Tiro

Salah satu aktivitas yang bermanfaat yang saya lakukan bulan ini adalah menamatkan membaca novel Imperium karya Robert Harris. Malah, saya sudah mencoba membaca untuk kedua kalinya, karena banyak sekali kalimat indah, penuh retoris dan filosofis luput dari ingatan. Untuk mencari kalimat tersebut bukan pekerjaan mudah karena harus membaca sekali lagi secara seksama dan menandainya.

Terus terang, saya sangat menikmati membaca novel yang ditulis oleh penulis terbaik tersebut. Bukan apa-apa, karena novel tersebut berisi pesan-pesan politik dan juga pelajaran berharga untuk siapa saja yang ingin menggeluti dunia politik. Satu pesan yang patut dicatat, bahwa kerja politik bukanlah kerja instan, melainkan benar-benar kerja yang digarap secara serius, tekun dan penuh pengabdian. Jika tidak, maka yang akan diterima adalah cemoohan dan berakhir secara tak terhormat. Benar bunyi sebuah ungkapan bahwa yang naik tanpa kemampuan akan turun tanpa kehormatan.

Cicero, tokoh utama dalam novel tersebut, kita kenal dari buku-buku sejarah, terutama tentang komunikasi, adalah seorang ahli retorika. Seperti dicatat oleh Tiro, sekretaris pribadinya, Cicero berasal dari kalangan biasa-biasa saja dan kemudian menggapai posisi tertinggi sebagai konsul Roma, sebuah imperium yang sesungguhnya. Menariknya, posisi tersebut dicapai Cicero hanya bermodalkan kemampuan berbicara, tanpa dukungan modal, kecuali dari istrinya, dan juga dukungan rakyat yang melihat Cicero seorang politisi berhati suci dan diharapkan mampu memberi harapan perubahan untuk rakyat. Meski hanya bermodal kemampuan bicara saja, tapi Cicero mampu menaklukkan Roma. Saya jadi teringat kata-kata bijak Adolf Hitler, diktator Jerman, “Banyak gerakan besar di dunia dikembangkan oleh jago-jago pidato bukan oleh ahli-ahli tulisan.”

Kebenaran kata-kata tersebut, terasa dekat, ketika kita merujuk pada tokoh-tokoh seperti Abraham Lincoln, Martin Luther King, Fidel Castro, Hugo Chaves, Bung Karno, Mao Zedong ataupun Barack Obama, yang menjadi presiden AS pertama dari kalangan kulit hitam. Kecenderungan tersebut tak terlepas dari keinginan rakyat untuk mempercayai janji yang disampaikan secara sungguh-sungguh dan penuh retoris. Rakyat merasa bahwa mereka bisa hidup dengan harapan, meski setelah itu mereka terpaksa tak bisa makan.

Nah, menariknya dari novel Imperium tersebut, saya terkesima dengan sekretaris pribadi sang tokoh, yang bisa menulis secara cepat, secepat Cicero berbicara. Semua yang didengarnya dicatat dan tak ada yang tertinggal sedikitpun. Tiro, demikian nama sekretaris tersebut, berhasil menciptakan stenograf, cara menulis cepat, penuh dengan lambang-lambang. Menurutnya, apa yang sering diucapkan oleh Cicero dan juga para politisi lainnya, merupakan idiom yang sering diulang-ulang. Dari idiom-idiom tersebut dia menciptakan lambang. Tiro benar dengan mengatakan itu, karena seperti kita saksikan sendiri banyak para juru kampanye atau pejabat publik selalu lebih suka mengulang-ulang kata-kata yang sebelumnya pernah diucapkan.

Terus terang, begitu membaca nama Tiro di halaman depan buku tersebut, pikiran saya langsung terbayang ke sosok Wali Nanggroe, Hasan di Tiro, yang kini bermukim di Swedia. Dari cerita kawan-kawan jauh sebelum beliau pulang ke Aceh, Hasan Tiro sering memperlihatkan dokumen-dokumen sejarah yang sempat direkamnya. Kliping-kliping Koran internasional yang memuat tentang Aceh disimpannya, dan setiap saat diperlihatkan kepada siapa saja yang sempat mengunjunginya. Malah, sebagian di antaranya ditulis menjadi sebuah buku, yang wajib dibaca oleh gerilyawan GAM di lapangan sebelum perdamaian tercipta.

Dari kedua tokoh di dalam novel tersebut kita bisa belajar, bahwa untuk membuat sebuah perubahan, kita membutuhkan tokoh yang mampu mengobarkan semangat massa dan juga pemikir serta yang setia mencatat apa saja apa yang terjadi. Bukankah bangsa yang besar tak pernah melupakan sejarah? (HA 060709)

Post a Comment

Previous Post Next Post