Saya Pamit dari Harian Aceh

Rabu, 13 Februari 2008 seperti baru kemarin. Itulah saat pertama saya menginjak kaki dan masuk ke kantor Harian Aceh. Padahal, kalau dihitung sejak saya memutuskan keluar dari Harian Aceh per 30 Juni 2011, hari itu sudah berlalu selama 3 tahun, 4 bulan, 17 hari. Itu waktu yang cukup lama, sebenarnya. Namun, saya mampu menjalaninya, dan sekaligus tanpa terasa.




Kenapa tanpa terasa? Karena sepanjang tenggat waktu tersebut, setidaknya saya sudah menulis lebih dua ratus tulisan, baik dalam bentuk tulisan pendek (kolom pojok gampong), artikel lepas dan analisis—plus berita. Semua tulisan tersebut, sebagian sudah dibukukan dalam ‘Aceh Pungo’ dan selebihnya tersimpan rapi di blog www.jumpueng.blogspot.com.

Banyak yang bertanya, kenapa saya pamit dari Harian Aceh? Ada yang berspekulasi, saya mendapat pekerjaan di media lain, ada yang mengira saya ingin kuliah lagi, tak sedikit pula yang berpikir saya berselisih pendapat dengan pemilik Harian Aceh, begitu pun ada yang menghubungkan pengunduran diri saya karena ingin fokus berkampanye untuk salah satu kandidat. Semua spekulasi dan dugaan tersebut sama sekali tidak benar. Pamitnya saya dari Harian Aceh murni atas pertimbangan pribadi karena ingin beristirahat sejenak dari rutinitas yang banyak menyita waktu. Selain itu, saya ingin menikmati hari-hari dengan menjadi penulis lepas. Tak terikat lagi dengan deadline Koran, melainkan dengan deadline pribadi.

Artinya, saya ingin sampaikan, bahwa keluarnya saya dari Harian Aceh bukan untuk mengkhianati kawan-kawan yang dulunya bersama-sama dengan saya membina sebuah Koran yang benar-benar lokal (dalam arti bukan Koran yang ditopang oleh group besar, melainkan dimodali oleh orang lokal) dengan menerima bekerja di koran lain. Meski, saya sendiri tak bisa memprediksi jalan apa yang nantinya akan saya ambil, apakah kembali menerima tawaran kerja di media, atau tetap fokus menulis. Biarlah waktu yang menjawabnya.

Dalam surat yang saya ajukan ke pihak manajemen dan redaksi Harian Aceh, sudah saya tegaskan, bahwa keputusan saya keluar dari Harian Aceh bukan untuk menyakiti siapa pun. Keputusan tersebut sudah saya pikirkan matang-matang dan tanpa paksaan dari siapa pun.

Saya sendiri sadar, berat sebenarnya meninggalkan media yang sudah membesarkan nama saya dan membuat saya dikenal banyak orang. Saya akui, sejak bekerja di Harian Aceh, saya sudah meraih (meski belum semuanya) segala impian saya: menerbitkan buku, dikenal orang, bisa bertemu dengan banyak orang, pergi kemana saja dan mendapat undangan dari sejumlah lembaga. Itu merupakan sebuah pengalaman yang sangat luar biasa. Suatu saat (saya yakin) bahwa saya akan kembali merindukan hari-hari itu.

Kini meski tak lagi berada dalam kapal Harian Aceh, saya tak mampu melupakan kesan-kesan indah dan pahit. Saya akan tetap mengingat betapa gara-gara sebuah berita ada orang yang menyumpahi kita, mengatai kita dengan ‘aneuk bajueng, bijeh hana get, dan lain oleh orang-orang yang tak senang dengan pemberitaan Harian Aceh. Saya juga akan mengingat ada yang menelepon malam-malam agar sebuah berita tak boleh dimuat, dipangkas atau diubah total. Selain itu, saya tak akan lupa, gara-gara terlalu sering menyerang penguasa berbuntut pemanggilan menghadap sang penguasa dan menantang tatapan amarah darinya. Ini sungguh pengalaman yang tak mungkin terulang lagi.

Ada satu lagi yang tak akan saya lupakan, sebuah pemandangan saat menaiki tangga ke lantai dua: foto surat SOMASI berbingkai raksasa. Siapa saja yang pernah ke Harian Aceh pasti akan disapa oleh foto SOMASI berbingkai tersebut. Kita bisa membaca dengan jelas isinya: SOMASI ALAT PEMBUNGKAMAN KEBEBASAN PERS.

Surat SOMASI yang terbingkai tersebut bukan ditujukan untuk Harian Aceh, melainkan untuk seorang penulis ‘Cerpen’  SURAT UNTUK DARWATI di Harian Aceh dengan nama pena ‘Renvanda’. Hingga kini Somasi terbingkai tersebut masih bisa dinikmati.
Dan tentu saja, masih banyak hal-hal lain yang menarik untuk dikenang.

Terakhir saya ingin sampaikan, mungkin selama saya di Harian Aceh, ada tindakan, komentar atau sikap yang menyakiti perasaan teman-teman. Dalam hal ini saya ingin meminta maaf, terutama kepada semua kru Harian Aceh, dan selebihnya kepada pembaca. Itulah saya, dengan segala kelebihan dan kekurangan. 


Melalui posting ini, saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman atas doa, dukungan dan supportnya untuk kelanjutan karir saya ke depan. Selain itu, ingin saya sampaikan, bahwa mulai hari ini 'SEGALA KEBIJAKAN REDAKSIONAL HARIAN ACEH TAK TERKAIT LAGI DENGAN SAYA, BEGITU JUGA SEBALIKNYA, SEGALA PERNYATAAN DAN KOMENTAR SAYA MENJADI TANGGUNG JAWAB SAYA SENDIRI.


Dukungan kawan-kawan sangat  berguna untuk saya dalam menikmati kesendirian ini, tanpa perlu lagi menjawab pertanyaan 'Pue HL singoh?' Salam.[]

NB: Untuk teman, rekan atau sahabat, yang selama ini mengirim tulisan via email saya tintamirah@gmail.com, agar langsung mengirimkan ke redaksi@harian-aceh.com. Terima kasih.

Post a Comment

Previous Post Next Post