Belajar dari Denmark

Sudah lama saya ingin menulis sedikit pengalaman saat berkunjung ke Denmark akhir Juli 2010 lalu. Namun, belum ada kesempatan yang tepat buat saya untuk menuliskannya. Padahal, saya yakin banyak pengalaman yang bisa dibagi. Sekarang sengaja saya cicil agar cerita-cerita yang saya dengar tak sampai hilang dalam memori. Saya mencoba mencatat beberapa hal yang saya lihat dan alami. Mudah-mudahan tulisan singkat ini, bisa menjadi awal yang baik untuk menulis kisah perjalanan secara lebih utuh.


Terus terang, setiap kali berkunjung ke tempat baru, saya sering lupa untuk mencatat, saking terkesimanya, tentu saja. Rasa takjub dan ingin menikmati saja hal-hal indah, membuat saya tak punya waktu membuka buku catatan untuk menulis. Menulis, saat itu, tentu saja akan mengganggu kesempatan menikmati perjalanan. Saya sebenarnya sempat menulis catatan di Hp, tapi sejak E90 saya hang saat berada di Brussels, Belgia, catatan tersebut juga hilang. Jadilah, saat menulis ini saya hanya mengandalkan ingatan dan apa yang sempat saya catat saja.

Saat berada di Denmark, banyak pengalaman berharga yang saya dapatkan, dan tak pernah saya temui di negeri kelahiran saya. Seperti kita tahu, Denmark adalah negara yang jadi idaman setiap orang untuk tinggal dan menetap di sana. Denmark seperti dikutip situs Wikipedia, menganut monarki konstitusional dan sistem pemerintahan parlementer, memiliki satu pemerintah pusat dan 98 munisipalitas sebagai pemerintah daerah. Negara ini sejak 1973 sudah menjadi anggota Uni Eropa, meski sampai sekarang belum bergabung dalam Eurozone. Denmark juga termasuk salah satu pendiri NATO dan OECD, sekaligus anggota dari OSCE.

Konsep ekonomi yang dianut salah satu Negara Skandinavia ini adalah kapitalis pasar campuran sekaligus kesejahteraan sosial. Negara ini mempunyai pendapatan tertinggi di dunia. Berdasarkan laporan majalah Forbes, Denmark memiliki iklim bisnis terbaik. Dari tahun 2006 sampai 2008, survey mengatakan Denmark adalah "tempat yang paling menyenangkan di dunia", dipandang dari standar kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan. Sementara, survey Global Peace Index tahun 2009 mengatakan Denmark menduduki posisi negara paling damai kedua di dunia, setelah Selandia Baru. Di tahun 2009, Denmark adalah salah satu dari negara yang paling tidak korup di dunia berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi, posisi kedua setelah Selandia Baru.

Saya diberitahu oleh teman-teman Aceh di sana, bahwa Polisi Denmark merupakan polisi terjujur di dunia. Saya sama sekali tak terkejut, karena memang kenyataannya seperti itu.

Selain jujur, mereka juga ramah-ramah, sopan dan sangat menghargai orang lain. Di jalan raya, saat menyetop mobil, sikap yang mereka tunjukkan sama sekali tak membuat kita takut. Cara dia menyetop, menyapa dan memberi penjelasan, membuat kita puas. Mereka juga mengumbar senyum, sama sekali tak terlihat sangar dan kejam.

Saya diberitahu, jika kita punya masalah hukum, polisi akan mendatangi rumah kita, secara baik-baik. Dia tak langsung masuk ke rumah, melainkan mengetuk pintu sampai si empunya rumah membukanya. Jika satu-dua-tiga kali ketukan tak ada tanda-tanda dari pemilik rumah untuk membuka pintu, mereka tak akan mendobrak seperti di tempat kita. Mereka memilih menunggunya dengan sabar, berapa pun lamanya. Jika misalnya, si polisi yang mendatangi rumah itu jadwal kerjanya mulai jam 8 pagi sampai 6 sore, dia akan menunggu selama itu. Sore hari jika pintu rumah tak juga dibuka, dia akan pulang ke kantor, dan besok akan kembali lagi seperti biasa.

Tapi, ini tentu saja jika masalah hukum tersebut tak terkait dengan kasus kriminal atau mengancam keselamatan Negara.

Selain itu, selama di Denmark, saya sama sekali tak mendengar bunyi klakson mobil. Bagi saya ini tentu saja aneh. Bagaimana mungkin, di Denmark mobil cukup banyak lalu lalang di jalan, tapi sepertinya mereka bersepakat untuk tak membunyikan klakson mobilnya saat melaju di jalan, termasuk saat berada di pemberhentian lampu merah. 


Saya sempat memperhatikan, saat lampu hijau menyala, jika mobil yang berada di depan belum juga jalan, si pemilik mobil di belakang tak membunyikan klaksonnya sebagai tanda menyuruh agar segera jalan. Bandingkan dengan di tempat kita, bisa pekak telinga mendengar bunyi klakson dari mobil di belakang kita.

Saat saya tanya, kenapa bisa demikian? Sang kawan menjawab, bahwa membunyikan klakson mobil bisa mengganggu kenyamanan orang lain, dan itu dilarang (fordbud). Tak hanya itu, di tempat sepi juga dilarang membunyikan klakson, dan jika pas membunyikan klakson ternyata di belakang ada mobil lain, mereka bisa mengirim report ke polisi. Jika melanggar, kita harus membayar denda 500 Kroner.

Selama di Denmark, saya menginap di rumah Tarmizi Yunus di kawasan LØgstØr, kira-kira 3 jam perjalanan dari Aalborg. Tarmizi ini asli dari Pidie, sudah 6 tahun lebih menetap di Denmark. Di menikah dengan perempuan asal pulau Jawa, tapi sudah cukup mahir berbahasa Aceh. Menurut cerita mereka, keduanya bertemu di Kuala Lumpur. Kini mereka memiliki tiga anak, 2 cewek dan 1 cowok.

Setiap hari, kami pulang-pergi Aalborg-LØgstØr. Acara konferensi WAA sendiri digelar di kawasan Norresundby, Aalborg. Aalborg ini kota nomor tiga terbesar di Denmark setelah København (Copenhagen) dan Århus. Jam setengah 7 pagi biasanya kami sudah berangkat ke Norresundby, dan pulang sekitar jam 10 malam. Tapi, jam 10 malam di sana masih seperti sore hari di tempat kita.

Setiap pulang-pergi dari Aalborg-LØgstØr, saya sempat beberapa kali melihat papan pengumuman yang ditempel di gedung atau di kebun. Satu kali saya melihat kata-kata seperti ‘Til sØll’ atau dijual. Tapi di lain kesempatan saya melihat kata 'SØlg' atau terjual. Karena penasaran, saya mencoba bertanya apa maksudnya. Ternyata di Denmark, jika si pemilik toko atau kebun sudah memasang pengumuman ‘Til sØll’ maka 'wajib' memasang lagi pengumuman 'SØlg', jika sudah terjual.

Sementara di tempat kita, umumnya, si pemilik toko, rumah atau lahan, hanya cukup memasang pengumuman 'dijual' atau 'disewakan' dan tak perlu memasang pengumuman ‘sudah terjual’ atau sudah ada yang sewa.

Meski hanya urusan kecil, tapi sama sekali tak luput dari perhatian. Kita patut belajar kepada mereka, dalam beberapa hal. [mudah-mudahan bisa bersambung]
bersama anak-anak Denmark

---note: mohon maaf jika penulisan kata-kata dalam bahasa Danish (bahasa Denmark) atau penulisan nama kota masih salah. Karena hanya mengandalkan catatan dan belum sempat mengecek cara penulisan yang benar.

Post a Comment

Previous Post Next Post