Pengemis

Kali ini saya mau bercerita tentang para pengemis atau peminta-minta. Kisah yang akan saya ceritakan ini bukan rekayasa atau karangan belaka, melainkan benar-benar fakta. Kejadiannya juga belum lama, tepatnya pas hari Meugang puasa kemarin. Sebenarnya sudah lama saya ingin menulisnya, tetapi tak pernah sempat. Sehingga baru kali ini saya tuliskan, semoga berkenan.

Ceritanya, pada hari Meugang, kira-kira jam 16.00 WIB, saya pulang ke Sigli. Seperti biasa saya menumpang L300, angkutan murah-meriah dan juga cepat. Saya menaikinya di kawasan Simpang Surabaya. Dari Banda Aceh hingga Padang Tiji, Pidie, saya merasa cukup nyaman di dalam L300, di samping mobilnya kosong juga tak banyak orang yang berbicara seperti di pasar ikan. Tak ada kegaduhan. Saya pun bisa tidur melepaskan lelah. Tapi ketenangan itu segera saja sirna. Saat tiba di Grong-grong, mobil yang saya tumpangi berhenti dan ada tiga penumpang baru, naik. Satu orang duduk di depan, dua lagi duduk persis di samping saya yang sejak dari Banda Aceh memang kosong.



Saya kemudian bergeser agak ke samping sambil merapikan posisi duduk. Saat mereka naik saya sudah bangun dan sempat melihat suasana pasar Grong-grong yang selalu saja ramai. Dua orang yang duduk di samping saya itu, satunya boleh dibilang sudah kakek-kakek. Sementara satunya lagi masih muda. Sang kakek yang memakai peci fisiknya normal (tak ada cacat), sementara temannya tidak. Temannya harus memakai tongkat.


Hanya sebentar saja mereka duduk, sang kakek tadi sudah mencopot peci yang dipakainya. 

“Biar tidak kotor dan besok bisa dipakai lagi,” katanya. 

Sang teman yang duduk di sebelahnya mengaku, sejak berangkat dari Bireuen (keduanya memang dari Bireuen) dia memakai peci. Tetapi sesampai di Sigli, katanya, pecinya tersangkut dalam helm seorang tukang RBT yang mengantarnya ke Grong-grong. Sialnya, saat memakai helm dia lupa melepas peci. 

“Tapi besok saya beli lagi,” ujarnya.


Si Kakek kemudian menimpali, bahwa peci yang dipakai tadi juga barusan dia beli lain. Katanya, peci lama tertinggal di rumah. Menurut mereka, peci sangat menentukan kesuksesan dalam mengemis. Saya pun, jika ditanya, kenapa peci begitu penting bagi mereka, tak tahu harus menjawab apa. Pembicaraan mereka selanjutnya membuat saya mangut-mangut, karena mereka saling bertanya pendapatan masing-masing.


“Kiban uroe nyoe pue na le meurumpok raseuki?” tanya kawan yang menggunakan tongkat. 

“Alhamdulillah na raseuki bacut, troh 500 ribe,” jawab sang kakek, sambil memegang tas bawaannya. 

“Droe kiban?” tanyanya. 

“Lon kurueng that uroenyoe. Di Sigli beunoe hana raseuki sit, padahai rata pinto keude lon jak. Di Grong-grong nyoe na bacut,” jawabnya.


Saya menyimak saja obrolan. Sejak mereka naik tadi, saya hanya diam saja. Hanya sekali mereka bertanya saya turun di mana. Selanjutnya, saya jadi pendengar yang budiman.

Saya jadi tahu bagaimana dinamika di dunia pengemis. Seperti saya dengar sendiri, mereka juga suka bercerita soal jumlah uang yang diterimanya dari si pemberi. Kalau jumlah yang diberikan sedikit, mereka menyebutnya si pedagang itu pelit. 

“Na padum boh amplop beuno, na yang jok 500 rupiah. Padahai ka hek tarawon. Beunoe wate di pasai sie na kujak bak padum droe toke, dipeutaba sie tapi hana kucok. Lam hate munyoe hana kutueng sie pasti dijok meu 50 ribe. Rupajih wate takalon cuma 1000 dijok. Munyoe toe pasti kucok sie nyan beunoe,” si Kakek meracau sendiri.


Mereka kemudian bercerita soal teman mereka yang lain, yang juga berprofesi pengemis. 

“Si Aiyub sang le meurumpok uroe nyoe karena ka beunoe ka diwoe,” cerita salah seorang di antaranya. 

Si Aiyub rupanya kurang disukai oleh mereka. Soalnya, si Aiyub sering memanfaatkan uang hasil meminta-minta itu untuk bertaruh bola. 

“Si Aiyub nyan hana beutoi urueng. Munyoe di Jeunieb diplueng-plueng ta kalon, tapi wate dijak meulake meu seuek-seuek bak dijak. Lheuh nyan gadoh dipeu abeh peng bak teumaroh bola,” sambung kawannya.


Duh, tak menyangka ternyata mereka juga melecehkan profesi kawan sendiri. Padahal, sesama pengemis tidak boleh saling menjatuhkan. Tiba di terminal Sigli kemudian saya turun. Selanjutnya saya tak tahu lagi pembicaraan mereka.(HA 010910)

Post a Comment

Previous Post Next Post