Brief Encounter dengan Penulis

Semua orang pernah mengalami ‘pertemuan’ singkat (brief encounter) dalam hidupnya. Apakah itu pertamuan dalam artian bertatap muka langsung atau sekedar pertemuan batin melalui karya-karya mereka. Esensi kedua pertemuan ini memang berbeda. Bertatap muka langsung dan merasakan kehadiran, kata orang, lebih mampu membangun rasa tumbuhnya ikatan emosional. Namun adakalanya, pertemuan melalui karya jauh lebih merangsang emosi dan menghadirkan suatu pengalaman batin yang luar biasa. Kita seperti merasa dekat sekali dengan meraka, meski sebenarnya kita sama sekali tak mengenalnya, kecuali melalui karya.

Saya mengalami pertemuan batin seperti ini dengan sejumlah penulis. Setelah membaca karya-karya mereka, saya pun memiliki hasrat menjadi seperti mereka. Saya sangat yakin, ketekunan dan latihan yang terus menerus, akan menuntun saya menjadi seperti mereka, malah lebih. Meski pada akhirnya saya cukup sadar, bahwa bisa menikmati karya mereka saja sudah luar biasa, meski tak bisa menulis sebagus mereka.

Dengan siapa saja saya bertemu secara batin, melalui karya? Terus terang saya tak bisa mengingatnya secara detail. Karena sejak di bangku Sekolah Menengah Pertama, saya sudah menggemari membaca tulisan dan karya sastra (meski saya tak pernah jadi sastrawan). Celakanya, karya tulis yang saya baca itu belum selayaknya dibaca. Namun, saya tak peduli. Menumbuhkan minat membaca dan menikmati setiap buku atau tulisan yang kita baca bukan perkara mudah. Banyak orang yang tak berhasil jadi penikmat buku karena mereka belum menemukan di mana letak kenikmatannya. Saya cukup sadar dengan ajakan, untuk menumbuhkan minat membaca harus dimulai dari hobi dan tema yang disenangi.

Lalu, tema apa yang menjadi awal ketertarikan saya pada buku? Terus terang buku yang mempengaruhi saya untuk mau membaca adalah Asmara Buta. Sebuah buku yang belum selayaknya saya baca karena masih duduk di bangku SMP. Saya merasa cukup berdosa setelah membaca buku itu, sehingga lupa mengingat siapa penulisnya. Selanjutnya, saya makin menggemari membaca novel-novel seperti karya Freddy S atau Marina S, novel yang cukup terkenal di zamannya. Karena semua orang menyukainya.

Saya pun mulai menyukai buku dan membaca majalah. Majalah yang paling saya ingat adalah Anita Cemerlang, sebuah majalah yang banyak berisi cerita pendek dan bersambung. Dari semua cerita pendek yang pernah saya baca, ada dua judul yang hingga kini masih saya ingat: Di Balik Bayang-bayang Senja dan Di Simpang Jalan Berliku. Saya sangat menikmati saat membacanya. Saya tidak tahu apakah majalah itu masih terbit dan masih berisi cerita pendek, karena tak pernah membacanya lagi.

Selain Anita Cemerlang, saya sempat mengalami pertemuan singkat dengan Majalah Annida, majalah cerita Islami. Saya cukup beruntung teman sekolah sudi meminjaminya untuk saya. Karena setiap saya pinjam pasti saya kembalikan. Kini jika ingat kisah tersebut saya jadi ketawa-ketawa sendiri. Soalnya, ada pepatah, ‘orang yang meminjami buku/majalah ke orang lain adalah orang bodoh, tetapi lebih bodoh lagi orang yang mengembalikan buku yang dipinjamnya.’ Hehehe.

Tak sekedar membaca novel atau cerita pendek, saya juga mulai menyukai bacaan politik. Saya mulai menggemari kolom Catatan Pinggir Goenawan Mohammad di Majalah TEMPO yang dimuat rutin setiap terbitannya. Edisi yang saya baca adalah TEMPO yang terbit antara tahun 1991-1994. Majalah ini berhenti terbit tahun 1994 karena pembredelan oleh Orde Baru. Saya juga makin terangsang bagaimana bisa menulis seperti Goenawan Mohammad.

Saya cukup terpengaruh dengan bacaan yang saya baca. Saat membaca novel atau cerita pendek, misalnya, saya terobsesi bisa menulis novel atau cerita pendek. Ini mulai saya rasakan ketika membaca novel Freddy S dan Marina S atau saat membaca cerita pendek di Majalah Anita Cemerlang. Selanjutnya, saat membaca kolom Goenawan Mohammad, saya terobsesi bisa menulis essay atau kolom politik. Nyatanya, hingga kini saya gagal kedua-duanya.

Tak berhenti di situ, saya juga mulai mempelajari trik-trik menulis. Saya masih ingat, buku kiat menulis yang pertama saya baca adalah karya Arswendo Atmowiloto, mantan Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor. Judul bukunya masih saya ingat: Menulis Cerpen Itu Gampang dan Menulis Novel Itu Gampang.

Dulu mencari buku kiat-kiat menulis masih susah. Saya mendapati buku itu di Pustaka Kabupaten Pidie. Kalau sekarang mungkin sudah gampang, kita tinggal melakukan searching di internet, sebuah informasi yang kita butuhkan bisa didapat. Dulu, internet masih barang tabu. Jangankan internet, computer saja masih model baheula, masih Lotus atau DOS. Saat itu komputer masih barang mewah, hanya orang-orang berduit saja yang memilikinya. Saya sendiri cukup puas dengan mesin tik pembelian orang tua. Padahal saya baru duduk di kelas 1 MAN. Mesin tik itu juga masih tergolong mewah.

Dengan modal mesin tik itu pula saya meniti karir menjadi penulis. Setiap malam saya mengetik dan mengetik, apa saja. Untungnya saya masih memiliki catatan berupa cerita pendek yang saya tulis di buku folio. Saya tinggal ketik ulang. Ribetnya minta ampun. Kertas masih beli eceran, begitu juga pita mesin tik, beli yang super murah. Kalau hasil ketikan mau lebih hitam saya menggunakan kerta karbon. Sebuah perjuangan berat dalam meniti karir menjadi penulis. Puaskah saya dengan kemampuan menulis yang saya miliki sekarang? Sama sekali tidak. Karena kemampuan saya masih di bawah, jauh dari obsesi saya pertama kali saat berniat menjadi penulis.

Begitu ceritanya, sebuah pertemuan singkat saya dengan beberapa penulis sehingga mendorong saya ikut-ikutan menjadi penulis. Mau tahu siapa lagi penulis yang ikut mempengaruhi saya? Tunggu kisah selanjutnya.

Bagaimana dengan anda? Apakah memiliki pertemuan singkat secara batin sehingga mempengaruhi hidup anda?

Post a Comment

Previous Post Next Post