Media Versus Jejaring Sosial

Dewasa ini, tema-tema politik lebih terbuka didiskusikan di jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter maupun Blog. Diskusi-diskusi tersebut melibatkan beragam latar belakang profesi, umur, ras maupun agama. Jangkauannya lebih luas dan tentu saja memiliki pengaruh luar biasa, terutama dalam memengaruhi sebuah kebijakan.

Jika pemberitaan media massa nasional terhadap 100 hari pemerintahan SBY-Boediono, berdasarkan analisa Litbang KOMPAS, Jumat (22/1), cenderung keras, maka di jejaring sosial jauh lebih keras. Di media kritikannya bisa jadi disampaikan dengan bahasa santun, tapi tidak begitu halnya di jejaring sosial, kritiknya lebih vulgar, tak ada yang ditutupi.

Dari sisi penyebaran wacana, harus diakui, media (cetak) terlambat satu langkah dibandingkan yang terjadi di jejaring sosial. Di jejaring sosial sebuah wacana berkembang sangat cepat, bahkan mampu menghimpun jutaan dukungan. Semua orang seperti menemukan ‘teman seperjuangan’ dan begitu sulit untuk dihentikan, karena kita tidak pernah tahu siapa yang mengendalikan. “Setiap orang terkait namun tak seorang pun yang mengendalikan,” kata Thomas Friedman yang dikutip Fareed Zakaria dalam bukunya Masa Depan Kebebasan (2003).

Tantangan
Sejak kemunculannya, jejaring sosial sudah menggantikan peran kontrol sosial yang selama ini menjadi ‘hak paten’ media massa. Gerakan-gerakan yang dibangun di dunia maya (jejaring sosial dan blog) mampu menginspirasi lahirnya sebuah gerakan di dunia nyata. Kasus pembelaan Bibit-Chandra, koin untuk Prita, dan pembongkaran Skandal Bank Century, bisa menjelaskan fenomena gerakan ini. Ini menjadi tantangan untuk media cetak jika tak ingin kehilangan peran.

Tajuk Rencana KOMPAS, Selasa (9/2), misalnya, mengulas Masa Depan Jurnalisme di tengah perubahan dahsyat yang sedang mengepung industri pers. Bagaimana kelanjutan bisnis media cetak? Pertanyaan ini selalu menarik untuk didiskusikan dan tak pernah sepi dibicarakan. Jauh-jauh hari, Professor Jurnalisme University of North Carolina, Philip Meyer, dalam bukunya The Vanishing Newspaper (2004) melontarkan tesis cukup radikal, bahwa pembaca Koran terakhir akan menghilang pada September 2043 (The last daily reader will disappear in September 2043). Kita tentu saja tidak perlu menunggu 2043 untuk mengetahui bagaimana nasib media massa cetak.

Seperti disampaikan Wally Dean, Direktur Online Broadcast di Committee of Concerned Journalistics (CCJ) yang dikutip Detikcom (21/07/08), oplah koran, terus menurun seiring pesatnya perkembangan media online. Dalam 20 tahun terakhir ini, sebutnya, oplah Koran turun sebesar 1 persen setiap tahunnya. Hal ini tentu saja sebuah peringatan untuk media cetak yang ingin bertahan agar tidak ketinggalan zaman.

Ke depan, untuk mempertahankan eksistensi, Koran tak cukup semata-mata mengandalkan modal dan iklan yang melimpah. Karena lahan ini juga sudah digarap media online maupun jejaring sosial. Melainkan semakin memperkuat konten yang langsung bersentuhan dengan kepentingan publik, bukan pemodal maupun kalangan mapan. Menguatnya tali persaudaraan di jejaring sosial, karena masing-masing pihak merasa memiliki nasib yang sama, saling peduli satu sama lain.

Lalu, apakah masih ada harapan? Jika sekedar medium kontrol sosial, peran itu kini sudah diambil alih jejaring sosial. Media perlu membangun relasi interaktif secara lebih intens dengan publik. Media harus menjadi tempat membahas masalah publik secara bersama-sama, untuk mencari solusi. Artinya, publik tak hanya sekadar dijadikan sebagai objek percobaan suatu kebijakan.

Selain itu, seperti ditulis dalam Tajuk Rencana Kompas (9/2), media harus pintar-pintar merespon dinamika perubahan yang ada. Hal itu perlu segera dilakukan. Media cetak tak hanya sekedar mewartakan berita-berita menarik, melainkan juga perlu perencanaan yang matang, memperkuat investigasi yang selama ini masih kurang dilakukan media online.

Masyarakat apatis
Kita tentu berharap jejaring sosial terus menjadi alat kontrol efektif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun, kita juga khawatir, harapan yang berlebihan justru membuat kita pesimis. Apalagi fenomena belakangan ini, jejaring sosial (internet) justru dimanfaatkan untuk melakukan aksi kriminal, seperti perdagangan perempuan, penculikan, penipuan.

Kita tak perlu terkejut dengan fenomena ini. Sudah bukan rahasia lagi, jika tema-tema seks atau kencan, lebih diminati pengguna internet ketimbang tema politik. Saat hiruk-pikuk Pemilu Legislatif/Pilpres), di blog Kompasiana (blog milik Kompas) menjamur tulisan-tulisan bertema politik. Namun, begitu muncul tulisan bertema seks yang ditulis Mariska Lubis, seorang Kompasianer (sebutan untuk Blogger Kompasiana), tulisan bertema politik tadi tak lagi jadi primadona.

Artinya, internet juga tak selamanya bisa diandalkan sebagai kontrol sosial, apalagi tak semua masyarakat kita memiliki akses yang luas membuka internet. Kondisi ini terbaca dari survei Litbang Kompas yang dimuat Jumat (22/1), hanya sebagian kecil pengguna internet yang memberi perhatian pada persoalan politik. Saat ditanyakan baik atau burukkah pemberitaan media massa terhadap pemerintahan SBY, sebagian besar atau 54,5% pengguna internet menjawab tidak tahu/tidak menjawab.

Agar pemerintahan terus berjalan di rel yang benar, tentu saja pikiran-pikiran yang berserak di sejumlah media, jejaring sosial maupun blog, perlu disatukan dalam sebuah aksi nyata. Jika tidak, kritik hanya akan tinggal kritik. Negarawan Inggris, Sir Edmund Burke, mengingatkan, persyaratan utama berkuasanya kekuatan jahat adalah saat orang-orang baik hanya diam saja.

Oleh Taufik Al Mubarak, penulis buku Aceh Pungo, Blogger Kompasiana

Post a Comment

Previous Post Next Post