Boh Jok

Saya percaya semua kita pernah mendengar boh jok. Kita juga pernah mendengar orang yang mabuk ie jok. Lalu, apa istimewanya boh jok, sampai harus kita tulis dalam bentuk pojok (ada kata jok juga)? Pastilah perkara boh jok menjadi serius. Kata orang-orang yang sudah mendengarnya, boh jok itu gatal. Pohonnya membuat kita tak berani mendekat, tak hanya karena bulee jok yang gatal, tapi pohon itu mirip tempat berkumpulnya jin. Makanya, ada istilah ‘jen jok’. Pohon itu juga jadi tempat meu-intue semantong (kelelawar). Mereka lebih suka bergantungan di daun pohon ijuk, karena lebih nyaman.

Dengar-dengar juga, pureh jok itu bisa digunakan untuk mengusir setan atau jin atau jen kojet. Jangan tanyakan bagaimana jen kojet itu, karena saya juga tak pernah melihatnya, dan berharap tak melihatnya. Saya tak pernah mengusir jen pakai pureh jok, dan juga karena tak berharap jadi pengusir jin. Biarlah tugas mengusir jin itu jadi pekerjaan para ustadz di sinetron-sinetron atau program reality show yang membuat jantung kita dag-dig-dug.

Waktu kecil saya ingat, orang-orang di kampung sering menjadikan dahan pohon ijok yang kering sebagai kayu bakar. Atau untuk kayu tot broh leumo lam wue. Hal ini dilakukan, karena sifatnya yang mudah terbakar, serta banyak asapnya. Untuk mengusir nyamuk lam wue leumo sangat bagus. Sepertinya, nyamuk lebih merasa menderita terkena asap dari pembakaran dahan ijuk, ketimbang baygon atau obat antinyamuk lainnya.

Jadi, pohon ijuk itu multifungsi. Pohonnya untuk penyangga atau kayu bakar, seperti dahan. Boh jok sering diolah jadi ie jok atau buah kolang kaleng. Serat ijuk bisa dijadikan benang atau sering juga dijadikan sebagai penyaring air sumur yang bercambur pasir. Pureh jok sering dijadikan sebagai sapu. Pokoknya serba bermanfaat.

Bagi orang tua kita, boh jok sering dijadikan sandaran untuk meramal sesuatu, atau memprediksinya. Mereka meramunya jadi sebuah ungkapan yang mirip dengan hadih maja. Mungkin kita sering mendengar istilah ‘boh jok boh beulangan, watee troh taboh nan’.
Ungkapan itu sering dikaitkan dengan keinginan seseorang di masa depan. Bahwa kita tak dapat memprediksinya, dan menyerahkannya kepada waktu. Jadi, artinya sangat dekat dengan ‘biarlah waktu yang menjawabnya’. Istilah ini tak bisa digunakan untuk membuktikan perbuatan yang sudah terjadi. Tapi bisa digunakan meramalkan bagaimana nasib seseorang yang melakukan sebuah kesalahan.

Saya sering mendengar kawan mengungkapkan ungkapan itu, ketika lawan bicaranya mengatakan, ‘tahun depan saya menikah’. ‘dua tahun lagi saya akan menjadi pengusaha sukses’. Atau untuk menimpali lawan bicara yang terlalu menggebu-gebu dan terlalu ambisius. Biasanya, setelah diperdengarkan ungkapan itu, sifat ambisius seseorang menjadi berkurang. Entahlah, apakah ungkapan itu ada nilai magis, seperti halnya pureh jok yang, katanya, bisa digunakan untuk mengusir setan.
Jadi, boh jok, bukan menyerahkan ‘anu’ ke orang lain. Diminta atau tidak diminta. Homhai. (HA 220509)

Post a Comment

Previous Post Next Post