Puasa dan Kesalehan Musiman

Bulan Ramadan dapat diibaratkan sebagai jembatan. Ia mampu menuntun manusia menjadi saleh secara personal. Selain itu, bulan ini mengajarkan manusia saleh secara sosial. Namun, tak jarang pula hanya menghasilkan pribadi yang saleh musiman.
Saleh secara personal, misalnya, selama Ramadan orang rajin ke masjid, rajin beribadah, rajin membaca Al Quran, dan berbuat amal saleh. Sementara saleh secara sosial, orang makin peduli antar sesama, rajin bersedekah, sering menggelar acara berbuka puasa bersama anak yatim, menyediakan makanan berbuka dan menyumbang ke masjid, serta membangun interaksi dengan manusia secara dekat.

Pertanyaanya kemudian, apakah sesederhana itu untuk menjadi seseorang saleh secara personal maupun sosial? Bukankah apa yang dilakukan tersebut masih berkutat pada upaya untuk menggapai kesalehan individu. Mereka memang beribadah, bersedekah, membaca Al Quran, namun masih membuat perhitungan. Masih menghitung-hitung pahala.

Padahal, inti puasa sebenarnya bukan sekedar mengantar orang menjadi saleh secara personal, melainkan juga dimensi sosial. Kita berpuasa bukan semata-mata mengejar predikat taqwa, meski taqwa menjadi tujuan tertinggi dari ibadah puasa.

Ada hal penting sebenarnya, yang jadi tujuan puasa, misalnya, menumbuhkan ‘sifat-sifat’ Tuhan dalam diri manusia. Namun, tujuan ini tak akan tercapai jika kita berpuasa sekedar menjalankan tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Artinya, kita berpuasa hanya sekedar menjalankan tradisi keagamaan, tak lebih.

Memang, kita berpuasa dengan tekun, tak makan dan minum. Tapi kita juga mengumpulkan harta secara berlebihan. Kita sanggup menahan diri dari lapar, namun tak pernah berhenti memproduksi dusta dan menyebarkan fitnah. Kita berpuasa dan memberi makanan berbuka untuk anak yatim, tatapi pada sisi lain, kita mengambil jatah anak yatim (baca: korupsi).

Kita, persis seperti digambarkan oleh Erich Fromm (2002: 209), orang-orang yang lapar-konsumsi dan bangga produksi, dan kita telah menunjukkan sifat-sifat materialisme dengan jelas, sifat yang kita tuduh sebagai tidak ‘ber-Tuhan’.

Konstitusi kita secara gamblang menegaskan bahwa anak yatim, fakir miskin dan anak telantar menjadi tanggung jawab Negara. Realitasnya, nasib mereka sering diabaikan.

Kenapa bisa demikian? Karena kita belum sepenuhnya menanamkan nilai-nilai puasa dalam diri kita. Kita belum sepenuhnya menjadi pribadi-pribadi yang saleh secara sosial.

Kesadaran Ketuhanan
Meminjam pemikiran kaum sufi (terutama dipelopori Al Hallaj), ada tiga tahapan yang harus dilewati untuk menumbuhkan sifat-sifat ketuhanan dalam diri manusia. Kaum sufi menyebut tahapan ini sebagai jalan tarekat (Sehat Ihsan Shadiqin, 2004). Upaya ini diperlukan menuju kesadaran ketuhanan.

Pertama, takhalli. Dalam tahap ini, semua sifat-sifat yang tercela kita buang dan kosongkan dalam diri kita. Kita kembali menjadi manusia yang bersih tanpa noda dosa.

Kedua, tahalli. Setelah diri kita dikosongkan dari sifat-sifat tercela, kemudian diisi dengan sifat-sifat Tuhan. Kita menjadi makhluk Tuhan yang terpelihara.

Ketiga, tajalli. Ini tahap terakhir dalam aliran sufi Al Hallaj, yaitu penjelmaan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Tahap inilah yang harus dilalui oleh manusia.

Tahapan-tahapan ini akan mampu dilewati manusia yang berpuasa, jika ibadah ini dilakukan secara sungguh-sungguh dengan pemaknaan mendalam. Jadi, puasa tak sekedar sebagai ibadah rutinitas sekali dalam setahun, melainkan makna dan nilai-nilai selama berpuasa mampu kita aktualisasikan di bulan-bulan yang lain.

Ketika kita mencapai pada ketiga tahapan ini, kesadaran ketuhanan kita menjadi paripurna. Kita tak lagi memberlakukan Tuhan semata-mata objek pujaan dalam kata-kata, frase dan doktrin. Tak lagi menggunakan nama Tuhan secara sia-sia, tanpa ada maknanya. (Erich Fromm, 2002). Selain itu, kita tak mudah terbius dan menganggap seseorang religius hanya karena dia mengatakan percaya pada Tuhan, tapi hatinya tak sejalan yang perkataannya.

Saat kita memiliki kesadaran ketuhanan, tentu kita akan tersakiti saat melihat siaran TV yang memperlihatkan rakyat berdesak-desakan saat pembagian zakat oleh pengusaha. Nurani kita akan tersentuh saat memandang mereka saling sikut-sikutan hanya untuk mendapatkan zakat yang Rp20 ribu. Ketika kesadaran ketuhanan kita paripurna, kita tentu akan tergerak mengubah persentase masyarakat miskin menjadi semakin berkurang, sesuatu yang abai dilakukan Negara.

Menjadi tugas kita untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin, bukan setiap tahun menambahnya. Jika ini yang terjadi, berarti puasa gagal menjadikan kita sebagai manusia yang mewarisi sifat-sifat tuhan. Kita gagal menjadi manusia yang saleh secara sosial. Sebab tak ada distribusi ekonomi yang merata. Kemewahan hanya menjadi milik segelintir orang.

Bukan Kesalehan Musiman
Kenyataannya, kita selalu gagal mempertahankan makna Ramadan. Kita hanya mampu menjaga diri selama bulan puasa. Kesalehan hanya muncul setahun sekali. Ini lebih mirip dengan kesalehan musiman.

Ini sudah mentradisi di tempat kita. Lihat saja program-program TV, selama Ramadan sangat aktif memproduksi siaran bernuansa islami (Ramadan). Para artis sering terlihat lebih alim dan religius. Mereka menutup aurat dan tampil anggun dengan busana muslimah.

Pemandangan ini akan segera berubah begitu bulan Ramadan berlalu. Yang tampil seronok kembali seperti semula. Saling menggunjing kembali terjadi.

Para politisi juga setali tiga uang. Di daerah-daerah yang bakal menggelar pemilihan Gubernur atau bupati/walikota, praktik kesalehan musiman berjalan sangat massif. Pejabat yang sebelumnya tak merakyat, mendadak sangat dekat dengan rakyat. Mereka kerap menggelar safari Ramadan, mengunjungi masjid-masjid yang jauh dari kota. Mereka membaur bersama masyarakat.

Apakah itu karena mentalitas politisi kita sudah berubah? Ternyata bukan. Kesalehan itu hanya sekedar jualan di musim politik. Masyarakat kita masih mudah dibius dan terkesima dengan politisi semacam ini. Padahal, pada kehidupan nyata, mereka ternyata penjagal dan tukang korup. Fakta ini seperti terhapus di benak rakyat hanya karena mereka rajin tarawih, rajin mengundang rakyat berbuka bersama dan sering berbicara agama layaknya ulama.

Padahal, inti dari puasa bagaimana kita menjadi manusia yang peduli, bukan sekedar kepedulian musiman. Puasa mendidik kita menjadi manusia yang peka lingkungan. Bahwa, melalui menahan lapar, Tuhan menyentuh hati kita agar menjadi manusia tak tamak pada harta (tak menuhankan harta). Puasa mendidik kita untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Tulisan ini sudah dimuat di situs Aceh Institute

Post a Comment

Previous Post Next Post