Bukan Sesuatu Banget, Ya?


Lama juga tak ada posting terbaru di blog tercinta ini. Sejak postingan terakhir ‘Jelang Batas Akhir Pendaftaran’ praktis saya tak mampu menulis lagi. Akibatnya, blog ini terbengkalai (seperti sudah sering terjadi). Risikonya, pagerank yang semula ‘3’ melorot menjadi ‘2’ [0/10 makin besar angkanya makin bagus], selain itu rangking Alexa juga membengkak menjadi 3 juta sekian. Duh, kasihan sekali.

Tapi, saya bingung juga mau menulis apalagi, soalnya sudah banyak tema yang sudah saya posting di blog ini. Ide saya juga mengering. Hari-hari saya sibuk tak karuan seperti main poker. Tidak bermanfaat banget ya? Selain itu, saya makin lalai bermain-main dengan anak pertama saya. Dia lagi lucu-lucunya. Namanya Fatih Daffa Al Asyi (panjang sekali ya namanya). Dia lahir pada 17 Mei 2011 atau 13 Jumadil Akhir 1432 H.

Anak saya itu cukup menggemaskan. Ini pula yang membuat saya tak bosan-bosan memegang dan mencium pipinya. Apalagi dia putih, seperti ibunya. Di kampung, orang-orang suka memanggil adik ‘bule’ saking putih dan rambutnya juga pirang (juga ikut rambut mamanya). Duh, pokoknya gara-gara dia, saya jadi lupa sama blog ‘bunglon’ ini.

Apalagi ya? Kok bisa seribet ini ya menulis. Duh, makin bingung saja saya ini. “Rupajih munyoe trep hana tateumuleh meunoe keuh calitra jih, mumang teuh.” Saya sambil pegang-pegang kepala. Mata melotot pada layar monitor.

Oya, saya mau bagi informasi lama sedikit. Ini masih terkait politik. Kan, sekarang orang lebih senang politik. Dikit-dikit kebawa ke politik. Ketika membuka-buka arsip Majalah TEMPO lama, saya menemukan petikan wawancara Nezar Patria (Tempo) dengan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud. Wawancara ini terjadi kira-kira dua minggu sebelum penandatanganan MoU Helsinki. [Baca Majalah TEMPO Edisi
31  Jul i 2005, Rubrik Nasional, Halaman 30]

Perundingan Helsinki yang difasilitasi CMI sudah memasuki putaran akhir. Beberapa hasilnya pun sudah beredar luas, seperti Partai Lokal. Kepada TEMPO, Malik mengatakan bahwa partai-partai politik yang ada tak membela kepentingan Aceh.

“Dengan pengalaman itu, dalam upaya penyelesaian masalah Aceh, GAM menuntut agar rakyat Aceh punya partai politiknya sendiri, yang sesuai dengan aspirasi rakyat Aceh,” jelasnya.

Nezar Patria yang juga putra Aceh mencoba mengorek informasi lebih jauh dari Malik, apakah GAM akan bertransformasi menjadi partai politik lokal?

Lalu, PM GAM ini yang juga warga Negara Singapore menjawab, “Mendirikan partai politik adalah hak bagi semua orang Aceh, termasuk bagi GAM sendiri. Kami mau proses demokrasi sungguh-sungguh berlaku di Aceh.”

“Kalau GAM kalah dalam pemilu, apakah akan kembali ke gerakan bersenjata?” pancing Nezar.

“Kalau kalah pun, kami tidak akan kembali ke gerakan bersenjata. Dan memang bukan itu tujuan kami. Partai lokal yang berbasiskan kepentingan Aceh nanti akan banyak muncul. Semua orang Aceh akan ikut dalam pemilu lokal nanti. Karena itu, bagi kami tak ada persoalan siapa menang dan siapa kalah,” jawab Malik.

Pertanyaan kemudian, apa yang penting di sini dan perlu diketahui secara luas? Pertanyaan bodoh saya ini seharusnya saya ajukan ketika musim Pemilu 2009 ketika Partai Aceh yang didirikan oleh GAM sesumbar bahwa hanya partai mereka yang sesuai dengan MoU Helsinki.

Akibatnya, semua partai lokal dianggap sebagai lawan dan tak sesuai dengan amanah MoU. Mereka pula kemudian menjadikan beberapa partai lokal seperti Partai SIRA sebagai partai pengkhianat. Terus terang logika begini yang membuat saya tak habis pikir. Bagaimana mungkin orang-orang GAM menganggap SIRA pengkhianat padahal mereka pernah sama-sama memikirkan sesuatu yang terbaik untuk Aceh?

Padahal, seperti kata Malik Mahmud, mendirikan partai politik adalah hak bagi semua rakyat Aceh, dan partai lokal yang berbasiskan kepentingan Aceh akan banyak muncul. Tentu saja partai-partai ini lahir karena amanah MoU Helsinki.

Hom hai, aleh nyo meunan!

Post a Comment

Previous Post Next Post