Berawal dari Bola

Meski tak pandai bermain bola, bukan berarti saya tak menyukai olahraga terheboh sejagat ini. Saya rela bergadang hanya untuk menonton pemain-pemain hebat dunia mengoceh si kulit bundar. Jika tim favorit saya yang bermain, degup jantung saya tak pernah berhenti. Sebelum wasit meniup peluit akhir dan memastikan tim favorit saya yang menang, perasaan saya selalu tak enak.

Rabu (31/3) dinihari, saat Bayern Muenchen versus Manchester United, saya memilih menonton di rumah. Bukan apa-apa. Menonton di warung membuat saya tak nyaman, apalagi jika tim saya kalah. Sorakan penonton cukup mengganggu saya. Nonton di rumah jadi solusi, minimal jika pun kalah, cuma sendiri. Kita juga tak perlu mendengar suara-suara bising yang meneriaki kekalahan tim kita.

Saat laga baru berjalan 1 menit lebih, MU sudah unggul melalui gol Wayne Rooney. Saya cukup senang. Tanpa sadar saya menepuk tangan. Padahal di rumah saya hanya sendirian. Tak cukup di situ, saya juga mengupdate status di Facebook. Saat kedudukan masih 0-1 untuk kemenangan MU hingga akhir babak pertama, tak ada satu pun teman yang berkomentar di status tersebut. Saya pun kemudian fokus menonton.

Dalam hati saya terus berharap, MU bisa menambah gol. Ketika serangan ke areal pertahanan MU datang bertubi-tubi, dalam hati saya hanya berharap, ‘jika tak bisa menambah gol lagi, menang 1-0 saja sudah cukup. Ternyata, MU bukannya menang, tapi harus pulang dengan membawa kekalahan serta air mata dengan cederanya Rooney. 

Di babak kedua, Muenchen mampu membalikkan keadaan, 1-1. Perasaan saya mulai tak enak. Jika MU sampai kalah, entah bagaimana saya harus tidur. Saya pun berharap, MU bisa mencetak gol atau minimal tak sampai kebobolan lagi.

Perasaan saya bercampur baur: senang, gelisah, dan takut. Petaka itu kemudian benar-benar datang. Olic membuat gol menyakitkan di menit akhir. MU pun harus pulang ke London dengan kekalahan. Saya sendiri, mungkin juga mania MU lainnya yang berjumlah 300 juta orang seluruh dunia, pantas bersedih. Sulit sekali mengharapkan keajaiban di Old Trafford, apalagi kondisi Rooney yang cedera. Hanya semangat tim yang bisa membalikkan keadaan. MU hanya cukup menang 1-0 untuk lolos ke semifinal, karena diuntungkan gol tandang. Itu juga menjadi harapan sang arsitek, Sir Alex Ferguson yang menargetkan MU mencetak gol tandang untuk menjaga peluang.

Meski perasaan tak enak dengan kekalahan tersebut, malam itu saya lalu dengan mencoba menenangkan diri. Saya berharap besok pagi saat bangun bisa melupakan kekalahan itu. Karena saya harus konsentrasi dan mempersiapkan mental untuk sebuah dialog di TVRI. Anehnya, saat bangun pagi, kekalahan MU masih tergiang di ingatan. Apalagi saat membuka facebook, masuk bermacam-macam komentar, intinya mengolok-olok MU. Coba, apakah tidak bertambah stress?

Akhirnya, dengan kondisi mental yang tak stabil dan kurang tidur, saya berangkat ke studio TVRI. Tak biasanya saya merasa gugup dan gundah. Padahal, biasanya, saya cukup enjoy menghadapi sebuah wawancara. Tapi kondisi yang saya rasakan lain. Saya seperti kurang gairah. Ini kemudian berakibat fatal. Penampilan saya di TVRI benar-benar mengecewakan. Saya sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Malu rasanya mengingat hasil penampilan saya tersebut. Mudah-mudahan tak banyak yang menonton. Hehehe. Semua berawal dari bola. Perasaan saya hancur, sama seperti pendukung MU lainnya.

Mudah-mudahan saat bertemu di Old Trafford, MU bisa mengulang kejadian final Champions di Barcelona tahun 1999: menang secara dramatis melawan Muenchen di masa injury time. Saya yakin, MU pasti bisa. Nyang penteng bek sampe pungo!

Post a Comment

Previous Post Next Post