Jakarta, Jioh That

Besok, Rabu (8/7), hari yang cukup menegangkan. Seluruh negeri diliputi ketegangan dan juga harap-harap cemas. Rakyat akan membuat keputusan penting: seorang kandidat terpilih sebagai presiden atau tidak. Atau dengan kata lain, menang atau kalah.

Kita yakini, kesan menegangkan tak hanya dirasakan oleh para kandidat presiden saja melainkan juga oleh tim suksesnya. Sementara para pengamat juga sibuk dan kita percaya mereka sudah menyiapkan jurus-jurus argumentasi ‘sok’ ilmiah untuk menganalisa, kenapa seorang kandidat bisa menang dan juga bisa kalah.

Terlepas dari itu, hasil pemilihan presiden tersebut sangat ditunggu-tunggu, terutama hasil quick count yang ditengarai sangat mempengaruhi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat keputusan. Pasalnya, dalam beberapa pengalaman (kecuali kasus Pilkada Jawa Timur), pemenang suatu pemilihan sudah duluan diketahui jauh sebelum suara selesai dihitung dan direkap. Kesan itu yang belakangan dirasakan oleh kubu Megawati-Prabowo dan JK-Win, yang mempersoalkan soal Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diduga sarat dengan manipulasi dan juga konspirasi terutama untuk memenangkan salah satu kandidat. Sempat berhembus sikap meminta Pilpres ditunda sebelum masalah tersebut diselesaikan.

Ya…pantas soal Pilpres membuat semua pihak tegang. Pasalnya, hanya dalam beberapa menit, nasib bangsa ini ditentukan; mau dibuat seperti apa dan hendak dibawa ke mana? Sementara bagi kita di Aceh, pertanyaannya simpel saja, apakah perdamaian Aceh masih bertahan di bawah pemerintahan baru atau tidak?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sangat wajar dikemukakan, karena hingga menjelang pencontrengan, rakyat belum diberitahu bagaimana negeri yang luas ini dikelola dengan menyenangkan semua anak negeri yang bernaung di dalamnya. Rakyat juga belum diberitahu, kapal besar yang bernama Indonesia hendak bertepi di mana, apakah tetap berada di tengah lautan dan dihantam terus menerus oleh gelombang, tanpa sempat mencapai kuala atau sesama penumpang bertengkar bersama karena berebutan merasa paling layak sebagai nakhoda. Serba kabur.

Di tengah ketidakpastian tersebut, bagaimana kita meyakinkan rakyat kita terutama di kampung-kampung untuk memilih? Jika pun mereka memilih, atas pertimbangan apa? Apakah mereka memilih hanya sekedar menggunakan haknya sebagai tertib demokrasi atau mereka memilih karena ada harapan perubahan yang dibawa oleh kandidat? Jika mereka memilih karena pertimbangan yang pertama, maka rakyat sudah berkorban cukup besar untuk tegaknya demokrasi, tetapi jika karena pertimbangan kedua, sungguh sangat disayangkan. Mereka akan kembali kecewa untuk ke sekian kalinya.

Saya sering membayangkan, terutama masyarakat di pedalaman, yang menyaksikan kemegahan kota Jakarta hanya dari televisi. Mereka memilih pemimpin yang berkantor di pusat kota Jakarta, kota yang tidak pernah mereka tahu letaknya di mana. Untuk bisa mendiami kota besar tersebut, bermimpi saja mereka tak berani. Tapi karena mereka sadar bahwa mereka bertanggung jawab terhadap negara yang besar ini, mereka tetap memilih, meski mereka tahu bahwa pilihan mereka tak berarti apapun di kemudian hari. Karena nasib mereka juga tak akan berubah.

Sebagai Negara yang besar, mungkin wajar jika ada warganya yang tidak pernah tahu letak ibukota maupun mendatanginya. Tetapi, sebagai warga Negara, seharusnya, meski sekali, mereka pernah melihat dari dekat, ibukota Negara, tempat segala kebijakan tentang nasib mereka diputuskan. Bagi masyarakat di pedalaman, Jakarta jioh that-that. Mereka mungkin pernah mendengar tentang Jakarta dan segala kemegahannya, tetapi mereka tak pernah merasakan dan menikmati suasananya.

Yang lebih tragis lagi, dan sering saya temui ketika berbicara dengan rakyat di kampung-kampung, ada di antara mereka sama sekali tidak mengetahui nama presiden. Mungkin kita akan mengatakan bahwa sebagai warga Negara yang baik mereka telah gagal. Tetapi, bukankah mengingat nama seseorang itu lebih sering karena orang tersebut sering berinteraksi dengan kita dan kebaikan mereka yang membuat kita tak bisa melupakan jasa baiknya? Jika seorang presiden peduli dan cukup merakyat, kita sangat yakin bahwa rakyat akan ingat nama mereka.

Jika seandainya, ke depan, setelah pemilihan ini berlangsung dan rakyat sudah memilih pemimpinnya, kemudian mereka melupakan namanya, hal itu patut dipertanyakan. Sebegitu cepatkah rakyat melupakan nama presiden yang dipilihnya? Jangan-jangan saat pemilihan berlangsung ada konspirasi yang memanipulasi ‘keluguan’ rakyat untuk memilih kandidat tertentu. Sebab, hal-hal seperti ini sangat rawan terjadi, terutama di negeri kita yang puluhan tahun diajarkan demokrasi yang tidak benar dan cenderung manipulatif.
Sementara bagi Aceh, kegairahan pilpres juga ikut terasa. Apalagi kekuatan politik di Aceh banyak terbelah soal dukung mendukung. Selain itu, isu Aceh sempat mencuat secara nasional, terutama soal klaim perdamaian Aceh. Baik kubu Jusuf Kalla maupun SBY mengklaim bahwa merekalah yang paling berjasa atas terciptanya perdamaian.

Pertanyaan kita, jika seandainya perdamaian yang dibungkus dengan MoU Helsinki tidak semulus seperti yang kita rasakan sekarang, apakah para tokoh tersebut akan berebutan mengklaim hal tersebut sebagai jasa mereka? Sudah tabiat kita manusia, selalu merasa diri pahlawan jika suatu program atau prakarsa berhasil dengan baik, namun jarang yang mau bertanggung jawab jika prakarsa atau program berujung dengan kegagalan. Artinya, jika perdamaian Aceh gagal tercipta, tak akan ada yang berani mengklaim paling berjasa.

Terlepas dari itu, kita di Aceh tetap berharap siapa pun yang terpilih bisa menjamin perdamaian Aceh tetap terjaga. Dan semua janji-janji tentang Aceh terutama untuk merevisi UU PA agar sesuai dengan semangat MoU Helsinki harus ditunaikan. Jika tidak, para capres yang sudah berjanji terus hanya mengulang janji-janji palsu yang dulu pernah dan sering dilakukan oleh pemimpin di Jakarta.

Saya sangat menyadari bahwa tulisan saya ini akan menjadi bahan tertawaan ataupun dianggap ada maksud tersembunyi mengajak rakyat tidak memilih. Saya hanya menerima dugaan yang pertama dan memaklumi dugaan kedua sebagai efek sampingnya saja. Bukankah Henry Bergson, pernah mengatakan, ‘ketika kita tertawa, kita selalu menemukan maksud tersembunyi untuk merendahkan dan karena itu untuk memperbaiki tetangga kita’. Namun, banyak yang tak percaya bahwa sebuah tulisan mampu mengubah sebuah Negara. (HA 070709)

Taufik Al Mubarak, penulis buku Aceh Pungo

Post a Comment

Previous Post Next Post