Nikah dan Poker

Banyak teman mengirim SMS ucapan selamat atas pernikahan saya pada Jumat 25 Juni 2010 (tanggal yang cukup bersejarah). Banyak SMS isinya seperti menyiratkan keterkejutan, antara percaya atau tidak kalau pada akhirnya saya menikah. Pokoknya, banyak isinya yang diawali-diakhiri dengan kata-kata ‘akhirnya menikah juga”

Setidaknya saya sudah melewati fase menegangkan dalam hidup saya. Jauh hari sebelum menikah, saya cukup trauma mendengar kata ijab-kabul. Lebih menakutkan daripada sidang skripsi di kampus. Soalnya, banyak teman-teman saya yang tidak lancar mengucapkan ijal-kabul. Malah ada yang sampai harus mengulangi hingga 5 kali.

Akibatnya, saya cukup tegang. Seminggu sebelum nikah berlangsung, saya sudah menghafal cara menjawab ijab-kabul, sampe ju ek manok. Saya berharap bisa menjawab nikah itu dengan lancar, dan tentu saja sekali jawab langsung tuntas. Jika sampai harus diulang beberapa kali, tak terbayang rasanya. Wajah kawan-kawan yang senang usil selalu terbayang. Makanya, karena ini momen sekali dalam hidup saya, saya menginginkannya sempurna.

Alhamdulillah, saat acara sakral itu berlangsung di Meunasah Kumbang, Trueng Campli, Jumat 25 Juni 2010, saya melaluinya dengan lancar. Sekali jawab langsung mantap. Terasa seperti baru selesai mengangkat satu bukit gunung di atas kepala.

Saya sendiri antara percaya atau tidak atas pernikahan itu. Ada kawan yang sampai menyarankan saya untuk mencubit kulit saya sendiri untuk memastikan apakah saya sedang bermimpi atau tidak. Namun, kali ini benar-benar nyata. Ada sejuta kebahagiaan setidaknya yang saya rasakan.

Saking bahagianya, sehabis Salat magrib saya menyempatkan diri duduk sendirian di pantue depan rumah. Saya memandang jauh ke langit yang terlihat begitu cerah, penuh bintang. Saya sempat melihat bintang jatuh (bisa saja meteor). Senang bukan main. Meski dalam hati saya turut sedih, karena ternyata momen sakral pernikahan saya itu tak terdokumentasi.
Padahal, sehari sebelumnya, seorang kawan sudah menjanjikan siap menjadi photografer. Mereka berjanji akan datang lebih cepat. Nyatanya, mereka datang dua jam setelah pernikahan berlangsung. Itulah yang membuat saya sedih.

Namun, kesedihan itu tak seberapa, karena tak henti-hentinya saya menerima ucapan selamat dari kawan-kawan dan mendoakan agar pernikahan langgeng hingga akhir hayat.
Saya juga tak bisa menyembunyikan kegembiraan, saat Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar menelepon saya pada malam harinya. Saya sama sekali tak mengira Wagub akan menelepon saya tepat tengah malam, dan menanyakan bagaimana prosesi pernikahan saya  hingga menyerempet masalah politik. Itu sudah membuat saya senang.

Selepas nikah, ternyata ada satu lagi ganjalan. Soalnya, tanggal 4 Juli saya harus di-Intat Linto. Bukan apa-apa, melainkan jarak rumah saya dengan istri saya sangat dekat sekali. Malu rasanya jika harus mengundang kawan untuk Intat Linto. Pasti jawabannya, alah...dekat aja pun pake diantar. Akhirnya, soal letak tempat ini menjadi titik sentral olok-olok kawan saya. Saya pun trauma mengundang kawan-kawan. Mohon maaf deh.

Lalu apa hubungannya Nikah dengan Poker? Sebenarnya tak ada hubungan apa-apa. Permainan poker dulunya sangat saya benci. Saya tak begitu suka melihat orang menghabiskan waktu berjam-jam hanya sekedar main poker. Menurut saya itu pekerjaan sia-sia. Waktu membuka internet yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan pengetahuan justru terbuang percuma. 

Tapi kini saya juga terjangkiti penyakit maniak poker. Rasanya tak lengkap mengerjakan tugas kantor jika belum main poker. Sepertinya, saya juga sudah kena virus pokerman yang ditularkan kawan-kawan saya, seperti Adi Warsidi, Nurdin Hasan, Ucok Parta, dan beberapa lagi yang tak bisa disebutkan satu persatu. Mereka, menurut saya, adalah pemain poker yang sudah dikategorikan profesional. Saya sering menyaksikan mereka bermain poker dan sangat menikmatinya. Mereka cukup sabar menunggu.

Memang, kunci bermain poker adalah kesabaran. Setidaknya begitu yang selalu diajarkan para maniak poker. “Jika gegabah dan terburu-buru tidak akan menang.” Mereka mengajarkan ‘pencerahan’ kapan kita harus sekedar Check, kapan harus Raise, dan kapan kita All In atau pun kapan harus Fold. Intinya kehati-hatian dan harus pandai-pandai membaca strategi lawan. Sesekali melakukan gertakan, sama sekali tak dilarang. Syaratnya, jangan terlalu sering, karena strategi kita bisa dibaca lawan.

‘Ajaran’ (jika bisa dibilang ajaran) kembali saya terima saat saya meminta ‘bailout’ chips pada seorang teman, Hari Teguh Patri (sengkiyu atas chips 300K). Katanya, kunci kemenangan selain harus bermain di meja besar juga harus sabar. Saya pun mengikuti saran itu dengan seksama. Dan, saya bisa mengumpulkan Chips mencapai 3M, jumlah yang sebelumnya tidak mungkin saya gapai. Selama satu jam setengah, saya mendapatkan hasilnya. Dari modal awal 300K hasil sharing bailout, saya bisa menggandakannya hingga menjadi 3M.

Namun, karena saya terobsesi harus selalu menang (padahal, dalam permainan kita harus menerima kenyataan ada saatnya kita menang dan kalah), saya pun mainnya makin tak sabar. Kartu belum keluar saya sudah melakukan All In. Akhirnya, jumlah Chips yang sudah mencapai 3M itu abis karena keegoan saya sendiri. Padahal, jika saya coba sabar sedikit saja, dan main dengan hati-hati pasti jumlah 3M itu bisa saya lipatgandakan. Tapi apa boleh buat, Chips hasil sumbangan sudah jadi ‘barang hilang’. Saya tak yakin bisa kembali!...

---posting ini kutulis saat chips hanya tersisa 2K.

Post a Comment

Previous Post Next Post