Allan Nairn Bikin Berang Petinggi TNI

Teman Saya, seorang jurnalis senior dan sering memberikan sejumlah pelatihan penulisan mengirim pesan di inbox Facebook. Namanya Andreas Harsono. Dia aktif di Yayasan Pantau. Karena penasaran dengan pesannya, Saya berniat segera membacanya. Tapi, tautan informasi yang dikirimnya tak bisa Saya buka via Hp, agak sedikit ribet membukanya.

Saya menangkap pesan jelas, bahwa informasi yang dikirimnya sangat penting, ini terbaca dari pesannya, "Coba kau baca tulisan Allan Nairn soal pembunuhan politisi PA (Partai Aceh) di Aceh tahun lalu,” tulis teman saya itu sambil menyodorkan sebuah link blog: http://www.allannairn.com.

“Terima Kasih, Mas,” Saya membalas pesannya, singkat.

Allan Nairn
Dalam hati, muncul keinginan untuk segera membuka link tersebut setiba di kantor. Tapi, pas di kantor, Saya tak langsung menuju lantai tiga, tempat saya bekerja. Saya memilih nongkrong di lobby sambil membaca Kompas. Selesai di situ baru saya naik ke lantai tiga. 

Karena ingin fokus bekerja dulu mempersiapkan beberapa halaman untuk besok, Saya memilih tak bermain Facebook dulu. Soalnya, kalau memaksa buka Facebook, ujung-ujungnya Saya pasti akan bermain poker, sebuah games yang menjadi selingan saat suntuk bekerja.

Kiriman link itu baru teringat ketika hendak pulang kantor serta setelah menghabiskan cukup banyak chip poker. Jadi, Saya memilih membaca pesan kiriman itu secara lengkap.

“Taufik, laporan ini bisa dikutip dan diberitakan. Allan Nairn dulu sering meliput di Timor Leste,” tulisnya. Dalam hati saya bergumam, wah sudah telat nih. Tapi, soal heboh tulisan Allan Nairn ini sudah banyak dikupas media dan juga kantor berita Antara. Kebetulan media tempat Saya bekerja, Harian Aceh, berlangganan berita Antara. Jadi soal berita Allan Nairn dan juga tanggapan dari petinggi TNI bisa kami kutip di halaman depan.

Karena penasaran, Saya juga membaca tulisan di Blog Allan, yang hostingnya di Blogger.com itu. Dalam tulisannya berjudul “Breaking News: Indonesian Army, Kopassus, Implicated in New Assassinations. Forces Chosen By Obama for Renewed US Aid Ran ‘09 Activist Murders”, Minggu (21/3), Allan menulis "Korps pasukan khusus TNI Angkatan Darat, Komando Pasukan Khusus atau Kopassus, dituduh terlibat dalam sejumlah operasi pembunuhan berlatar belakang politik di Aceh sepanjang masa Pemilihan Umum 2009.”

Dengan menggunakan jasa google translate, Saya menerjemahkan secara kasar posting Allan Nairn sepanjang 60 paragraf itu. Saya hanya tertarik di bagian pembunuhan aktivis Partai Aceh (PA) saat Pemilu 2009 lalu. Bagian ini menjadi menarik, karena sebelumnya, soal teror terhadap partai lokal di Aceh cukup kentara. Sejumlah sekretariat Partai Aceh, Partai SIRA, dan Partai lainnya sering jadi target pembakaran dan pemboman. Malah, sejumlah aktivis partai lokal itu jadi korban pembunuhan. Jadi, apa yang ditulis Allan Nairn seperti membenarkan kenyataan yang terjadi di Aceh.

Allan Nairn menulis sedikitnya ada delapan aktivis Partai Aceh yang dibunuh. Beberapa korban pembunuhan, seperti Tumijan (35), buruh perkebunan kelapa sawit asal Nagan Raya, dan Dedi Novandi (33) atau Abu Karim, yang ditembak di bagian kepala di depan rumahnya di Gampong Baro, Bireuen.

Sontak saja, tuduhan tersebut jadi tamparan hebat di muka pasukan elit RI ini. Allan Nairn tanpa takut menuding pembunuhan terhadap aktivis Partai Aceh melibatkan dan dikoordinasi seorang Jenderal Kopassus yang pernah dilatih di Amerika Serikat. Tulisan ini pun jadi polemik. Apalagi, Indonesia sedang menanti niat baik pemerintah Amerika Serikat yang berencana memberi bantuan untuk TNI. Tulisan Allan setidaknya bisa mengacaukan kerjasama ini. Apalagi Kongres AS dikenal masih enggan untuk membantu TNI.

Berdasarkan informasi yang Saya dapatkan dari surving di internet, Allan Nairn dikenal memiliki reputasi yang cukup baik, terutama melalui liputan investigatif-nya dan laporan tentang Peristiwa Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste) terutama peristiwa Santa Cruz. Laporan-laporan Allan berpengaruh pada pemutusan bantuan AS terhadap TNI pada tahun 1993 oleh Kongres AS ketika itu.

Situs ensiklopedia online, Wikipedia.org, menyebutkan, Allan bersama teman jurnalis Amerika lainnya, Amy Goodman, sebagai saksi yang melihat langsung Insiden Santa Cruz yang juga dikenal Pembantaian Santa Cruz, saat pendemo Timor Timur ditembak di kuburan Santa Cruz, Ibukota Dili, 12 November 1991.

Demo itu digelar sebagai bentuk protes mahasiswa dan warga Timor-Timur terhadap Pemerintah Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastio Gomes, yang ditembak mati tentara Indonesia sebulan sebelumnya.

Lihat kutipan di Wikipedia:
“Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.

Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.


Petinggi TNI Angkat Bicara
Laporan itu kemudian mendatangkan tanggapan dari TNI. Kepala Pusat Penerangan Markas Besar (Kapuspen Mabes) TNI Marsda Sagom Tamboen, seperti dikutip Kompas, menilai bahwa tulisan Allan dalam blog-nya tidak lebih dari sekadar isapan jempol belaka, sepanjang tuduhan itu tidak dilengkapi dengan bukti-bukti.

“Saya kenal dia (Allan) sejak tahun 1989 waktu di Kanada. Dia itu salah seorang mitra Ramos Horta waktu masuk Timtim. Semua orang kan bisa saja ngomong si anu terlibat anu. Tapi selama tidak ada fakta dan data pendukung, yang namanya anu akan tetap jadi anu. Kalau yang dituduh Kopassus, apa benar seperti itu?” ujar Sagom.

Lalu, bagaimana tanggapan Mayjen Soenarko, Mantan Danjen Kopassus dan juga mantan Pangdam Iskandar Muda? Sebagai Pangdam yang pernah bertugas di Aceh saat prosesi politik berlangsung, Soenarko membantah tuduhan yang menyebutkan Kopassus terlibat dalam politik, apalagi terlibat pembunuhan. “Tidak ada pasukan Kopassus di Aceh sejak 2004 baik secara terbuka maupun secara tertutup, sehingga tidak ada keterlibatan apapun dengan kegiatan di sana (Aceh, pen) termasuk kegiatan politik Pemilu 2009,” kata Soenarko.

Soenarko sendiri bahkan mengaku dirinya terlibat langsung membantu Polda mengamankan Pemilu di Aceh. “Kita semua tahu apa yang terjadi dan bagaimana situasi Aceh terutama saat Pemilu Legislatif. Saya sebagai Panglima Kodam Aceh saat itu ikut membantu Polda mengamankan jalannya Pemilu Legislatif, namun tidak ada sama sekali personel Kopassus yang ada di Aceh, apalagi sampai terlibat kegiatan politik praktis secara langsung,” seperti dimuat di Harian Aceh, Rabu (24/3).

Wawancara Allan Disensor
Saya sendiri masih penasaran bagaimana kelanjutan polemik laporan Allan Nairn yang membuat panas petinggi TNI itu? Sebelum pulang dari kantor, Rabu (24/3) malam, Saya membuka-buka lagi blog Allan Nairn yang pernah dikirim teman, Andreas Harsono.

Mata Saya terbelalak membaca posting terbaru Allan Nairn “Assassination Interview Censored by METRO TV, Indonesia” yang baru diposting, Rabu (24/3). Dalam blognya itu, Allan menceritakan, Sore ini (Rabu) Metro TV mengundangnya untuk sebuah wawancara by phone selama 30 menit, soal laporannya tentang pembunuhan politik yang dilakukan tentara elit, Kopassus, terhadap aktivis Partai Aceh, saat pemilu 2009 lalu.

“I agreed, and when we went on the air, by phone, shortly after 8pm, I urged viewers to go to this website to read the full, detailed report and then began to name the names of TNI people implicated in the killings,” tulis Allan.

Namun, tulisnya, beberapa menit setelah dirinya berbicara soal laporan yang pernah ditulisnya, pembicaraan Allan diputusin dari on air tersebut. Menurut produser yang menghubungi kemudian, mengabarkan bahwa interviewnya terpaksa disensor, dengan alasan itu merupakan kebijakan bosnya.

“A producer came on the phone and acknowledged that I had just been "censored.”

“The producer then sent a text message saying: "Really sorry Allan. Suddenly I have a policy from my boss." (Produsen kemudian mengirim pesan teks: "Sungguh menyesal Allan. Tiba-tiba aku mempunyai kebijakan dari bos saya.”)

"I asked on the phone what that sudden policy was but the producer would not say.”

Membaca posting Allan Nairn ini, saya tak tahu harus mengatakan apa. Ya…beginilah wajah kebebasan di Negara kita. Sedikit saja bersinggungan dengan kekuasaan, ya kita akan berhadapan dengan sensor. Anehnya, sensor sekarang ini tak lagi hanya monopoli pemerintah, melainkan juga sudah dilakukan oleh pemilik media, yang disebut ‘bos’ itu bila kepentingannya terganggu. Hah!

Post a Comment

Previous Post Next Post