Jalan Seulawah

Saya percaya, semua kita yang pernah melintas jalan Seulawah sangat mengerti kondisinya: berkelok-kelok, menanjak, dan curam. Jika tak berhati-hati, kita akan terpeleset, dan masuk jurang. Jika mata tak awas, mobil di depan atau di belakang akan menabrak anda. Dan, risikonya cukup fatal: meninggal.

Saya tak akan bercerita tentang monyet-monyet yang meloncat kegirangan menanti lemparan makanan dari pengguna jalan. Saya juga tak akan bercerita tentang hutan yang digunduli untuk membangun markas militer. Sudahlah, biarlah itu menjadi perbincangan para aktivis lingkungan, pengamat militer atau para HTW-HTW saja. Kita bicara saja soal kenapa jalan Seulawah tak dibuat lurus.

Saya sudah sering bertanya kepada orang-orang yang layak ditanya. Tapi tak ada jawaban yang memuaskan. Mereka menjawab sambil mengira-ngira, dan itu mengundang tanya: benarkah begitu adanya?

Oya...ada yang bertanya: HTW itu apa? Soal definisi yang benar saya sendiri tak begitu paham. Saya sudah mencoba mencari tahu, termasuk membuka buku-buku yang layak dibuka juga tak ada definisi tentang HTW. Dosen saya di kampus juga lupa menerangkan apa yang dimaksud HTW. Entah karena mereka tidak tahu atau mereka lupa belajar tentang itu. Baiklah, saya akan menjawab seperti yang saya tahu saja.

HTW adalah sebuah singkatan untuk menyebut orang-orang yang punya status sosial tinggi dan tergolong dalam kategori akok, yaitu orang-orang terpandang dan hebat. Secara kasar HTW sering dieja dengan "han troh wa". Han troh wa berarti tidak sampai tangan untuk memeluk, entah karena tubuhnya yang gede atau terlalu banyak orang di lingkarannya sehingga kita tak mampu meraihnya, termasuk sekedar menjabat tangannya.

Lalu, kenapa jalan Seulawah berbelok-belok, patah-patah dan banyak sekali jalan memutar? Tak ada jawaban pasti. Cara satu-satunya mengetahui jawaban yang benar adalah bertanya sama arsitek yang dulu merancangnya. Karena kita yakin mereka mampu memupuskan rasa penasaran kita. Tapi masalahnya, siapa sang arsiteknya? Kita juga tak tahu. Sejarawan mungkin punya referensi lengkap, namun sejarawan yang bisa menjawab objektif dan detail, sulit kita temui.

Jika menerka-nerka, bisa disimpulkan yang pertama sekali membuka jalan Seulawah itu adalah penjajah. Atas kehendak mereka membuat jalan berkelok-kelok, sehingga kita pusing tujuh keliling. Dapat dimengerti, kondisi jalan menunjukkan betapa pusingnya sang penjajah menaklukkan Aceh.

Karena terus menerus memikirkan kenapa jalan Seulawah dibuat berkelok-kelok, padahal ada bagian yang seharusnya bisa diluruskan, tetapi tetap dibuat kelok, sampai membuat saya bermimpi. Anehnya, saya tak bermimpi tentang jalan Seulawah yang membuat saya pusing, melainkan bermimpi soal pembagian daging.

Yang punya hajat pembagian daging itu awak nanggroe. Pembagian dilakukan diam-diam, dan saat kegiatan pengajian. Saat pembagian, ada orang tua, sudah menunggu lama,tapi tak dapat giliran sebagai penerima daging. Dia pun pulang. Saya sempat merekam kata-katanya, ketika beranjak pulang. 'Daging sudah selesai dibagi,jauh sebelum pengajian Yaasin selesai dibacakan'.

Saya ingat, pembagian daging dilakukan dengan memanggil perwakilan wilayah, satu persatu. Hampir semua wilayah mendapatkannya. namun, orang tua yang menunggu lama, tak pernah dipanggil sehingga tak mendapatkan apa-apa. Orang tua itu tak mendengar kata temannya yang mengajak pulang cepat. Karena sang teman tahu bahwa keunduri itu bukan untuk mereka. Itulah alamat tak mendengar nasehat orang.

Paginya, saya langsung teringat kasus bagi-bagi PL (proyek penunjukan langsung) untuk anggota dewan seperti yang terjadi di Bireuen dan Aceh Utara (Saya yakin semua daerah juga ada praktik seperti ini). Masing-masing mereka mendapat jatah dari dinas, sesuai dengan bidang masing-masing. Pembagian ini sudah pasti terkait dengan proyek yang diusulkan...Karena seperti kita tahu, anggota dewan mengusulkan program untuk wilayah yang diwakilinya. Setiap proyek yang berhasil diusulkan, otomatis dia akan berjuang supaya proyek itu untuknya. Entahlah, saya menjadi bingung sendiri, apa hubungannya mimpi saya dengan jalan Seulawah. Saya hanya ingat satu hal saja, sesuatu yang mudah biasanya bisa dipersulit. Sama sulitnya mengungkap kasus pembobolan uang rakyat oleh para petinggi di Aceh Utara.

Sampai mengingat-ingat mimpi itu, saya terpikir, apakah dengan menulis ini, saya dituduh menghasut? Saya jadi was-was juga, soalnya di sini kita gampang menyebutkan soal pencemaran nama baik. Padahal, sudah jelas namanya jelek, kok dibilang mencemarkan nama baik. Jika tuduhan itu dialamatkan kepada saya, sudah salah alamat. Mimpi tak bisa direkayasa, kecuali kita yang merekayasa mimpi. Jika pun saya dituduh menyebarkan berita bohong, maka mereka telah menghukum sebuah mimpi: sesuatu yang tak terjadi di dunia nyata. Homhai, saya sendiri mumang, karena sepertinya, mimpi saya tak ada hubungannya, termasuk dengan jalan Seulawah yang telah membuat saya mumang! (HA 010609)



Post a Comment

Previous Post Next Post