisa juga gagal, ketika amanah yang diberikan tak mampu ditunaikan. Jadi, kembali saya ingatkan, jangan menangis hanya karena sesuap nasi sudah habis kita makan! (HA 140409)

Post a Comment

Previous Post Next Post